Aku tak menyangka Yoga bisa berpikir sedemikian mudah. Aku pikir dia mencintaiku begitu dalam hingga mau berkorban apa pun untuk ku. Tapi kenyataannya jauh. Kembali kuteringat percakapanku dengan Yoga di cafe tadi siang.
"Menurutku begitu lebih baik, Res" kata Yoga. Diteguk kopi pesanannya dan dia melanjutkan ucapannya.
"Kamu sudah hampir menikah, dan Aku sudah berjanji untuk tidak lagi mengganggumu"
"Tapi aku tak mencintai Rama, Ga. Aku mencintaimu dan ini anakmu."
"Aku tau ini berat, Res. Tapi apa kamu ingin hidup kita kelak sengsara selamanya?. Itupun kalau aku belum dibunuh oleh Ayahmu karena menghamilimu.
Yoga menyandarkan tubuhnya. Dibuangnya pandangan ke jendela seperti dia mau membuangku.
"Ga, sudah finalkah keputusanmu. Sampai di sini kah perjuanganmu akan cinta kita"
"Cukup Res, kita sudah janji waktu itu bahwa hari naas itu pertemuan kita yang terakhir."
Aku merasa tersinggung saat itu. Kuambil tas ku dan lalu kuberanjak meninggalkan cafe itu. Aku masih mendengar Yoga berteriak memanggilku namun tak kuhiraukan. Aku mulai muak atau bahkan sudah benar-benar muak. Aku muak pada laki-laki. Semuanya sama. Bangsat.
Yoga yang aku tau mencintaiku ternyata picik. Dia memintaku merahasiakan kehamilanku ini. Dan nanti saatnya tiba aku harus berpura-pura bahwa ini anak suamiku. Setidaknya calon suamiku Rama.
"Ah, dimanapun laki-laki itu sama" Teriak ku pada bayanganku di cermin.
Aku terdiam melihat pantulan wajahku. Kuamati dengan seksama, aku merasa tak ada yang aneh dengan wajahku dan terbilang sempurna. Cantik.
"Tit tit tit" Handponeku berdering, terlihat di layarnya "Rama calling". Surprice juga aku di buatnya.
"Hallo"
"Assalamualaikum" Rama mengucapkan salam.
Deg. Sudah lama sekali aku tak mengucapkan itu. Ada keraguan menyeruak di dadaku untuk menjawab tapi panggilan Rama mengejutkanku.
"Assalamualaikum, Res. Kok tidak di jawab"
"Wa.. wa.. walaikumsalam"
"Nah, gitu dong. Kalau ada ucapan salam bagi sesama muslim itu wajib hukumnya menjawab"
Jiah mulai deh Rama berda'i ria. Malas aku mendengarnya. Kutanyakan ada apa maksud dia telfon malah ceramah panjang lebar yang kudengar.
"Klik" kumatikan telfon saat itu juga sebelum Rama semakin panjang berceramah.
"Sok suci lo." Makiku kepada handphone ku kali ini. Aku benar-benar muak digurui.
Kubaringkan tubuhku di ranjang putihku, seperti rumah sakit memang tapi aku suka. Karena putih itu suci.
"Hah, Suci" Aku membatin.
"Sucikah aku?"
Kuelus perutku yang masih rata, sebentar lagi perut ini akan mengembang dan makhluk mungil berada di dalamnya. Yang entah benih siapa. Entah Yoga atau yang lain. Aku lupa.
"Dingin" kataku pada diriku sendiri. Kuamati AC dalam kamarku, berada di titik normal tapi aku merasa kedinginan.
"Oh please, jangan sekarang" batinku
Kuacak-acak dalam tas ku mencari sesuatu tapi tak ku temukan. Kuobrak abrik laci pun tak ada.
"Sialan. Kenapa harus sekarang" Runtukku.
Aku benar-benar merasa dingin, tubuhku mengginggil, tulang-tulangku serasa remuk. Aku butuh barang itu. Sekarang.
Kuraih handphoneku.
Aku harus menghubungi Andra, sebelum aku mati.
"Halo, Ndra"
"Res, ada apaan?"
"Gue mau barang ndra, ada nggak?"
"Ada uang ada barang."
"Ndra please. Gue butuh banget"
"Sori Res, kali ini gue nggak bisa bantu. Gue lagi butuh duit buat bayar kuliah"
"Ndra, kali ini aja bantu gue. Besok semua gue bayar. Gue sakaw, Ndra"
"Bukannya gue nggak mau bantu, Res. Tapi barang gue tingggal dikit. Kemarin udah gue buat pesta ama anak-anak. Atau gini aja, gue punya kenalan dia punya barang banyak dan bagus"
"Iya dech Ndra tolong bantu gue"
Terdengar Andra bercakap-cakap dengan seseorang, tapi aku tak begitu jelas mendengar. Aku terlalu sakit untuk mendengar lebih jelas lagi. Tulangku bagai ada yang menusuk-nusuk. Linu dan Dingin. Sakit.
Setelah sekian lama
"Halo, Res. Lo masih ada disitu" kata Andra kemudian
"Iya. Halo" jawabku semakin lirih
"Ada barangnya, Res. tapi ada syaratnya" Kata Andra kepadaku.
Demi mendengar barang yang kubutuhkan tersedia, sontak timbul sedikit semangatku.
"Syarat apapun gue setuju, Ndra"
"Dia minta lo tidur ama dia semalem"
"Anjrit, apa lo bilang?! Lo pikir gue apa!!"
"Ya gue cuma bantu lo aja, kalau lo keberatan nggak maksa juga."
Dadaku bergemuruh, tapi rasa ini begitu menusuk-nusuk. Berasa mau terlepas nyawa ini dari raga. Dengan berat hati aku berkata.
"Ok. Gue setuju" menetes air mataku, entah karna nasibku yang harus terjerumus dalam belenggu narkoba atau menangis karna sakaw yang ku alami ini.
Kusetujui sebuah tempat untuku bertemu dan bergegas aku menuju kesana.
Dalam pikiranku saat itu hanya satu. Ternyata semua laki-laki sama saja. Membuatku muak!
Tunggu edisi selanjutnya, ya! ^_^
0 Suara:
Posting Komentar