Diberdayakan oleh Blogger.

Sabtu, 24 September 2011

Fiksi seksi ~ Pengorbanan ~ part 2 (habis)

Handphoneku bernyanyi siang itu, satu nomor tak dikenal muncul di layarnya. Mulanya aku ragu, tapi tak urung ku angkat juga.

"Halo." Sapaku.

"Halo, benar ini mbak Rindu?" Tanya suara di seberang sana.

"Ya, betul. Ada yang bisa saya bantu?" Jawabku seramah mungkin.

"Mbak, bisa kita bertemu saja?" Suara di sana memberikan opsi.

Aku heran. 'ada urusan apa harus bertemu segala?'. Tapi dia meyakinkanku bahwa ada hal yang penting yang harus dibicarakan. Aku menyetujuinya.

Di tempat yang dijanjikan, telah duduk di depanku seorang gadis polos yang telah terombak total. Itu terlihat dari cara berpakaiannya yang sama sekali tidak menunjukkan kesan maching. Serta wajahnya yang terpaksa cantik karena make-up yang tebal. Pucat.

"Aku rindu." Sapaku sambil mengulurkan tangan.

Dia hanya mengangguk dan menjabat tanganku.

Kutanyakan hal penting apa yang ingin dia katakan, namun dia malah terdiam. Kepalanya tertunduk dan mulai menangis. Aku bingung, kuulurkan tissu yang kubawa. Kutunggu beberapa saat.

"Mbak, maafkan Aku." Kata-kata yang terucap dari bibir pucatnya setelah sekian lama kubiarkan dia puas menangis.
Aku menjawab.

"maaf untuk apa?"

Dia menarik nafas dalam, sepertinya untuk mengumpulkan kekuatan dan keberanian berkata.

"Aku hamil mbak, ini anak mas Roni." suaranya lirih.
Tapi mampu mendobrak jantungku dengan keras. Seperti tersengat listrik saat terapi kejut.

"Apa mbak?" tanyaku padanya. Berharap apa yang kudengar itu cuma lelucon.

"Dulu, Aku dan Mas Roni pernah menjalin hubungan. Dan terpaksa putus karena Aku merantau ke Taiwan. 6 tahun kemudian Aku pulang, dan kami bertemu. Aku tidak tau sama sekali kalau Mas Roni telah beristri. Sampai aku hamil." Dia beralibi terhadapku.

Saat itu aku sudah tak bisa mendengar dengan jelas perkataannya. Dadaku penuh sesak, kepalaku pusing. Mataku panas membendung sakit yang teramat dan akhirnya gerimis itu jatuh di pipiku. Aku hanya bisa menangis.
Keadaan berbalik, dia menenangkanku sambil tak henti-hentinya meminta maaf. Benar-benar pedih.

(**)

"Saya sebagai wali menurut saja, Pak. Karena tidak mungkin acara ini diadakan di rumah kami. Mengingat nenek Wulan baru saja meninggal." Kata Ayah Wulan malam itu.

Telah berkumpul Bapak dan Ibu mertuaku, Suamiku, Aku, Ayah Wulan dan Wulan di ruang tamu rumahku. Aku memang tersakiti akan pengkhianatan ini. Dan aku tak mau egois dengan memisahkan mereka, itu sama saja membiarkan janin yang dikandung Wulan lahir tanpa Ayah. Bagaimanapun juga darah itu benih Mas Roni. Suamiku. Setidaknya sebelum anak Wulan lahir, aku harus rela berbagi suami dengannya.

"Bagaimana kalau di ruko saja." Kataku angkat bicara.

Setelah sekian lama tak ada tempat yang dirasa aman untuk mengadakan ijab kobul itu. Semua mata memandang ke arahku. Mungkin mereka heran karena Aku terlihat begitu tegar.

"Di sana tempatnya tidak terlalu banyak tetangga, paling hanya para pedagang. Nanti kita panggil Pak penghulunya ke sana saja." Lanjutku memberi alasan.

Dan sepertinya mereka setuju, tampak dari raut muka masing-masing yang memancarkan kelegaan diiringi senyum pucat bibir Wulan.

(**)

Ruangan ruko lantai dua telah disulap menjadi tempat pelaksanaan acara. Sofa malas kesayanganku harus bergeser berganti dengan karpet hijau menutup lantai. Di tengah ruang ada 1 meja kecil untuk pak penghulu. Keluargaku sudah berkumpul disana, beserta keluarga Wulan dan beberapa orang yang ditunjuk untuk menjadi saksi. Harum bunga melati dan kanthil khas pengantin kali ini tak membuatku berdebar. Tidak seperti tujuh tahun yang lalu. Meskipun cukup membuat aku grogi dan tanganku berkeringat. Aku mencari seseorang yang semenjak tadi belum terlihat. Kusapukan pandanganku, kemana gerangan dia, Istriku?

Aku mencarinya di kamar. Sebelum acara dimulai, aku ingin sekali lagi mendengar perkataannya bahwa dia ikhlas akan semua ini.

Aku buka pintu kamar, tempat di mana biasanya Rindu beristirahat siang saat jualan di toko. Kosong.

Sejenak aku akan meninggalkan kamar itu saat mataku tertuju pada sebuah benda. Surat.

Kubaka surat itu.

Untuk Mas Roni.

Mas, saat kamu membaca surat ini, mungkin aku telah jauh pergi. Maafkan aku karena tak berada di sisimu di hari bahagia ini. Bukan aku sengaja, tapi ternyata hatiku tak kuasa menyaksikan orang yang aku cintai bersanding dengan orang lain.

Tapi jangan kau pikir aku menyesal, Sama sekali tidak. Justru kepergianku ini karena bahagia. Aku senang saat melihat binar bola matamu penuh cinta terhadap Wulan, wanita yang kini mengandung anakmu. Dan itu tak akan terjadi bila aku ada disini.

Mas, sebentar lagi kamu akan jadi Ayah. Selamat ya, atas semuanya. Jangan khawatirkan aku, wanita rapuh yang tak ingin menghiasi hari bahagiamu dengan air mata.

Berjanjilah padaku mas, tetaplah bahagia.
Jaga Wulan dan bayinya baik-baik. Aku sayang kalian semua.

Dari Istrimu,
Rindu.

Kututup surat itu bersama satu kata yang selama ini ingin ku ucap "Maafkan aku, Rindu."

0 Suara:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites