Di balkon lantai tiga, dengan senja yang hampir tenggelam. "Kita harus menyudahi ini semua." (14)
Kau hanya terdiam dengan rahang yang mengeras dan tangan mengepal kuat. (11)
"Sudah bisa kupastikan, tawa cerianya akan sirna jika tahu apa yang kita lakukan," lirihku (14)
Terdengar jangkrik bernyanyi riang menyoraki dua insan yang tengah dilanda dilema. (11)
"Kau tak mencintaiku?" tanyamu. Aku diam. (6)
"Sungguh sampai raga ini berpisah dari ruhnya, cinta tulusku akan tetap menjelma." (12)
"Aku ingin kita tak terpisahkan, kumohon." Matamu memancarkan harap, tapi aku tak kuasa. (13)
"Maaf, meskipun Nyonya akan menerimaku, namun aku tak kuasa melukai hatinya." (11)
Kuberlalu darimu, menuju ke sudut kamarku. Aku tergugu. (8)
Tamat.
Taiwan 01.06.12
*****
*****
ANGIN UTARA.
By. Rahayoe Wulansari
Kecewa tersirat di matanya yang bulat. Rahangnya menegang saat kuucap jua jawaban yang sudah berbulan-bulan ia tunggu.
"Maaf, George. Aku tak bisa menjadi wanitamu."
Sorot matanya tajam mengulitiku. Dalam diamnya meletup amarah yang tak terkata. "Ada yang lain di hatimu, bukan?"
Angin utara memainkan rambutku, sepoinya membuatku menunduk. Aku mengangguk.
"Seseorang telah mencuri hatiku sesaat sebelum kau meminangku," lirihku hampir tak terdengar.
George meninggalkanku tanpa kata. Suara baritonnya membisu tak menggema. Hanya luka yang nampak jelas di langkah kaki.
"George, ampuni dustaku. Aku tak kuasa kau semakin kecewa saat kau tahu aku hanya memiliki satu payudara," bisiikku pada angin utara.
Tamat.
Taiwan, 17.06.12
*****
Bukit Awan.
by. Rahayoe Wulansari.
Awan. Putih lembut dan menawan. Dan aku suka.
"Maukah kau jadi pacarku?" teriakmu siang itu. Aku terkejut.
"Kenapa?"
"Karena kau menyukai awan. Dan aku juga."
Aku hampir gila mendengarnya. Kita baru saja berjumpa. Tak sengaja tengadah bersama minikmati perhiasan langit di bukit awan.
"Hanya karena kita sama-sama menyukai awan dan kau berani menucapkan itu?" tantangku.
Kau mengangguk dan bercerita bahwa wanita pecinta awan pasti lemah lembut seperti awan dan kau menyukainya.
"Apa lagi?" pancingku ingin tahu.
"Kau ayu tapi tak kemayu," lirihnya takut-takut.
Senyumku terkantuk batu. Bagaimana aku bisa kemayu jika punyaku sama dengan milikmu?
Tamat.
Taiwan, 18.06.12
*****
*****
Kepergian.
By. Rahayoe Wulansari.
"Ayo, Nak kita makan bersama."
AJakan Ibu masih sama. Ceria Ibu juga tak berbeda. Di meja segi empat dengan kursi yang tepat empat.
"Cepatlah, Nak. Yang lain sudah menunggu."
Aku bergegas mendekati ibuku, duduk di tempat yang sama seperti biasa. Tangan lembut beliau menata piring dan membagi nasi ke empat tempat, seperti biasa tak pernah berubah.
"Bu, kenapa ibu masih saja menyiapkan empat piring?" tanyaku hampir bosan. Namun ayah mengedipkan mata memberi tanda seolah-olah berkata, biarkan saja ibumu.
"Ini untuk kamu, dan ini untuk kakakmu."
Sepotong ayam terhidang di piring kami masing-masing.
Aku menghela nafas. Sampai kapan kau menerima kenyataan, Bu. Bahwa kakak telah dipanggil yang Kuasa ' lalu. Batinku berujar ngilu.
Tamat.
Taiwan, 19.06.12
****
Aku Benci Taifong.
By. Rahayoe Wulansari.
Langit menangis berhari-hari membunyikan suara gemericik di atap rumah. Dan aku benci.
"Joy zhu keluarlah," teriak mamaku.
"Taifong tak sampai di tempat kita."
Ribut dan berantakan, itu yang selalu taifong akibatkan. Dan aku sangat membencinya.
"Umurmu sudah hampir setengah abad, apa kau tak malu pada keponakanmu? Sudah tua masih takut taifong." Mulai lagi. Mamaku mulai mengejek lagi.
Bukan. Aku tak takut taifong, aku hanya membencinya. Taifong membuat keperkasaanku sebagai lelaki sirna.
"Tolong, kakiku tertimpa pohon. Bantu aku anak muda," teriak Apo.
Aku masih mengingatnya. Jelas. Saat taifong datang lima tahun yang lalu. Aku melihatnya dan tak datang menolong. Aku sibuk mencari perlindungan untuk diriku sendiri. Aku benci taifong, karena mengingatkanku pada wajah Apo yang tak bernyawa lagi.
TAMAT.
Taiwan, 20.06.12
****
PENCURI.
By. Rahayoe Wulansari.
Muka bersemu merah, senyum merekah ramah, begitulah orang sedang jatuh cinta.
"Teman sekelas kita kah?" Dewi sahabatku bertanya.
Aku menggeleng. Membuat Dewi penasaran itu mengasyikkan. Aku merahasiakannya. Siapa yang gerangan telah mencuri hatiku.
"Sebutkan saja ciri-cirinya. Satu saja," Dewi masih penasaran.
Aku terangkan saja hitam manis, dengan tatapan tajam. Yang sudah pasti dia termat baik padaku. Ia kesehariannya membantuku, inspirasiku, hiburanku, bahagiaku.
"Ia segalanya bagiku, untuk saat ini." Mataku menerawang.
Muka penasaran Dewi membuatku semakin geli.
"Taraaa... ini dia pencuri hatiku. SuNEO."
Dewi cemberut. Merengut di depan handpone suNEO kesayanganku.
Aku terbahak hampir tersedak.
TAMAT.
Taiwan, 21.06.12
****
Terimakasih Delivery.
By. Rahayoe Wulansari.
Bunyi kemelinting mangkuk yang beradu dengan sumpit menggoda imanku. Gelak tawa sang penguasa dan selirnya beserta keluarga tertangkap jelas.
"Masakannya enak, supnya juga."
Aku mengelus dada, ketenangan menjalar ke kepala.
"Akhirnya tak ada komplain di masakanku kali ini."
Pujian demi pujian terucap seraya suap demi sesuap menyentuh lidah menggoda rasa.
"Tumben, masakan Sari kali ini sempurna," nyonyaku komentar. Biasanya dia yang paling suka mencacat segalanya.
Lima belas menit berlalu, wajah mereka puas kekenyangan.
"Sari, kali ini kau berhasil membuat kami sekeluarga susah berjalan karena perut penuh." Sekali lagi komentar terlontar.
Aku tersenyum getir.
Bagaimana kau tak merasa puas jika uang gajiku 1000 dolar habis tergelar.
"Terimakasih delevery," lirihku. Prihatin.
Tamat.
Taiwan, 21.06.12
Kau Tak Boleh Bahagia.
By. Rahayoe Wulansari.
Kupandang foto kita bertiga. Ada tawa menghiasinya. Ada ceria terlukis di sana.
Tanpa sadar tanganku menyentuh gambarnya. Dia yang hadir diantara kita. Yang kini telah mencuri hatiku.
"Hayo, kangen ya?" tebakmu. Aku tersenyum.
Tak mungkin aku mengakuinya, jika ada rasa di hati ini. Jika sayang untuknya tumbuh tanpa kuduga.
"Coba kemarin kamu ikut liburannya, Ren. Pasti tambah seru."
Aku tersenyum kaku. Bukan aku tak mau ikut. Sungguh di dalam hatiku teramat ingin. Namun aku tak kuasa jika harus menahan lara ketika melihat kau bercanda dengannya. Saat menangkap mata kalian saling pandang penuh cinta.
"Kau tahu apa yang Rangga lakukan waktu liburan kemarin?" tanyamu ceria.
Ya. Di sinilah aku berada. Sengaja datang padamu hanya ingin mendengar, sudah sampai sejauh mana kalian mengukir janji.
"Ini kejutan yang luar biasa. Rangga melamarku, Ren."
Aku sudah bisa menebak, pasti itu terjadi. Dan aku menyesal beserta marah. Aku tak seberani kau. Andai saat itu aku mampu berkata, andai saat itu aku berani berbicara, mungkin dia sekarang milikku.
"Aku sangat mencintai Rangga, Ren. Terimakasih telah mengenalkan dia. Terimakasih atas persahabatan ini."
Aku muak. Senyummu, tawamu, semuanya membuatku muak. Aku membencimu, kau tahu?
"Semoga persahabatan kita abadi ya, Ren. Meski aku dan Rangga akhirnya menikah."
Sebilah belati telah kupersiapkan di balik bajuku. Aku tak mau lebih sakit lagi melihat kebahagiaan mu, kebahagiaan kalian, tapi bukan kebahagiaanku. Dan dengan tajam belati itu kutusukkan, tepat di jantung. Darah mengalir merah, mewarnai bajuku.
Dan kau pun berteriak ketakutan, "Renaa...."
Namun aku tak lagi mampu mendengar. Karena belati itu menancap terlalu dalam di dada kiriku.
TAMAT.
Taiwan, 23.06.12
****
Aku Apamu?
By. Rahayoe Wulansari.
Hatiku bergemuruh, selaksa bom waktu yang ingin meledak. Anganku serasa ingin berteriak menerima ketidak adilan ini. Mataku menatap tajam penuh benci pada wanita paruh baya di depanku.
"Dasar anak tak tahu diuntung, mau jadi apa kau jika besar kelak? Heh!" serunya sengit.
Aku heran, sikap yang dia tunjukkan padaku tak layak dilakukan oleh seorang yang dipanggil ibu. Yang biasanya identik dengan jiwa penuh cinta, lemah lembut dan penyayang. Tapi dia?
"Contoh tuh kakakmu! Penurut, pintar, pembawaannya sopan. Tak seperti kamu anak urakan."
Aku capek. Aku muak terus menerus dibanding-bandingkan. Sebenarnya aku anak ibu bukan, sih?
Ini sudah ratusan kali terjadi, selalu saja aku dibanding-bandingkan dengan kakakku. Seolah-olah aku tak ada baiknya di mata ibu. Kurang ini, kurang itu. Nggak boleh ini, jangan begitu. Apa ibu tidak sadar? Kemampuan, kesukaan dan sifat setiap anak itu berbeda.
"Selalu saja kalau dibilangin melawan. Berani kau sama orang tua? Aku ini yang melahirkanmu!"
Aku lelah, Bu. Selalu saja kau teriakkan itu di telingaku. Ingin sekali aku menjawab semua perlakuan kerasmu padaku. Aku juga manusia yang punya hati.
Hingga malam tiba, tanpa kurencana timbul juga niat ini. Aku ingin dia menangis pilu karenanya. Pelan dan tanpa suara kumengendap ke dalam kamarnya. Aku mencari di tempat yang sangat rahasia namun tlah kuketahui sebelumnya. Dan kudapatkan, yes!
Aku keluar dan segera menelepone teman-teman gank ku.
"Guys, kita pesta hari ini. Gue dapat duit banyak," ucapku berbunga-bunga. Dengan tangan menggenggam erat kotak perhiasan ibu.
TAMAT.
Taiwan, 24.06.12
****
Kau Harus Tahu.
By. Rahayoe Wulansari.
Semua makhluk tahu, aku merinduimu sekarang. Tak hanya hari ini, tapi kemarin, esok bahkan selamanya. Sayangku padamu tak pernah terkata.
Tak seperti bulan yang hanya memantulkan sinar mentari. Tak juga bintang yang indah namun hanya setitik. Cintaku padamu melebihi apapun besarnya di bumi ini. Tak terlukiskan.
Namun semua harus terhalang. Segalanya harus musnah karena nila setitik. Semuanya harus terkalahkan oleh keegoisan. Kau lazuardi yang indah, tak mampu kugapai untuk menyentuhnya.
"Maafkan aku, Nak." Satu kata yang sangat ingin kuucapkan padamu, buah hatiku.
"Suatu saat kau akan mengerti, alasan aku tak di sampingmu lagi," desisku pilu.
"Tetaplah tersenyum, Nak. Be the best of you. Meski tanpaku di sisimu," pesanku. Itu saja tak ada yang lain.
Hanya itu saja yang perlu kau camkan dalam hati, tak lebih. Harapanku padamu selain kau jadi anak solehah tentunya. Kau tak perlu dengarkan suara sumbang tentang kita. Jangan tunggu aku kembali, aku akan selalu hadir di mimpimu.
Dan yang paling penting kau tak perlu tahu, ada satu hari dimana dadaku serasa tertikam belati tajam. Ketika seorang wanita muda datang padaku dan berucap, "Aku hamil anak suamimu."
TAMAT.
Taiwan, 25.06.12
****
Celana Hans.
By. Rahayoe Wulansari.
Muka Lili ditekuk. Bibir maju serasa bisa dikucir. Hatinya dongkol melihat ulah Hans kali ini.
"Aku dicuekin, nih?" sindir Lili manja. Dia merasa tak suka melihat Hans lebih asyik dengan gadget terbarunya.
"Sebentar tanggung," kata Hans dengan cueknya. Ia tak memperhatikan jika Lili sudah mulai tak suka.
Tak hanya di situ saja, Hans juga tiba-tiba suka membatalkan janji dengan alasan sibuk. Biasanya Lili bisa mengerti, namun kali ini tidak. Ketika tak sengaja mata Lili menangkap Hans sedang memboncengkan seorang cewek dengan begitu mesra.
"Aku tak menyangka kau setega ini, mendua di belakangku. Apa aku punya salah hingga kau berbuat seperti itu?" Lili langsung bicara tanpa basa-basi.
Hans tak mengerti.
"Aku melihatnya. Kau memboncengnya dengan begitu mesra."
Hans semakin tak mengerti.
"Celana kalian sama."
Kini Hans mulai paham. Lili salah paham.
"Yang kemarin itu Bapak, beliau pinjam motorku untuk ngojek." Hans mencoba menerangkan. Lili masih belum percaya.
Hingga keluar Bapak Hans memakai celana yang sama.
Tamat.
Taiwan, 26.06.12
****
Jangan Sebut Namanya
By. Rahayoe Wulansari.
"Jangan pernah sekali-kali menyebut namanya di depanku," hardikku keras.
Veby merengut. Dia beringsut menjauhiku. Di matanya tersirat rasa kecewa.
"Aku benci dengan panggilan sayangmu kepadanya. Aku muak!" teriakku lebih keras.
Veby terdiam kali ini. Dia menunduk terpukur menatap tanah.
"Sekali lagi kau memanggil namanya manja di depanku, maka tak segan-segan aku membunuhnya."
Veby mulai ketakutan. Wajahnya pucat pasi.
Ditimang-timangnya tulang yang sedari tadi digenggam.
"Ssstt... pleky sayang... nich buat kamu," Veby berbisik. Takut aku terusik dan marah lagi.
"Jangan menggonggong ya pleky sayang. Nanti kakak marah lagi." Veby berucap lirih di telinga anjingnya.
Tamat.
Taiwan, 27.06.12.
****
Jam Tangan itu?
By. Rahayoe Wulansari.
Kutatap wanita berpakian serba putih itu dengan garang. Entah mengapa aku jadi jengkel sekali padanya.
"Kalau memang tidak bisa kenapa tak bilang dari tadi? Aku sudah ngantri cukup lama ya, Mbak!" ucapku dengan nada tinggi.
Wanita yang berpofresi sebagai asisten dokter kulit yang kudatangi itu terlihat ketakutan.
"Tapi ini sudah waktunya tutup, Pak." Suster itu beralasan.
Apa peduliku? Kalau memang tak mau menerima pasien kenapa ketika aku mau mencancle pendaftaranku dia tak memperbolehkan? Buat ku marah saja.
Dan dengan terpaksa suster itu memberitahukan kepada dokter yang sedang praktek di dalam jika masih ada pasien di ruang tunggu.
"Yang profesional dikit dong, Mbak," cibirku penuh kemenangan.
Kutangkap dengan ekor mataku suster itu terlihat resah sembari sesekali melirik jam tangan rantai yang dikenakannya.
Aku puas. Memberi pelajaran pada orang yang mau berlaku seenak udelnya sendiri. Dan peristiwa itu terkenang sampai pagi menjelang.
Ketika aku asyik membaca koran dan menikmati kopi pagiku, aku dibuat miris oleh sekilas info yang disiarkan di televisi. Kuamati dengan seksama lokasi peristiwa itu. Dan aku tercengang.
"Pemirsa, telah terjadi pembunuhan keji di suatu gang sempit di Jalan Angkatan 45 Kota Baru kemarin malam. Menurut saksi mata, korban bekerja sebagai asisten dokter di suatu klinik tak jauh dari tempat mayatnya ditemukan. Diduga korban diperkosa terlebih dahulu sebelum akhirnya dimutilasi oleh sang pelaku."
Aku lemas seketika. Ketika tak sengaja kutangkap gambar di televisi itu yang tepat menayangkan tangan korban pemerkosaan.
"Aku yakin itu jam tangannya," tuturku lesu.
Tamat.
Taiwan, 28.06.12
****
Semoga Dody Mau Mengerti.
By. Rahayoe Wulansari.
"Salut aku padamu, Mbak. Andai aku ada di posisimu aku tak mungkin sesabar ini. Dipoligami itu tak mudah," Eryca tak henti-hentinya memuji kesabaranku.
Aku tersenyum simpul. Kukatakan saja pada Eryca bahwa aku ikhlas di madu asal suamiku mau berlaku adil.
"Bagiku justru malah senang. Di saat suami kita bersama istri mudanya, kita bisa puas beribadah pada sang pencipta." ucapku tanpa ragu.
Eryca manggut-manggut sambil sesekali melontarkan pujian tiada henti.
"Apa kamu tak cemburu, Mbak? Membayangkan suamimu sedang bersama orang lain?" pertanyaan yang klasik. Hampir semua orang yang mengetahui bahwa aku dipoligami akan menanyakan hal yang tak jauh berbeda.
Selalu aku menjawab hal yang sama, "Inilah ujian kita. Bagaimana ikhlas itu kita terapkan di kehidupan sesungguhnya bukan hanya kata-kata saja."
Eryca berdecak kagum.
Sedang asyik-asyiknya aku mengobrol dengan Eryca, android terbaruku berdering.
"Tante, Dody kangen. Kapan kita ketemuan lagi? Tante kan udah janji akan ngajak Dody ke puncak. Dody rindu desahan tante," cerocos berondong di ujung telepone.
Tut tut tut.
Segera kumatikan teleponeku setelah sebelumnya kuucapkan, "Maaf anda salah sambung."
Dengan kikuk aku kembali ngobrol bersama Eryca, meski anganku tak lagi tertuju padanya.
"Semoga Dody mau mengerti," batinku resah.
Tamat.
Taiwan, 29.06.12.
****
Loe Gue And!
By. Rahayoe Wulansari.
Hidayah. Kau menyebutnya lagi, selalu begitu hampir tiap hari.
"Hidayah itu sexy, kalau berjalan membuat mata para lelaki berloncatan," pujimu suatu pagi.
Aku diam meski dalam hati geram. Aku bisu meski dalam hati memaki.
"Suaranya juga kenes. Ah, Hidayah." Lagi kau memujinya. Tanpa cacat tanpa cela. Sepertinya Hidayah itu dewa bagimu.
Aku muak. Aku benci. Tak sadarkah kau? Satu kata tentang Hidayah yang kau sebutkan itu menorehkan luka sedalam samudra di hatiku?
"Hidayah itu kuat. Dia selalu bisa buat lelaki makin sehat."
Kutarik nafas dalam lantas kuhembuskan. Lagi kumengulangi. Kutarik nafas dalam lantas kuhembuskan. Sabar. Aku harus bersabar.
"Kau tahu? Apa yang membuat aku semakin rindu?"
Kali ini aku berani bertanya, "Rindu pada Hidayah?"
Kau pun mengangguk yang membuat seketika emosiku membara. Nafasku memburu dan serasa di jantungku tertancap sembilu. Jleb.
PLAAKK!
Tamparan keras mewakili jawabanku.
"Loe gue and!" Lalu aku bangkit meninggalkanmu.
Kuberjalan terus berjalan. Kumelangkah tertatih dengan luka hati yang tak terperi. Masih terngiang jelas teriakanmu memanggilku.
"Sayang, kau cemburu pada Hidayah? Dia kan hanya tukang jamu."
Namun aku tak peduli. Perih ini tak bisa terobati.
TAMAT.
Taiwan, 30.06.12
0 Suara:
Posting Komentar