Sebuah kubik elektronik jembatan kita. Hanya dari gadget buatan manusia ini kita berjumpa. Bercanda, tertawa bahagia dan berNYANYI bersama.
"Nama gue BINTANG, kalau loe?"
"Bulan."
"Kita jodoh, dong. Gue Bintang dan loe Bulan."
Aku tertawa. Menertawakan kebetulan yang tak lucu ini. Begitulah awal kita berkenalan. Hanya lewat dunia maya kita saling bertukar cerita.
****
"Bulan, mau ga loe jadi cewek gue?"
Pesan yang kau tulis saat chating malam itu. Lama aku berpikir untuk mengetik kata yang tepat hingga kau telah mengirim pesan lagi.
"Hallow... kok malah diem. Mau ga?"
Kursor di kotak putih di hadapanku berkedip-kedip. Aku tak kuasa menulis sebuah huruf pun.
KEMBALI kau bertanya padaku. Kali ini ada nada sedikit ngambek di pesanmu.
"Huft ga dijawab. Ya sudah deh kalau ga mau jadi pacarku. Aku mau melamar langit saja, kali aja dia mau."
Jangan! Tapi kata-kata itu hanya terucap dalam hatiku.
****
Mungkin aku pengecut mengakuinya. Terus terang saja aku trauma. Mencari pasangan di dunia maya itu sama saja membeli kucing dalam karung. Kalau tak beruntung bisa saja mendapat kucing yang penuh kutu.
"Tawaranku masih berlaku kok, Bulan." Tulismu di inboxku.
Jujur, virus merah jambu itu telah bersarang di hatiku. Tapi...
"Aku takut kamu kecewa. Aku tak seindah bulan, benda angkasa yang sama-sama kita suka."
Seminggu kau tak membalas inbox dariku. Membuatku cemas tiada terkira.
"Gue juga bukan pangeran tampan dari negri khayangan, tapi gue yakin kita berjodoh. Kalau begitu kita kopi darat saja, gimana?"
Dan aku setuju.
****
Hari yang ditentukan tiba. Di bangku taman pusat kota saat sore menjelang senja. Lelaki berkemeja merah mendekat padaku. Rambutnya gondrong tergerai menyentuh bahu.
"Loe Bulan, 'kan?"
Dan aku mengangguk.
Bintang, sesempurna bintang yang ada di langit. Mendadak aku merasa malu, sedangkan aku?
"Kenapa diam saja? Grogi ya?" tanya Bintang padaku. Setelah sekian lama kita terjebak pada dimensi bisu.
Aku menggeleng cepat. Dalam hatiku berkata, inilah saatnya.
Kuambil notes yang selalu kubawa kemana-mana lengkap dengan pulpen yang jadi senjataku selama ini. Di atas putihnya kutulis, " Inilah yang aku maksud Bintang. Aku bukan gadis sempurna. Sudah pasti aku mengecewakanmu, karena hanya menyebut namamu pun aku tak bisa. Dari kecil aku tak bisa berbicara."
Kuberikan kertas itu kepada bintang, dia membacanya. Lantas dia tertawa.
"Gue ga peduli. Lo tahu?" disibakkan rambut gondrongnya yang lurus sepundak. Dari sana kulihat ada alat bantu pendengaran menghiasi telinganya.
"Dari kecil gua juga tak bisa mendengar."
TAMAT.
1 Suara:
koq tamat gan, mana cerita selanjutnya...
Posting Komentar