Sampai kapanpun, kamu tak akan pernah temukan cinta, jika yang kamu cari adalah kesempurnaan.
Apa mungkin karma itu benar-benar datang padaku? Ah, tak masuk akal. Aku tak percaya pada hal semacam itu. Yang aku tahu hidup di dunia itu pasti terjadi hukum sebab akibat. Siapa yang menanam dia yang akan menuai.
"Arrgh..!" teriakku pada cermin ukuran 5x6 di depanku.
Mulai lagi aku memaki pantulan wajah yang ada di depannya.
"Kenapa? Why me? Salah apa aku padamu?" aku protes. Pada benda mati yang berada tepat di depan mukaku.
Ini sudah yang ke tiga kalinya aku gagal menjalin hubungan. Memang penyebab gagalnya tak sama, bahkan bertolak belakang.
"Apa mungkin kata-katanya waktu itu benar terwujud? Apa ini kutukan? Ah, tidak! semua hanya kebetulan."
Aku beringsut dari depan cermin menuju ranjang satu-satu nya di kamar kost ku. Menelungkupkan wajah pada bantal bintang yang lembut peneman setia tidurku. Dan menangis sejadi-jadinya.
"Dunia sungguh tak adil. Dan kenyataan memang kejam. Teramat menyakitkan." umpatku bersama tangis yang telah pecah terburai.
Kuingat kembali kata yang diucapkan Farid, mantanku beberapa jam yang lalu. "Maaf, aku tak ingin menjadi anak durhaka. Aku harapan Bunda satu-satunya dan aku tak ingin menyakiti beliau. Terus terang saja Bunda tak merestui hubungan kita."
Aku kaget, "Kenapa? Tak seimankah? Kurang cantik? Kurang sopan?" cecarku.
Farid menggeleng, "Bukan itu semua. Tapi Bunda merasakan jika hubungan kita dilanjutkan akan berakibat tak baik."
Aku tertawa. Getir.
"Kita yang akan menikah, Rid. Bukan Bunda."
Farid menunduk. Matanya menatap samar pada ujung sepatunya yang tadi pagi baru disemir.
"Tapi tanpa restu Bunda..." dia tak meneruskan kata-katanya.
Dadaku mulai bergemuruh. "Lantas kata-kata cintamu? Janji sehidup sematimu? Mana wujud nyatanya?"
Farid makin menunduk.
"Maaf, aku tak bisa. Semoga kau menemukan jodoh yang lebih baik dariku." Dia berdiri dan berlalu. Meninggalkan diriku yang masih terhantam rasa tak percaya.
Di taman tempat biasa kita bertemu. Tempat penuh sejuta kenangan bagiku. Pahit dan manis.
*****
"Bagus deh, aku suka mendengarnya. Dari dulu aku tak setuju kau berhubungan dengan anak mama itu." Flo, teman sebelah kostku memberi wejangan. Dia yang selama ini menjadi tumpahan unek-unekku.
Aku menghembuskan nafas kasar. "Aku lelah."
"Hey, girl! Jangan lembek begitu, mana semangatmu yang tak pernah padam?" Flo menepuk pundakku. Aku terdiam.
"Ini sudah ketiga kalinya, Flo."
"Aku tahu, tapi logikanya saja..."
Ah, dia memulai dengan analisisnya tentang hidup. Aku abaikan saja ceramahnya, saat ini yang kubutuhkan tempat bersandar. Bukan nasehat panjang.
Sudah bisa kupastikan Flo akan berucap begini, "Farid itu anak mama dan lagi dia lebih muda darimu 3 tahun. Dilihat dari tingkah lakunya saja dia belum dewasa, masih selalu mengempeng pada Bundanya. Apa-apa takut sama bunda, sedikit-sedikit nggak boleh sama bunda. Yang ada kamu menikah sama bundanya Farid."
Itu analisa Flo tentang Farid. Memang ada benarnya juga, Farid tak bisa tegas dalam mengambil sikap. Masih harus menanti pendapat bundanya dulu baru berani melangkah.
"Tapi aku mencintainya, dia baik tak pernah neko-neko. Dia bisa memanjakanku," belaku.
Meski Flo sudah mengupas tuntas kekurangan Farid namun masih ada sisi dimana aku menerima Farid sebagai kekasih satu tahun lalu. Waktu yang tak sebentar bukan?
Terlalu susah untuk melupakannya. Terlalu pahit ketika kusadari setiap pagi tak akan ada lagi SMS dari Farid mengucapkan selamat pagi diselingi satu atau bahkan berlarik-larik puisi.
Tak akan lagi kudengar renyah senyumnya. Bahkan akan terasa perih ketika kuingat kata-katanya "Akhirnya kumenemukanmu. Setelah sekian lama raga ini berkelana mencari cinta sejati. Dan ternyata hatiku berhenti di kamu."
Pembual.
****
Move on itu tak semudah yang diucapkan. Akan terasa menyesakkan dada tatkala dengan tiba-tiba mengubah pola hidup. Yang biasanya ada kekasih, tiba-tiba saja harus tersadar dia tak ada.
Namun untuk kali ini hanya kupendam dalam hati. Karena jika aku bercerita pada Flo, dia pasti akan menertawakanku habis-habisan.
Seperti kala itu, waktu aku bersimbah air mata karena masalah yang sama. Putus cinta.
"Kita itu bukan lagi anak SMP. Terlalu berharga waktu kita jika hanya dihabiskan untuk hal yang tak penting. Seperti yang kau lakukan sekarang, menangisi cinta. Seharusnya bukan lagi hal abstrak seperti ini yang ada di pikiranmu, tapi lebih kepada tanggung jawab."
Oke, Flo memang ada benarnya. Ketika kita berani mencintai, maka kita juga harus belajar tersakiti. But, ketika hal itu datang tetap tak luput air mata ini mewarnai.
"Mungkin ini akibat dari kesalahanku, yang sekarang harus kutanggung."
Flo mengerutkan kening.
"Kau selalu saja bilang karma, dosa yang kau tanggung, akibat dari salahmu. Aku nggak ngerti."
"Ah, sudahlah. Kau tak akan mengerti perasaanku," dustaku kala itu.
Aku tak ingin Flo mengetahui kenyataan yang ada. Tentang sebuah dosa yang kuperbuat atas nama cinta. Dengan mengingatnya pun membuat rasa bersalahku semakin menghujam ulu hati.
"Kini aku tahu apa yang kau rasa dahulu. Maafkan aku," lirihku.
Lantas aku tergugu.
****
Masih sama seperti kemarin. Rumah itu masih tetap asri dan bersih. Aku menarik tangan Flo untuk masuk.
"Rumah siapa ini?" Sudah pasti heran. Bertahun-tahun aku menjadi tetangga kamar kost Flo, belum pernah aku bercerita tentang rumah.
"Nanti kau juga akan tahu," jawabku.
Flo mengikutiku tanpa melawan. Bahkan ketika langsung saja kuajak dia naik ke atas, ke sebuah ruangan. Biasanya dia ada di sini.
Flo kuajak duduk di sofa yang ada di ruangan itu lantas aku menuju balkon. Benar saja, dia ada di sana. Di kursi roda dengan tatapan kosong pada matanya.
"Flo, ini kakakku. Kakak tiriku," ucapku ketika kusadari Flo telah berada di sampingku.
Dari muka manis Flo tersirat heran yang tak terucap. Memang dari dulu aku juga tak pernah cerita tentang keluargaku. Flo pikir aku hidup sebatang kara.
"Maaf aku tak menceritakan padamu sebelumnya. Malah seakan-akan aku menutupi darimu."
Aku berjongkok di depan kakak tiriku. Kusentuh tangannya yang kulihat semakin kurus. "Dia begini karena ulahku, Flo."
"Maksudmu?"
Ya, sudah saatnya aku jujur . Membuka rahasia yang selama ini kututup rapat. Dosa masa lalu dan sampai sekarang aku harus merasakan akibatnya. Selalu disakiti, dikecewakan dan ditinggalkan.
"Aku tak menyangka hatinya sekecil ini. Karena kekecewaan akibat ulahku, dia jadi linglung."
Memoriku mem-flash back kembali kejadian waktu itu. Tatkala niat iseng dengan menipu kakak tiriku lewat SMS. Berpura-pura menjadi gadis yang mencintainya dan siap dinikahi. Bertahun-tahun aku berperan sebagai Intan, pacar maya kakak tiriku.
"Setiap kali kakak menceritakan tentag Intan di hadapan keluarga, aku hanya bisa menahan tawa."
Aku beringsut. Berdiri memandang lepas ke alam di depanku. "Telah lama berselang dan kakakku ingin bertemu dengan Intan di sebuah taman. Tentu saja aku bingung. Aku tak mungkin datang ke taman itu mengaku pada kakak tiriku bahwa aku lah Intan."
Air mataku menitik mewakili penyesalan yang tak ada habisnya. Aku kembali bersimpuh di hadapan kakakku.
"Kak, sadarlah. Intan itu tak ada, dia tak mungkin datang. Kak, Maafkan aku."
Flo mencengkeram pundakku yang terguncang.
"Aku jahat, Flo. Aku tak memikirkan bagaimana kecewanya kakakku ketika cintanya, harapannya, semuanya hanya angan-angan. Aku..." isakku semakin menjadi.
Flo memelukku. Memberi kekuatan yang aku butuhkan.
"Dia tidak marah, Flo. Tak pernah marah padaku. Setelah seharian di taman dia kembali dan berkata, semoga Intan bahagia."
TAMAT.
Taiwan, 02.06.12
0 Suara:
Posting Komentar