"Ram, sini turun Nak. Papa mau bicara"
Aku mendengar panggilan Papaku. Sepertinya dari ruang baca. Segera kurapikan sajadahku dan bergegas pergi ke arah Papa.
"Ya Pa. Rama dipanggil?" Tanyaku berdiri di depan pintu.
"Masuk Ram, duduk" Perintah Papa.
Aku menurut. Ku kelilingi sofa three in one di ruang baca itu dan aku memilih duduk di dekat rak buku.
"Ada apa, Pa?" tanyaku kemudian.
Laki-laki yang kupanggil Papa itu tersenyum. Lesung pipinya masih ada sampai sekarang. Gurat-gurat kelelahan tampak di keningnya. Meskipun rambutnya sudah beruban tapi selalu tersisir rapi ke belakang. Dia selalu tampak berwibawa di mataku.
"Bagaimana menurutmu calon yang papa pilihkan"
"Maksud papa Restu?" Tanyaku memastikan. Begitu banyak calon yang papa ajukan untukku.
"Ya, kamu tidak lupa kan?"
"Iya Pa, Rama ingat"
"Cantik ya"
Memoriku mem flash back kejadian 1 bulan silam, saat kami sekeluarga berkunjung ke rumah Restu bermaksud ta'aruf. Cantik dan sexy itu yang tertangkap pertama kali melihat Restu. Calon yang di pilihkan Papaku.
"Kalian masih berhubungan kan?"
Papa mengagetkanku dengan pertanyaannya. Aku tersenyum dan mengangguk.
"Papa harap kali ini cocok. Tak enak sama Pak Gunawan andai kali ini gagal, Ram"
Ada perasaan bersalah menyembul di dadaku. Aku menghargai usaha papa ku mencarikan jodoh, tapi dari kesemua calon yang ada, belum satu pun yang 'sreg' di hati.
"Cantik memang, tapi..."
"Rama, papa bingung sama kamu. Sudah banyak calon yang papa ajukan terhadapmu dan kesemuanya tidak buruk tapi kamu selalu tidak cocok. Yang begini lah, kurang ini lah, terlalu begitu lah" papaku mulai dengan keluhannya.
Aku jadi merasa tambah tak enak.
"Bukan begitu Pa, Rama sudah dewasa biarkan Rama memilih jalan hidup Rama sendiri" kataku menjawab kegundahan Papaku.
"Mau sampai kapan kamu memilih, Ram? ingat umurmu" kata Papaku.
"Rama tau Pa, berikan Rama waktu"
"Papa lihat Restu anak yang baik, sopan, pendidikannya tinggi, cantik pula. Cocok bila bersanding denganmu, Ram" kata papaku kemudian.
Pikiranku menerawang kemudian. Memang Restu cantik semua orang tau itu. Bahkan orang buta sekalipun bisa merasakan kecantikannya. Tapi entah kenapa hatiku tak tertaut kepadanya. Ada yang lain di penampilannya.
"Ram, kamu harapan Papa satu-satunya. Papa harap kamu tak mengecewakan Papa kali ini"
Tiba-tiba ada perasaan lain di hatiku. Perasaan bersalah yang teramat dalam.
"Ya, Pa kali ini akan Rama coba" kataku untuk menenangkan hati Papaku.
Bukan karena kecantikan Restu tak menarik hatiku tapi aku merasa sayang saja dan juga cemburu. Andai tubuh molek itu terbungkus gamis rapi, mungkin akan tenang aku melihatnya. Aku ngeri membayangkan betapa kemolekan tubuh calon istriku sering dinikmati oleh berjuta pasang mata secara gratis pula.
"Kapan terakhir kamu menelfon Restu, Ram. Papa harap dalam sebulan ini kalian sudah semakin dekat" Perkataan Papaku membuyarkan lamunanku
"Dua hari yang lalu Rama menelfonya, Pa"
kujawab pertanyaan papaku
Ya aku masih jelas mengingatnya. Telfon singkatku untuk Restu. Hanya ingin mencoba sedikit perhatian dengan mengingatkan dia agar jangan lupa sholat, belum selesai aku bicara telfon sudah di matikan. Bahkan salam ku pun gugup dijawabnya
"Bagus, papa berharap banyak pada hubunganmu kai ini, Ram. Jangan kecewakan papa"
Perkataan papaku membuatku menepis pikiran burukku tentang Restu, 'Astaghfirullah jangan suudzon, mungkin waktu itu lowbat' batinku menenangkan
"Iya Pa, Rama nggak akan kecewakan Papa. Rama akan berusaha lebih dekat dengan Restu."
Aku menyerah kali ini. bukan aku kalah, tapi lebih banyak karena perasaan tak enak hati. Andai bukan karena kebaikan Pak Subagyo orang yang ada di depanku kini, mungkin aku masih jadi gelandangan hidup di kolong jembatan. Tidak seperti sekarang hidup serba kecukupan.
"sering-sering lah kalian berkomunikasi, agar lebih dekat. Semoga yang kali ini tak kau tolak, Ram. Papa sudah tua ingin segera menimang cucu" ucap beliau.
Aku tersenyum simpul mendengar perkataan papaku. Kupandangi wajah lelah Pak Subagyo yang berwibawa ini. Sungguh pun aku tak ada maksud mengecewakan orang budiman ini, andai ada pilihan calon lain yang menutup auratnya, mungkin aku akan langsung menerimanya.
"He he he. Papa cucu terus yang dipikirkan"
"Papa sudah tua Rama, sudah saatnya istirahat.Papa ingin masa tua papa tetap ramai dengan adanya cucu-cucu. Maka cepat-cepatlah menikah dan mempunyai anak. Papa akan merasa lega karenanya"
"Iya Pa, Insya Allah"
Aku mengangguk kali ini, dalam hati aku berdo'a 'Tuhan andai Restu itu jodoh yang Engkau berikan untuku, aku ikhlas menerimanya. Aku tak ingin membuat Papaku ini selalu gelisah memikirkanku di masa tuanya. Orang yang sudah berbaik hati memungutku 30 tahun silam'
"Baiklah kalau begitu Pa. Rama kembali ke kamar lagi ya, tadi belum selesai baca Qur'annya" pamitku.
Pak subagyo mengangguk dan tersenyum simpul
"Ya, pergilah Nak"
Aku mendengar panggilan Papaku. Sepertinya dari ruang baca. Segera kurapikan sajadahku dan bergegas pergi ke arah Papa.
"Ya Pa. Rama dipanggil?" Tanyaku berdiri di depan pintu.
"Masuk Ram, duduk" Perintah Papa.
Aku menurut. Ku kelilingi sofa three in one di ruang baca itu dan aku memilih duduk di dekat rak buku.
"Ada apa, Pa?" tanyaku kemudian.
Laki-laki yang kupanggil Papa itu tersenyum. Lesung pipinya masih ada sampai sekarang. Gurat-gurat kelelahan tampak di keningnya. Meskipun rambutnya sudah beruban tapi selalu tersisir rapi ke belakang. Dia selalu tampak berwibawa di mataku.
"Bagaimana menurutmu calon yang papa pilihkan"
"Maksud papa Restu?" Tanyaku memastikan. Begitu banyak calon yang papa ajukan untukku.
"Ya, kamu tidak lupa kan?"
"Iya Pa, Rama ingat"
"Cantik ya"
Memoriku mem flash back kejadian 1 bulan silam, saat kami sekeluarga berkunjung ke rumah Restu bermaksud ta'aruf. Cantik dan sexy itu yang tertangkap pertama kali melihat Restu. Calon yang di pilihkan Papaku.
"Kalian masih berhubungan kan?"
Papa mengagetkanku dengan pertanyaannya. Aku tersenyum dan mengangguk.
"Papa harap kali ini cocok. Tak enak sama Pak Gunawan andai kali ini gagal, Ram"
Ada perasaan bersalah menyembul di dadaku. Aku menghargai usaha papa ku mencarikan jodoh, tapi dari kesemua calon yang ada, belum satu pun yang 'sreg' di hati.
"Cantik memang, tapi..."
"Rama, papa bingung sama kamu. Sudah banyak calon yang papa ajukan terhadapmu dan kesemuanya tidak buruk tapi kamu selalu tidak cocok. Yang begini lah, kurang ini lah, terlalu begitu lah" papaku mulai dengan keluhannya.
Aku jadi merasa tambah tak enak.
"Bukan begitu Pa, Rama sudah dewasa biarkan Rama memilih jalan hidup Rama sendiri" kataku menjawab kegundahan Papaku.
"Mau sampai kapan kamu memilih, Ram? ingat umurmu" kata Papaku.
"Rama tau Pa, berikan Rama waktu"
"Papa lihat Restu anak yang baik, sopan, pendidikannya tinggi, cantik pula. Cocok bila bersanding denganmu, Ram" kata papaku kemudian.
Pikiranku menerawang kemudian. Memang Restu cantik semua orang tau itu. Bahkan orang buta sekalipun bisa merasakan kecantikannya. Tapi entah kenapa hatiku tak tertaut kepadanya. Ada yang lain di penampilannya.
"Ram, kamu harapan Papa satu-satunya. Papa harap kamu tak mengecewakan Papa kali ini"
Tiba-tiba ada perasaan lain di hatiku. Perasaan bersalah yang teramat dalam.
"Ya, Pa kali ini akan Rama coba" kataku untuk menenangkan hati Papaku.
Bukan karena kecantikan Restu tak menarik hatiku tapi aku merasa sayang saja dan juga cemburu. Andai tubuh molek itu terbungkus gamis rapi, mungkin akan tenang aku melihatnya. Aku ngeri membayangkan betapa kemolekan tubuh calon istriku sering dinikmati oleh berjuta pasang mata secara gratis pula.
"Kapan terakhir kamu menelfon Restu, Ram. Papa harap dalam sebulan ini kalian sudah semakin dekat" Perkataan Papaku membuyarkan lamunanku
"Dua hari yang lalu Rama menelfonya, Pa"
kujawab pertanyaan papaku
Ya aku masih jelas mengingatnya. Telfon singkatku untuk Restu. Hanya ingin mencoba sedikit perhatian dengan mengingatkan dia agar jangan lupa sholat, belum selesai aku bicara telfon sudah di matikan. Bahkan salam ku pun gugup dijawabnya
"Bagus, papa berharap banyak pada hubunganmu kai ini, Ram. Jangan kecewakan papa"
Perkataan papaku membuatku menepis pikiran burukku tentang Restu, 'Astaghfirullah jangan suudzon, mungkin waktu itu lowbat' batinku menenangkan
"Iya Pa, Rama nggak akan kecewakan Papa. Rama akan berusaha lebih dekat dengan Restu."
Aku menyerah kali ini. bukan aku kalah, tapi lebih banyak karena perasaan tak enak hati. Andai bukan karena kebaikan Pak Subagyo orang yang ada di depanku kini, mungkin aku masih jadi gelandangan hidup di kolong jembatan. Tidak seperti sekarang hidup serba kecukupan.
"sering-sering lah kalian berkomunikasi, agar lebih dekat. Semoga yang kali ini tak kau tolak, Ram. Papa sudah tua ingin segera menimang cucu" ucap beliau.
Aku tersenyum simpul mendengar perkataan papaku. Kupandangi wajah lelah Pak Subagyo yang berwibawa ini. Sungguh pun aku tak ada maksud mengecewakan orang budiman ini, andai ada pilihan calon lain yang menutup auratnya, mungkin aku akan langsung menerimanya.
"He he he. Papa cucu terus yang dipikirkan"
"Papa sudah tua Rama, sudah saatnya istirahat.Papa ingin masa tua papa tetap ramai dengan adanya cucu-cucu. Maka cepat-cepatlah menikah dan mempunyai anak. Papa akan merasa lega karenanya"
"Iya Pa, Insya Allah"
Aku mengangguk kali ini, dalam hati aku berdo'a 'Tuhan andai Restu itu jodoh yang Engkau berikan untuku, aku ikhlas menerimanya. Aku tak ingin membuat Papaku ini selalu gelisah memikirkanku di masa tuanya. Orang yang sudah berbaik hati memungutku 30 tahun silam'
"Baiklah kalau begitu Pa. Rama kembali ke kamar lagi ya, tadi belum selesai baca Qur'annya" pamitku.
Pak subagyo mengangguk dan tersenyum simpul
"Ya, pergilah Nak"