Diberdayakan oleh Blogger.

Kamis, 14 Juni 2012

Aaaarrgh, ide!


CAHAYA, DESIR, ALAM.

Itu sandi tiga kata hari ini.

Aku ingin membuat cerita saja, entah cerpen atau flash fiction. Kalau puisi sepertinya tidak, aku tak bisa. Sekian lama kucoba merangkai puisi yang ada malah jadi paragraf penuh hiperbola. Menyayat-nyanyat tak jelas.

"Aduh, apa yang harus kuceritakan? Yang jelas di dalam cerita itu mengandung kata cahaya, desir, alam," gumamku tak jelas.

Susah juga memikirkan cahaya. Semuanya bercahaya. Hanya otakku saja yang tak mengeluarkannya. Apalagi ide? Jauh!

"Nek, apa saja yang berdesir di alam ini?" tanyaku pada nenek yang kurawat.

Dengan bahasa mandarin ala kadarnya.

"Wa thia bo," (1) jawab nenek.

Ah, kau, Nek. Bukan ide yang kau beri malah kata yang membuat otakku tambah panas. Ruwet.

Lama aku terpaku pada layar handphoneku, hal apakah yang harus kutulis. Yang jelas ada tiga kata itu.

"Huft, kenapa begitu susah bercerita? Ada apa dengan diriku? Ide itu tak muncul juga, bak emas yang makin mahal harganya. Susah didapat." Aku nyerocos tak jelas.

Memang begitu caraku memancing ide, dengan bicara pada benda yang ada di depanku. Sedikit berimajinasi dan ditambah bumbu, pasti jadi. Tapi tidak saat ini. Pikiranku buntu.

Aku menulis status, "Kasih gue ide, dong. Lagi buntu nih!"

Semenit.

Dua menit.

Lima menit.

Sepuluh menit.

Tak ada juga yang perduli pada statusku. Boro-boro komentar, jempol yang biasanya banyak pun tak kudapat hari ini.

"Benar-benar menyedihkan ketika tak ada sedikit pun hal yang terlintas di otak untuk ditulis. Apakah ini yang dinamakan write block?"


****

Tak biasanya aku begini, begitu berantakan rasanya. Aku ingin membuktikan bahwa aku konsisten dalam menulis, tapi jika idepun tak muncul apa kata dunia?

"Mbak, ayo mana postingan untuk tiga kata hari ini? Jangan lupa ini rabu terakhir, lo." todong Mbak El padaku.

"Iya, Mbak. Bentar lagi aku posting. Paling lambat malam ini, 'kan?"

Bohong. Padahal ide saja tak ada. Naas.

"Iya, Mbak. Yang terbaik akan mendapat kenang-kenangan dariku.Dan nantinya akan dibukukan," terang Mbak El.

Nah itu dia, dibukukan. Hal yang teramat diidamkan oleh penulis, apalagi pemula seperti aku. Mempunyai buku adalah impian semua orang yang hobby menulis.

Tapi ide saja nggak ada lantas mau nulis apa?

"Sepertinya aku butuh hiburan." Aku bicara sendiri.

Kuambil Mp3ku dan kupasang headsetnya lantas musik lembut mengalun terdengar ditelinga.

"Ah, nikmatnya."

Di tengah cuaca yang panas, dengan keadaan badan yang letih. Mendengarkan lagu seperti ini membuat mata mengantuk. Dan benar-benar tak tertahankan. Kedua kelopak mata begitu rindu ingin bersatu.

"Aku mau tidur dulu. Nulisnya nanti saja, toh DL masih lumayan lama. Sekalian nyari ide di alam mimpi."

****

Sore yang cerah. Melihat langit yang bersih pikiranku pun ikut fresh. Waktu yang tepat untuk memikirkan ide lagi. Sambil menerawang ke langit-langit, pikiranku melayang-layang mencari ide. Kejadian apa gerangan yang di dalamnya terdapat unsur cahaya, desir dan alam.

"Jantungku berdesir melihat kenyataan dunia dewasa ini."

Ah, kalimat tak bermutu. Maknanya saja aku tak tahu.

"Di dunia ini terkadang kita melihat cahaya yang membuat dada berdesir hebat."

Lumayan, tinggal mikir konflik. Tapi apa?

"Haduh, ruwet lagi!"

Kupijit pelipisku yang makin pening, sambil terus memikirkan sesuatu yang nantinya akan aku tulis. Aku tak ingin karyaku kali ini biasa, harus istimewa.

"Jelajah facebook, siapa tahu ada hal yang mencerahkan."

Tiga puluh menit berlalu.

"Hihihi, malah asyik perang komen dengan teman-teman. Ide, kemanakah dirimu?" desisku mendramatisir.

Aku coba berkeliling ke grup kepenulisan yang aku ikuti, mencari bahan atau sekedar membaca-baca. Mungkin dengan begini aku bisa bertemu dengan ide yang kurindu.

Satu jam terlewati. Ada sedikit hal yang menggelitik ingin kuceritakan.

"Ide, akhirnya kau datang juga. Tapi kali ini giliran sarananya yang tak mendukung. Handphoneku lowbat. Jiah payah!"

Aku lemes. Kutarik nafas dalam-dalam lantas kuhembuskan perlahan.

"Tak apa lah. Dicharge dulu, nanti dilanjut lagi.

****

"Jangan pisahkan masalah dengan ide, Yu." saran bunda.

Ketika aku mengeluh susah sekali menangkap ide.

"Maksudnya, Bund?"

"Masalah yang kamu hadapi, tuangkan saja dalam tulisan. Tinggal menambahkan tokoh saja, gampang kan?" bunda berujar.

"Berarti nulis cerita pribadi, Bunda? Malu lah," kilahku.

Bunda menjawab, "Menulis dari diri sendiri akan lebih mudah. Masalah yang ada jadikan cerita ditambah sedikit bumbu. Tokohnya diri sendiri tak masalah."

Aku manggut-manggut. Tapi sepertinya aku malu. Masa aku harus menceritakan kalau semalam anakku di Indonesia telephone minta dikirim uang.

"Vika sudah nunggak bayar sekolahnya, Bu. Dan Vika juga pingin beli sepatu serta baju," kata anakku semalam.

"Memang ayah ga punya uang?" tanyaku. Pura-pura lugu.

"Ayah kan ga bekerja, Bu. Darimana dia dapat uang?"

Aku menelan ludah getir.

"Beneran dikirim ya, Bu." ucapan terkhir Vika, sebelum telephonenya terputus karena kehabisan pulsa.

Dan aku hanya menitikkan air mata. Bagaimana aku bisa kirim uang? Tabunganku ludes.

Sontak aku teringat ucapan orang itu, "Ini aku pinjam, Yu. Dan pasti kukembalikan padamu. Tenang saja, ga lama kok."

Tapi sampai detik ini pun nomor handphone nya tak bisa dihubungi.


Tamat.
Taiwan, 30.05.12

NB 1- Saya tak mengerti.

1 Suara:

catatan yang menarik dari blog ini ...
salam kenal
Kunjungan blogwalking.
Sukses selalu..
mengundang juga rekan blogger
Kumpul di Lounge Event Blogger "Tempat Makan Favorit"

Salam Bahagia

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites