Diberdayakan oleh Blogger.

Kamis, 14 Juni 2012

Terlambat



Hatiku geram, majikanku benar-benar keterlaluan. Tak berperikemanusiaan.

Kuusap air mata yang merebak dari mataku, sebelum butiran bening itu jatuh menelusuri pipiku.

"Tapi, Tuan. Keluarga di rumah butuh secepatnya uang itu untuk menebus ijazah adik saya," kataku terbata-bata.

"Ah, kau ini bikin repot saja. Kenapa tak sekalian kemarin waktu gajian? Kalau begini jadinya buang-buang waktuku, ngerti?" bentak majikanku. Dan tanpa ada kepastian dia meninggalkanku di ruang tamu.

Aku marah. Ini kebutuhan mendadak. Sudah menjadi sifat bapakku tak pernah mau merepotkan orang. Kalau dia sampai berani bilang pinjam uang padaku itu tandanya teramat darurat. Dan orang tak punya hati itu tak mau membantu.

Aku tak mau menyerah begitu saja. Maka kuikuti majikanku yang sudah bisa kupastikan dia pergi ke ruang kerjanya.

"Maaf, Tuan. Kalau Tuan tak mau memanggilkan agen untuk kirim uang, biar saja saya kirim uang sendiri lewat seven eleven. Saya tahu caranya, tinggal Tuan berikan uang gaji saya."

Majikanku mengerutkan kening. Mungkin menelaah bahasaku yang berantakan didengar kupingnya.

"Lalu kau pergi sendiri ke seven eleven itu?" nadanya meremehkan.

"Temanku siap mengantarkanku," jawabku mantap.

Majikanku terlihat berpikir sejenak lantas menggeleng kepala tegas.

"Tidak! Itu cuma alasanmu saja untuk keluyuran."

Tuhan! Ini hati manusia terbalut apa sebenarnya? Hampir dua tahun aku di sini, liburan saja belum pernah. Masa cuma mau ke seven eleven kirim uang dibilang keluyuran?

"Tuan, aku mohon. Atau kalau tidak, aku pakai jasa kirim uang lewat indosuara (1) saja. Tak perlu keluar rumah. Tinggal petugasnya datang ambil uangnya." Aku mencoba membujuk sekali lagi.

Namun lagi-lagi, lelaki tinggi, putih dan botak itu tak mengizinkanku. Lebih tepatnya tak memberikan uang gajiku yang dipegang olehnya.

Dengan muka yang mulai memerah dia memerintah secara kasar, "kembalilah kau bekerja. Kepalaku pusing mendengar rengekanmu."

Aku berlalu. Dengan dada bergemuruh karena kecewa, dibarengi leher yang kelu menahan tangis.

****

Seminggu berlalu. Meski dengan berat hati kukabarkan pada bapakku bahwa aku tak bisa kirim uang secepatnya. Lelaki tua yang biasa aku panggil Romo itu menenangkanku.

"Sudah tak apa, Nduk. Mungkin kita harus lebih bersabar lagi. Majikanmu bermaksud baik,"

Hampir saja aku tersedak, "Baik apanya, Romo? Ini namanya keterlaluan. Kita butuh uang itu. Dasar dianya saja yang tak punya hati."

"Sudahlah, Nduk. Tak baik menjelek-jelekkan orang. Yang penting kamu kerja sungguh-sungguh. Rawat nenek baik-baik."

Oh, Tuhan. Bahkan dalam keadaan terjepit seperti sekarang ini pun bapakku masih bisa sabar.

Hanya tetesan air mata mewakili kata dan rasaku.

"Laillaa ha illa anta subhanaka inni kuntu minadzolimin,"(2) batinku.

****

"Tuan cepat pulang. Nenek sakit kepala." Aku telephone majikanku. Panik.

Tuan hanya menjawab dengan singkat, "Hao, teng i sia wo hue cia."(3)

Tapi sebentar yang dia ucap itu lamanya hampir sama dengan menunggu siput tua berjalan satu rute. Amat sangat lambat. Sedangkan nenek tak henti-hentinya merintih.

"Sabar, Nek. Sebentar lagi anakmu pulang," hiburku seraya memijit dengan lembut pelipis kepala nenek.

Sebentar-bentar aku melongok ke depan, memastikan majikanku sudah datang dan segera membawa nenek ke rumah sakit. Tapi penantianku sia-sia. Sudah satu jam berlalu Tuanku tak pulang juga.

"Tuan kenapa lama sekali? Atau saya panggil taksi saja untuk membawa nenek ke rumah sakit?" tawarku.

Setelah sekian lama aku berinisiatif menelphone nya lagi.

"Tak usah! Tunggu aku pulang sebentar lagi. Aku sedang terkena macet." lagi-lagi tuanku membentak dengan kasar.

Aku kembali ke kamar nenek. Kuamati wanita tua itu tak lagi merintih. Berganti dengan nafas tersengal-sengal dan mata mengerjap-kerjap secara cepat.

Aku semakin ketakutan. Tanganku berkeringat dingin. Apa yang harus kulakukan? Sedang satu-satunya majikankupun tak kunjung datang.

"Nek, tenang. Sabar." hanya itu. Aku tak tahu bahasa mandarin yang lebih fasih untuk situasi seperti ini.

"Tunggu sebentar, Nek. Baru saja aku telephone anakmu. Sebentar lagi dia sampai rumah," ucapku.

Mata nenek menatapku tajam dan nafasnya masih tersengal-sengal. Namun lama-kelamaan nafasnya berangsur teratur dan matanya terpejam.

Nenek tidur.

"Nek," panggilku.

Dia tak bergerak. Tubuhnya kaku dan dingin.

Aku tak tahu harus berbuat apa. Hanya bisikan lembut yang terucap dari mulutku.

"Innalillahi wa inna illaihi rojiun."(4)




NB.
1. Tabloid orang Indonesia di Taiwan.
2. Do'a terhindar dari perbuatan dzolim.
3. Ya, sebentar lagi aku pulang.
4. Do'a terkena musibah.

TAMAT.
Taiwan, 30.05.12

0 Suara:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites