Diberdayakan oleh Blogger.

Minggu, 05 Agustus 2012

Kumpulan cerita mini


ULANGTAHUN PERNIKAHAN
By. Rahayoe Wulansari


Masakan sudah siap. Dari yang tersulit rendang sampai termudah tempe goreng. Mini juga sudah pulang dari salon. Pesta kejutan ulang tahun pernikahannya sudah tersusun rapi.

Sekali lagi ia memeriksa segalanya. Ada pias puas tersirat di bola mata beningnya.

"Tabunganku habis tak mengapa, demi hari special." Ia berbisik pada cermin rias di kamarnya.

Tit, tit, tit.

SMS dari suaminya datang.

Mama, Papa pulang terlambat malam ini, ada tugas kantor mendadak.

Mini sedih, ia kecewa, usahanya sia-sia. Ya, sudahlah! batinnya pasrah. Mini tak tahu, telah terukir senyum simpul suaminya di belahan dunia lain memasuki kamar motel bersama gadis putih nan seksi bergelayut manja di lengan kirinya.

Taiwan, 26.07.12


****


SELAMAT TINGGAL
By. Rahayoe Wulansari


Hatiku bergemuruh hebat. Leher ini begitu kelu menahan rasa, mulutku terkatup rapat tak mampu berkata. Mataku merebak mencipta bening cekung di retina menyamarkan bayangmu yang ada di depan mata.

Kurasakan tanganmu mengendur di genggaman sela jari jemari. Mulutku berdesis, "Kumohon, jangan pergi!"

Namun kau terdiam. Kepalamu menunduk menandakan begitu berat menghadapi ini semua.

"Selamat tinggal," bisikmu.

Tidak! Jangan ucapkan selamat tinggal. Aku benci mendengarnya. Lalu air mata ini luruh berjatuhan satu-satu mewakili jeritan hati yang tak terucap.

"Jaga dirimu." Bersama itu pula genggaman tanganmu terlepas dari jari jemariku.

Aku terisak. Aku sesak. Menatap punggungmu yang semakin menjauh. Mungkin aku akan terus berdiri di sini selamanya menatap siuletmu berubah menjadi fatamorgana andai tak kusadari ada suara memanggilku.

"Ma, kita pulang, ya. Adek capek berdiri terus." Aku menoleh dan mengangguk.

"Biar Adek saja yang mendorong kursi roda Papa, Ma. Adek lihat Mama lelah sekali." Aku hanya mengangguk.



Taiwan, 30.07.12


****


SEMANIS MADU
By Rahayoe Wulansari

"Semuanya sudah siap, Abi. Gamis untuk Hidayah ada di dalam tas," tutur Anisa.

"Hati-hati di jalan, salam buat Hidayah." Anisa berpesan seraya ia mencium punggung tangan suaminya dengan takzim.

"Abi berangkat dulu, Mi. Assalamualaikum." Dan Anisa menjawab salam suaminya.

Bayangan pemimpin keluarganya itu telah hilang dari pandangan, lantas Anisa mengambil ponselnya.

Dipastikan ia tak salah menelepon, lalu, "Halo, Hidayah? Baru saja Abi berangkat. Jaga dengan baik suami kita seminggu ke depan, ya! Assalamualaikum."

Selarik senyum terkembang di bibir Anisa, semanis madu, tenang dan damai.


Taiwan, 31.07.12


****


HARI TERAKHIR
By Rahayoe Wulansari.


"Ini malam terakhir, semua ini harus berakhir. Aku tak mau terus menerus bermain API," bisikmu kelu, hampir mirip desahan menyayat kalbu.

Aku menghela nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Berharap dengan begini, sesak yang bersarang di dada sedikit berkurang.

"Lantas bagaimana dengan cinta kita?" Pertanyaanku yang bertujuan menahanmu.

Aku tak mau membual dengan mengatakan aku tak bisa hidup tanpamu, karena sebelum kau hadirpun aku telah hidup. Hanya aku tak tahu bagaimana menata hidupku kemudian hari agar berjalan seperti biasa meski tanpa canda tawamu.

"Lupakanlah, cinta kita ini salah." Kau begitu tegar mengucapkannya meski kuyakin kau tak sekuat itu.

Aku tahu batinmu menangis pedih.

"Kupersembahkan kePERAWANanku untukmu," lanjutmu pasrah.

Aku menelan ludah, sumpah aku tergoda. Ingin rasanya menjamahmu, bergumul dalam pergulatan penuh nafsu, bercinta penuh gairah. Namun aku tak bisa, tak mungkin bisa.

Kukecup keningmu perlahan dan berbisik, "Simpan itu untuk suamimu kelak."

Aku pun tersenyum tenang, begitu melihat wajah polosmu meLUKISkan cinta yang tak berkesudahan.

"Aku yakin kau akan lebih menikmati bercinta dengan lawan jenis kita," ucapku kemudian.

Smartphoneku berdering, menyanyikan lagu kesukaanmu.

Haruskah merasa salah di diriku,
Bila mencintaimu yang tlah berdua
Seolah aku perawan cinta yang haus kasih.

Ada SMS masuk dan aku membacanya sekilas, lalu kuacak rambut panjangmu.

"Aku harus pergi, suamiku sudah menunggu." Aku pun berlalu meninggalkanmu.


Taiwan, 01.08.12


****

Senandung suara-suara


Hampir semua orang menganggap aku bodoh, bahkan yang lebih gila lagi menganggap aku diguna-guna. Hampir semua keluargaku tak percaya, ketika kubawa Ratih ke hadapan papa dan mama untuk kuperkenalkan sebagai calon menantu.

"Nggak salah, Kris?" Begitu reaksi kakak perempuanku.

Ibuku melirik sinis, menatap dari ujung rambut hingga ujung kaki wanita di hadapannya.

"Lulusan universitas mana?" tanya mama.

Aku menengahi. Aku menerangkan pada mereka bahwa pertemuanku dengan Ratih adalah tak sengaja ketika aku mengunjungi teman lama semasa kuliah di Jawa dahulu. Ratih yang kala itu sedang menjadi guru mengaji di sebuah mushola menarik perhatianku.

"Kamu tahu akan masuk ke keluarga macam apa?" lanjut mamaku.

Ratih tersenyum. Aku tahu dia gugup, namun wanita lugu itu bisa menutupinya.

"Kris kuharap kau tak serius, Nak." Mama menyudahi bicaranya kemudian beliau meninggalkan ruang tamu.

Ketika kutatap mata papa untuk meminta dukungan, lelaki paruh baya itu hanya mengedikan bahu.


****


Ratih tidak cantik, tidak juga langsing. Tinggi badannya rata-rata pawakan orang Indonesia. Kulit Ratih sawo matang cenderung hitam, namun terlihat bercahaya di mataku.

"Aku tahu mengapa akhirnya kau menikahi gadis desa tak berpendidikan itu," kelakar Nia, gadis seksi temanku nongkrong.
"Aku yakin dia tak akan mengerti kemana kau pergi ketika kau pulang larut," lanjutnya.

Aku tak menanggapi celotehnya. Justru semenjak aku menikahi Ratih, entah mengapa aku ingin cepat-cepat pulang ke rumah. Melihat wajah teduhnya dan bermanja-manja sambil mengelus-elus perut buncitnya.

Di sana jagoan kecilku berada.

Rangga teman main biliyardku pun tak percaya jika aku benar-benar mencintai Ratih, istriku.

"Playboy berselera tinggi sepertimu akhirnya memilih perempuan berjilbab itu?" tanyanya ketika istirahat di kantor.
"Apa kau bisa begitu saja melupakan pesona si Maya, penari striptis itu?" Dan aku tergelak.

Hatiku tiba-tiba perih. Betapa dulu aku selalu bergumul dengan dosa dan Ratih begitu ikhlas menerimaku apa adanya. Tak tahu apa yang akan terjadi pada rumah tanggaku jika bukan Ratih, wanita tersabar yang sekarang menjadi istriku. Mungkin perceraian menjadi takdir rumah tanggaku.


****


"Tidak, Ma! Aku tak mau mengkhianati istriku!" geramku. Mama tersenyum licik. Ia tahu aku sedang kesulitan keuangan sekarang, dan beliau memberiku pilihan yang sulit.

"Keputusan ada di tanganmu, Nak. Kau nikahi Anggi dan hak warisan dari Papa akan menjadi milikmu." Mamaku tega, benar-benar tega.

"Atau kau akan kehilangan salah satunya, istrimu atau anak yang dikandungnya," lanjut beliau.

Duh gusti! Mamaku tahu biaya operasi caesar Ratih tidak sedikit. Dan semenjak aku memilih tetap menikahi Ratih, maka sejak itu pula fasilitas kemewahan dari keluarga otomatis dicabut. Aku dianggap anak durhaka. Dan aku harus rela bekerja sebagai pegawai rendahan di sebuah kantor swasta. Jangankan untuk membiayai operasi Ratih karena kelainan jalan lahir yang dideritanya, untuk makan enak serta hidup layak saja aku harus ekstra kerja keras.

Hidupku bagaikan makan buah simalakama. Aku menyayangi ratih, dan aku ingin anaku lahir dengan selamat. Kemudian setanlah yang menang, aku menerima syarat yang diajukan mama. Kunikahi Anggi, perempuan glamor yang suka sekali merokok, anak teman mama.

"Tolong, jangan sampai Ratih tahu akan hal ini, Ma!" mohonku serius. Aku tak yakin bisa kuat melihat wajah teduh Ratih berubah sendu ketika mengetahui pengkhianatanku.

"Papa sudah mengatur semuanya, Kris." Suara berat papa terasa semakin berat di telingaku. Tak kusangka, semua keluargaku sekongkol akan hal ini.

Bahkan kakak perempuanku ikut mendukung, "Selamat datang kembali pada kemewahan adikku yang ganteng." Dengan penuh tawa ia menggodaku. Suara kenesnya terasa begitu menyesakkan dada.

"Ratih, maafkan aku. Semua ini kulakukan karena aku takut kehilanganmu. Ampuni aku yang tak bisa menjadi imam panutanmu," dalam bisik lirih dan isak kecil kuucapkan maafku.


****


Samarinda menjadi rumah ke-duaku setelah rumah mungilku di Jakarta bersama Ratih. Namun karena desakan mama, aku lebih banyak menghabiskan waktu di rumah megah bak istana ini. Hidup bersama istri ke-duaku yang hobby sekali shoping, beda jauh dengan Ratih. Tak pernah sekalipun Anggi melayani kebutuhanku, semua diserahkan ke tangan pembantu.

Terkadang aku rindu pulang. Ingin kubermanja lama-lama pada Ratih, istriku yang berwajah teduh.

"Mas roti dan kopinya sudah siap, silakan sarapan." Begitu biasanya saat pagi menjelang. Pertama kali aku membuka mata langsung dimanjakan pelayanan Ratih yang sangat tulus.

Juga saat aku pulang dari bekerja. "Mas, airnya sudah hangat, silakan mandi dulu lantas makan malam, ya! Pasti capek, 'kan?" suara lembut Ratih seketika menyembuhkan lelahku.

Aku merindukannya. Sangat-sangat rindu. Aku yakin Ratih telah mengetahui pernikahan ke-duaku dengan Anggi. Namun Ratih tak pernah bertanya, dia menggap tak terjadi apa-apa. Ratih tak mempersoalkan aku yang hanya pulang 2 kali dalam sebulan dengan alasan bisnis di luar kota. Ratih tetap memperlakukan aku seperti dahulu, sebelum semua ini terjadi.

Saat jagoan kecilku mulai bisa memanggilku papa, maka aku pun menceritakannya.

"Aku yang salah, Tih," ucapku. Aku bersujud di hadapan Ratih memohon ampunannya. Dan aku merasa semakin bersalah ketika tetes air mata dari wajah teduh Ratih membasahi jilbab putih yang saat itu dikenakan.


****


Hampir semua orang menganggap aku bodoh, bahkan menyalahkan tindakanku. Namun aku merasa, akulah orang paling beruntung di dunia.

Ratih tidak cantik tapi berhati baik. Keberadaannya laksana malaikat yang singgah dalam kehidupanku. Bagaimana tidak? Meski aku telah menyakiti hatinya dengan menikahi Anggi, namun dia tetap memperlakukan aku begitu istimewa.

Aku tahu dan aku bisa merasakannya. Setiap hari Ratih datang padaku, bercerita tentang kesehariannya dan juga pertumbuhan jagoan kecilku. Tak jarang pula terkadang dia berbisik mesra di telingaku, "Aku sayang kamu, Mas. Tetaplah di sisiku."

Trenyuh hati ini mendengarnya. Apalagi tatkala jagoan kecilku dengan riangnya berceloteh, "Papa tadi Alfa dapat nilai celatus." Meski masih cadel, anakku sangat menggemaskan.

Hanya suaranya dan Alfa yang kudengar setiap hari. Do'a tulusnya, lantunan ayat-ayat sucinya, atau terkadang senandung lirih Ratih selalu berdengung di telingaku. Memang ada kalanya aku mendengar suara papa dan mama juga kakak perempuanku, tapi itu sangat jarang terjadi, kalaupun kudengar pastilah hanya sebentar.

Dan Anggi? Semenjak aku harus mengalami koma selama berbulan-bulan karena kecelakaan, ia tak pernah kudengar suaranya lagi. Mungkin sibuk dengan rokok dan lawatan luar negrinya menghambur-hamburkan uang.

Ya, inilah kenyataan. Aku harus berada di sini, terkapar tak berdaya di ranjang rumah sakit. Hidup bergantung pada mesin berselang tapi tak bisa dibilang mati. Dan aku beruntung, karena Ratih tetap setia merawatku dengan penuh kasih. Ia selalu bersenandung untukku, berbisik syahdu di telingaku, "Bangunlah, Mas. Aku mencintaimu."


Taiwan, 26.07.12

PESAN JAY


"Bahkan kau pulang pun tak mengabariku, Mas?" desis DAHLIA.

Di bibir pantai berpasir putih kala SENJA hampir tercipta. Jay diam saja tak menjawab. Dia larut dalam pesona cakrawala yang mencipta warna tembaga.

"Kepulanganku mendadak, Dahlia. Karena suatu hal," ucapnya kemudian. Pandangan Jay tetap lurus ke depan. Kepada sinar mentari yang lamat-lamat tertelan bumi.

Ia tak mempedulikan keresahan Dahlia. Kegelisahan yang terpancar pada mata beningnya karena kepulangan Jay yang tiba-tiba. Namun begitu, tak ayal ada sebuncah rindu yang menguak di antara ucapan Dahlia sore itu.

"Tapi Dahlia, aku harus mengakhiri hubungan kita. Lebih baik jangan tunggu aku lagi."

Dahlia tersentak. Dahlia hampir saja marah, namun ditahan. Ia masih coba berpikir bahwa Jay hanya bercanda. Sama seperti sekarang, yang tak memberi kabar sebelumnya tentang kepulangan Jay dari negri Jiran sebagai TKI.

"Dan tolong berikan surat ini kepada Ibuku. Sampaikan juga permintaan maafku padanya," lanjut Jay.

Dahlia membisu serta kebingungan. Dirinya masih mencoba mencerna apa yang terjadi.

"Kamu bercanda kan, Mas?" Dahlia mencerca Jay. Akan tetapi Jay meninggalkan Dahlia pergi. Melangkah memunggungi kekasihnya yang masih ternganga tak percaya. Berulangkali Dahlia memanggil Jay, namun ia tetap tegap melangkah. Mantap menjangkah satu demi satu. Meninggalkan tapak sepatu di pasir putih. Jelas, senyata hati Dahlia yang sakit tak terperi.


****


FAJAR menyemburat dari ufuk timur. Dahlia berjalan gontai tak tentu arah. Penampilannya kusut masai tak terawat. Dia terus berjalan dan berjalan mengikuti kemana kaki melangkah. Dahlia sudah tak semangat hidup.

Tanpa sadar, kaki Dahlia membawa tubuhnya ke rumah Ibu Jay. Keadaan masih sepi waktu itu. Hanya terdengar lamat-lamat suara ibu dan bapak Jay sedang berbincang.

"Assalamualaikum," ucap Dahlia ketika sudah berdiri di ambang pintu.

Tak berpa lama keluar Ibu Jay membukakan pintu dan terkejut melihat penampilan Dahlia yang seperti orang gila.

"Saya tak akan lama, Bu. Hanya ingin memberikan ini!" Disodorkan amplop putih titipan Jay pada Ibunya.

"Dari Jay. Dia memintaku ke pantai kemarin."

Ibu Jay terbelalak. "Apa kau tak salah lihat, Nak?"

Dahlia menggeleng.

"Apa benar yang menemuimu itu Jay anak Ibu?" Nada tak percaya tersirat dari ucapan Ibu Jay.

Kali ini Dahlia mengangguk.

Ibu Jay menangis membuat Dahlia kebingungan. "Apa yang sedang terjadi, Bu?"

"Dini hari tadi, kami mendapatkan telepon dari Malaysia, bahwa Jay mengalami kecelakaan kerja." ucap Ibu Jay sendu.

Dahlia tak percaya. Dahlia mengeleng kuat-kuat. Tidak! Teriaknya dalam hati.

"Dan nyawanya tak terselamatkan," lirih Ibu Jay kemudian.

Dahlia pun pinsan.


Taiwan, 25.07.12

Gugurnya Daun Maple


Aku memicingkan mataku menghalau sinar mentari. Cahayanya begitu
menusuk kulitku bahkan terasa meresap ke sumsum tulangku. Siang ini

begitu panas terasa menambah lelah saja kepada tubuhku yang telah
kering. Kusandarkan badan di tembok untuk membantu menopang aku yang
begitu letih akan hidup. Merana dan kesepian. Lelaki berkacamata minus
yang berdiri tak jauh dari tempatku bersandar, melihatku dari atas
sampai ke bawah lalu tersenyum miris. Mungkin memang benar keadaanku
mengenaskan.



Tiba-tiba daun pun berguguran. Aku heran, sekarang masih musim panas,
belum saatnya lembar hijau itu merontokkan diri. Aku mendongak ke
atas, ke beberapa pohon yang ada di sekitarku. Dan lelaki berkacamata
minus itu mengikuti tindakanku. Kemudian dia berkata, "Neng pasti
merasa aneh darimana daun-daun ini datang."



Aku tak menjawab, dia pasti sudah tau apa yang aku rasakan tentang
daun-daun ini. Aku hanya tersenyum membalas perkataan lelaki
berkacamata itu. Kuambil sehelai daun dan kuamati, "Ini bukan daun
biasa, Pak. Dan gugurnya pun terlihat dipaksakan. Tampak dari
batangnya yang bukan gugur karena sudah tua." Kataku kepada lelaki
berkacamata tadi.
Aneh.
Dia tersenyum mendengar analisaku. Senyumnya begitu menawan. Mungkin
dia pikir aku terlalu menghiperbolakan keadaan. Lelaki itu membuka
kacamatanya dan melipatnya dengan rapih lalu menoleh kearahku, "Kamu
seperti detektif saja, menganalisa daun sampai begitu telitinya."
Katanya diiringi senyum ke arahku.



Aku terhenyak sesaat. Oh, Tuhan! Tidak hanya Engkau ciptakan makhluk
ini dengan senyum yang menawan, tapi juga dengan mata yang sempurna.
Matanya seperti angin. Mirip mata seseorang.



Aku pun membalas senyumannya, "Bukan begitu, tapi aku merasa aneh
saja. Ini masih musim panas, tak seharusnya daun-daun ini ada.
Sepertinya..." Aku tak meneruskan kalimatku.



Lelaki berkacamata itu mengerutkan alisnya. Dalam posisi seperti ini
matanya tampak semakin indah. Seperti angin musim gugur, dingin dan
menyegarkan.



"Seperti apa?" tanyanya kepadaku.



Aku terdiam, sedikit berteka-teki. Hanya untuk sekedar memberiku waktu
lebih banyak menatap matanya, mata anginnya.



"Sepertinya daun ini jatuh dari surga." Kataku kemudian.



Sesaat dia terkesima akan kata-kataku dan lantas tergelak.



"Hahaha. Neng, kau tak hanya seperti detektif, tapi juga cocok jadi
penulis novel."



Ah, sudah kuduga. Dia pasti akan menertawakan ucapanku dan
menyimpulkan hal yang sama dengan orang-orang bahwa aku hanya bisa
membual seperti penulis novel.



"Bukan itu maksud saya, Pak. Lihat saja, daun seperti ini tak ada
pohonnya di sekitar sini. Tapi kenapa bisa berguguran di daerah ini.
Apa bapak tak merasa aneh?" kataku meyakinkan lelaki berkacamata itu.



Aku tak ingin dikatakan melebih-lebihkan kondisi atau bahkan berbakat
jadi penulis novel yang pandai merangkai kata-kata indah.



Dia menghela nafas. Membuang penat yang menempel di tubuhnya.
Sepertinya dia senasib dengan aku, merasa lelah akan ujian hidup yang
tiada henti.



Mata anginnya menerawang jauh, dan dia pun berkata, "Mungkin memang
benar Neng, daun ini dari surga. Dari seseorang yang menjatuhkannya
untukku."



Aku tak mengerti maksud kata-katanya. Kuberanikan bertanya dan
mengganggu keasyikannya sebentar, "Maksud bapak?"



Dia menoleh kearahku dan tersenyum. Ah, mata anginnya itu membuatku terkesima.



"Namanya Rumi, Istriku. Wanita ayu dengan pipi jingga jika sedang
marah. Dia meninggal 7 tahun yang lalu. Dan ini daun maple, daun yang
hanya tumbuh di luar negri. Daun kesukaannya. Di manapun aku berada
daun ini akan tiba-tiba bertaburan di dekatku, apalagi jika aku sedang
berdekatan dengan wanita." Ceritanya padaku.



Aku jadi merasa tak enak hati pada lelaki berkacamata itu. Bukan
karena sekarang aku berada hanya berdua saja dengannya. Tetapi karena
aku begitu terpikat dengan mata indahnya, yang membuat Rumi, Istrinya
yang berpipi jingga kalau sedang marah mengirimkan daun maple itu
kemari. Pasti tak enak sekali terus-terusan dicurigai.



"Maafkan aku, Pak." Kataku kemudian.



"Maaf untuk apa, Neng?" dia balik bertanya. Mungkin pertanyaanku
terasa aneh baginya.



Aku sedikit gugup. Tak mungkin aku berkata maaf karena aku memuja mata
indahmu sehingga Rumi, istrimu itu cemburu dan menjatuhkan maple ini.
Tapi aku hanya tersenyum dan menjawab, "Maaf, aku asal membuat analisa
tadi, aku tidak tau kalau daun ini ada hubungannya dengan almarhum
istri bapak." Kataku berbohong.



"Hahaha. Tak apa-apa, Neng. Mungkin Rumi cemburu aku berada di sini
bersamamu." Katanya menenangkanku. Sebenarnya bukan kata-katanya yang
menenangkanku, tapi mata yang seperti angin itu yang membuatku tenang.



Tak terasa bulir-bulir air mata pun luruh berjatuhan satu-satu. Mata
angin itu, aku seperti pernah mengenalnya bahkan sangat mengenalnya.
Mata yang dingin dan menyegarkan seperti angin musim gugur. Yang
membuatku serasa berada di kutub utara bila bersitatap dengannya. Sama
persis seperti punya seseorang yang telah meninggalkanku.



Lelaki itu menoleh ke arahku karena mendengar isak lirih yang
kuhasilkan. Kutangkap dengan ekor mataku dia mengambil sapu tangan di
kantong celananya dan mengangsurkan kepadaku.



"Maaf, Pak." Kataku sambil menerima sapu tangannya.



"Kamu selalu minta maaf, Neng. Menangislah jangan kau biarkan
bulir-bulir air mata itu bertahan di kelopak hatimu dan membuat tambah
sakit. Menangislah jika itu bisa membuatmu tenang." Lelaki berkacamata
itu memberikan wejangan kepadaku.



Tak berapa lama dia berangsur jongkok dan mengambil daun maple yang
besar lalu memasukannya ke dalam tas yang dibawanya.



Aku menghentikan isakku. "Untuk apa daun itu, Pak?" tanyaku. Sudah
jelas-jelas daun itu pertanda almarhum istrinya sedang cemburu. Dan
aku yakin pipinya sekarang berwarna jingga.



"Untuk kenang-kenangan." Kata lelaki berkacamata itu diiringi senyum
menawannya.



"Aku selalu mengumpulkannya, Neng. Dengan begini aku bisa menghitung
berapa kali Rumi cemburu dan seberapa besar cintanya kepadaku." Lanjut
lelaki berkacamata itu.



Aku menelan ludah. Beruntung sekali Rumi istrinya itu, meski sudah
berbeda alam masih saja menguntit suaminya. Dan lelaki berkacamata ini
ikhlas menerimanya. Sedangkan aku, baru beberapa kali cemburu pun Rama
memilih pergi dariku.



"Apa bapak tidak bosan selalu menerima kiriman aneh dari istri bapak?
Dicurigai tak nyaman rasanya." Kataku memancing ingin tahu.



"Justru senang, Neng. Aku jadi merasa diperhatikan oleh cinta Rumi.
Kelak jika kita bertemu di surga, kita akan bersama-sama menghitung
daun-daun maple ini." Lelaki berkacamata itu menjawab.



Oh, Tuhan! Bulir-bulir air mata pun semakin deras. Aku begitu
terenyuh, banyak sekali cinta sejati yang harus berpisah karena
suratan takdir.



Lelaki berkacamata itu menyentuh pundakku, memberikan kekuatan yang
aku butuhkan. Tiba-tiba ada perasaan lain di hatiku. Mungkin malu.
Lelaki itu begitu tegar dan ikhlas menerima semua ujian. Dan aku
tidak.



Aku menoleh ke arahnya. Kukembalikan sapu tangannya yang telah basah
oleh bulir-bulir air mata. "Terima kasih, Pak. Aku sudah lega
sekarang."



Dia menatapku dengan seksama, kacamata yang tadi dilipat kini
dipakainya kembali. Ah, mata angin itu semakin mempesonaku.



"Benar kau tak apa-apa, Neng?" tanyanya sejurus kemudian.



Aku mengangguk dan mencoba tersenyum kepadanya.



Tiba-tiba ada perasaan lain di hatiku. Mungkin rasa bersalah. Aku
terlalu terkesima dengan mata lelaki ini. Aku takut sebentar lagi Rumi
akan mengirimkan maple lebih banyak lagi jika mengetahui hal ini.
Segera kualihkan pandanganku dan berkata, "Iya, Pak. Aku sudah lebih
baik sekarang."



Aku berjongkok mengambil daun maple yang masih tersisa. Mungkin aku
terlihat aneh hingga lelaki berkacamata itu bertanya padaku. "Untuk
apa daun itu, Neng?"



"Untuk kenang-kenangan, Pak. Andai aku tak bertemu bapak, aku tak akan
mendapat pelajaran berharga tentang kehidupan." Jawabku.



Lelaki berkacamata itu tersenyum lega. Mungkin sekarang sudah percaya
bahwa aku baik-baik saja.
Kupicingkan mataku menatap langit dan lalu kumasukkan maple ke saku bajuku.



"Hari sudah hampir sore, Pak. Saya harus pergi. Sekali lagi terima
kasih." Aku berpamitan



Lelaki berkacamata itu tersenyum dan mengangguk.



"Iya Neng, aku juga harus pulang. Selamat jalan."



"Selamat jalan."
Aku membalik badan, kulangkahkan kakiku ke kehidupanku selanjutnya.
Aku harus mengisinya dengan kesabaran dan tulus ikhlas setiap harinya.
Kutinggalkan sakit dan kecewaku bersama sisa-sisa daun maple yang ada
di sana. Aku menoleh, kulihat lelaki berkacamata itu pun sudah mulai
beranjak berlawanan arah denganku. Aku tersenyum simpul menatap
punggungnya.



Kulanjutkan langkahku kembali. "Rama, aku sudah ikhlas sekarang.
Mungkin kau bukan ditakdirkan untukku. Semoga kau bahagia." Bisiku
pada nuraniku yang tersenyum

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites