Kuhidupkan sebatang rokok yang sudah keberapa kalinya aku lupa menghitung. Kuhisap nikotin itu dalam-dalam dan kuhempaskan asapnya ke udara. Menyembul bersama kegelisahanku malam ini. Aku berharap ini cepat-cepat berakhir. Andai waktu bisa disulap aku tak ingin hari naas itu ada.
"Bodoh bodoh bodoh" Makiku pada diri sendiri.
"Arrgghh, kenapa bisa jadi begini?" Teriak ku memaki.
Kujambak rambut kepalaku yang membuatku pusing. Kepala yang menaungi otak ku yang kotor dan penuh nafsu.
"Diaancuuk tenaann"
Sebenarnya tak boleh aku seperti ini, sebagai laki-laki aku harus kuat. Tapi bahwasanya aku juga manusia yang penuh kekurangan. Aku butuh bantuan dan aku mulai takut.
Kuraih handphone ku dan kupencet tombolnya menghadirkan nomor sahabatku. Semoga dia belum tidur atau setidaknya mendengar panggilanku pagi ini.
"tuut tuut tuut" Terdengar nada menyambung dan tak berapa lama diangkat olehnya
"Halo" Suara serak orang bangun tidur terdengar di telingaku. Ada tersembul rasa bersalah sebenarnya, tapi aah aku butuh.
"Nin, lom tidur lo?" Ku ajukan pertanyaan bodoh yang jawabannya sendiri sudah bisa kutebak.
"Hhhmm" Jawabnya masih dengan mengantuk.
"Sori Nin, gue pingin curhat" Kataku selanjutnya.
Perasaan bersalah kembali muncul karna tlah mengganggu istirahat Nina sahabatku. Tapi apa daya, aku butuh seseorang untuk ku berbagi penat.
"Yaa, ada apa menelfon pagi buta gini, ga? tanya Nina sahabatku.
"Gue bingung, Nin." Aku ragu mengatakannya mungkin juga takut.
"Udah nggak usah bingung, gih ngomong aja. Apa gerangan yang membuatmu tega membangunkanku pagi buta begini" Kata Nina.
Dia memang paling tau sifatku. Tak mungkin kutega merecoki tidurnya kalau tak ada hal gawat.
"Restu, dia" Aku terdiam.
"Restu kenapa. Dia minggat dari rumah?
"Bukan itu Nin, ini bener gawat. Gue takut."
"Wedew, seorang Yoga takut? apa kata dunia?" Nina mencoba mencairkan suasana. Dia tau betul kalau aku sedang kalut.
"Hei, berhentilah merokok. Asapnya bikin sesek tau." kata Nina kemudian. Masih dihafal nya kebiasaanku kalau sedang bingung.
"Restu, dia"kataku terbata.
"Iya, gue tau Restu. Gue kenal dia kok, dia mantan cewek elu kan, yang cantik, sexy dan anak juragan dealer motor. Lantas ada apa dengannya. Minta diantar ke spa pagi buta begini?"
"Bukan itu Nin, dia tadi telfon gue."
"Jiah cuma telfon kok gawat, itu mah biasa kali, Ga."
"Kalo nggak gawat gue nggak mungkin masih melek jam segini, Nin."
"Iya, gue tau. Lantas hal apa yang buat elu melek? apa Restu mau bunuh diri atau minta kawin lari? ha ha ha" Nina berkelakar. Tapi aku tak menanggapinya seperti yang sudah-sudah. Aku sedang tak berselera. Rasanya dunia mau kiamat.
"Helloow, ga. Elu masih idup kan? kok diem"
"Gue bingung, Nin"
"Oke oke. Kayaknya ini benar-benar gawat. Tarik nafas dulu ga, lalu keluarkan pelan-pelan. Kalau udah tenang mulailah"
Aku mengikuti saran Nina menarik nafas. Ada kelegaan memasuki rongga dadaku yang sedari tadi terisi penuh nikotin.
"Restu tapi telfon gue, dia bilang kalau dia" aku terdiam.
"Huum trus?"
"Dia hamil, Nin"
"Haah, apa?"
"Hamil"
"Anak mu kah?"
Aku mengangguk yang sudah barang tentu Nina tak bisa melihat. Namun aku yakin Nina tau jawabanku.
"Ga, elu nggak bercanda kan? upz sori maksud gue kok bisa? sudah berapa bulan? bokapnya tau?"
"Baru jalan 2 bulan, bokapnya nggak tau. Bisa mampus kalau dia tau"
"Kenapa bisa seceroboh itu sih? trus rencana lu?"
"Justru itu Nin, makanya gue telfon elu pagi-pagi gini. Gue nggak tau mesti gimana, menurut lo?"
"Bentar, gue atur nafas dulu. Kaget sumpah gue dengernya"
"Apa digugurin aja kali ya"
"Jangan, dosa"
"Trus gue mesti apa?"
"Tenang sob, pasti ada jalan keluar. Gini aja, andai lu bilang ama Restu kalau suruh diem aja pura-pura nggak tau, gimana?"
"Maksud lo?"
"Gini, maksud gue kan Restu bentar lagi merit so pasti abis itu mereka bulan madu, to?
"Hu'uh trus?"
"Ya abis itu Restu suruh ngaku hamil lah, kan setahu suaminya itu anaknya."
"Gitu ya."
"Lagian lu bawel sih, udah aku bilang lupain Restu, bentar lagi dia jadi istri orang dan carilah penggantinya. Ini malah enggak, berlagak minta ketemu yang terakhir kali segala, eh sampai hamil pula"
"Aku juga nggak tau bakal jadi gini Nin, waktu itu kita terbawa suasana."
"Terbawa suasana apa lu yang sange' hahaha"
"Sialan lu. Jadi gitu aja Nin, pura-pura nggak tau"
"Iya lah, daripada lu ngaku ama bokapnya restu kalau udah menghamili anak semata wayangnya, bisa di 'dor' lu. Orang pacaran aja kagak boleh"
"Nasib jadi orang nggak punya, Nin"
"Hahaha bukan jodoh lu aja."
"Iya, kalau miskin dan kaya memang tak berjodoh"
"Udah nggak usah ngaco, percaya aja ama Tuhan. Dia tau yang terbaik buat elu, gih tidur gue udah ngantuk lagi."
"Yup, makasih ya Nin"
"Sama-sama. Jangan ngrokok terus ya, bye-bye"
"Bye"
Kututup telfon pagi itu, satu jalan keluar telah ada lega rasanya. Makasih sobatku.
0 Suara:
Posting Komentar