Aku memicingkan mataku menghalau sinar mentari.
Cahayanya begitu
menusuk kulitku bahkan terasa meresap ke sumsum
tulangku. Siang ini
begitu panas terasa menambah lelah saja kepada
tubuhku yang telah
kering. Kusandarkan badan di tembok untuk membantu
menopang aku yang
begitu letih akan hidup. Merana dan kesepian.
Lelaki berkacamata minus
yang berdiri tak jauh dari tempatku bersandar,
melihatku dari atas
sampai ke bawah lalu tersenyum miris. Mungkin
memang benar keadaanku
mengenaskan.
Tiba-tiba daun pun berguguran. Aku heran, sekarang
masih musim panas,
belum saatnya lembar hijau itu merontokkan diri.
Aku mendongak ke
atas, ke beberapa pohon yang ada di sekitarku. Dan
lelaki berkacamata
minus itu mengikuti tindakanku. Kemudian dia
berkata, "Neng pasti
merasa aneh darimana daun-daun ini datang."
Aku tak menjawab, dia pasti sudah tau apa yang aku
rasakan tentang
daun-daun ini. Aku hanya tersenyum membalas
perkataan lelaki
berkacamata itu. Kuambil sehelai daun dan kuamati,
"Ini bukan daun
biasa, Pak. Dan gugurnya pun terlihat dipaksakan.
Tampak dari
batangnya yang bukan gugur karena sudah tua."
Kataku kepada lelaki
berkacamata tadi.
Aneh.
Dia tersenyum mendengar analisaku. Senyumnya
begitu menawan. Mungkin
dia pikir aku terlalu menghiperbolakan keadaan.
Lelaki itu membuka
kacamatanya dan melipatnya dengan rapih lalu
menoleh kearahku, "Kamu
seperti detektif saja, menganalisa daun sampai
begitu telitinya."
Katanya diiringi senyum ke arahku.
Aku terhenyak sesaat. Oh, Tuhan! Tidak hanya
Engkau ciptakan makhluk
ini dengan senyum yang menawan, tapi juga dengan
mata yang sempurna.
Matanya seperti angin. Mirip mata seseorang.
Aku pun membalas senyumannya, "Bukan begitu,
tapi aku merasa aneh
saja. Ini masih musim panas, tak seharusnya
daun-daun ini ada.
Sepertinya..." Aku tak meneruskan kalimatku.
Lelaki berkacamata itu mengerutkan alisnya. Dalam
posisi seperti ini
matanya tampak semakin indah. Seperti angin musim
gugur, dingin dan
menyegarkan.
"Seperti apa?" tanyanya kepadaku.
Aku terdiam, sedikit berteka-teki. Hanya untuk
sekedar memberiku waktu
lebih banyak menatap matanya, mata anginnya.
"Sepertinya daun ini jatuh dari surga."
Kataku kemudian.
Sesaat dia terkesima akan kata-kataku dan lantas
tergelak.
"Hahaha. Neng, kau tak hanya seperti
detektif, tapi juga cocok jadi
penulis novel."
Ah, sudah kuduga. Dia pasti akan menertawakan
ucapanku dan
menyimpulkan hal yang sama dengan orang-orang
bahwa aku hanya bisa
membual seperti penulis novel.
"Bukan itu maksud saya, Pak. Lihat saja, daun
seperti ini tak ada
pohonnya di sekitar sini. Tapi kenapa bisa
berguguran di daerah ini.
Apa bapak tak merasa aneh?" kataku meyakinkan
lelaki berkacamata itu.
Aku tak ingin dikatakan melebih-lebihkan kondisi
atau bahkan berbakat
jadi penulis novel yang pandai merangkai kata-kata
indah.
Dia menghela nafas. Membuang penat yang menempel
di tubuhnya.
Sepertinya dia senasib dengan aku, merasa lelah
akan ujian hidup yang
tiada henti.
Mata anginnya menerawang jauh, dan dia pun
berkata, "Mungkin memang
benar Neng, daun ini dari surga. Dari seseorang
yang menjatuhkannya
untukku."
Aku tak mengerti maksud kata-katanya. Kuberanikan
bertanya dan
mengganggu keasyikannya sebentar, "Maksud
bapak?"
Dia menoleh kearahku dan tersenyum. Ah, mata
anginnya itu membuatku terkesima.
"Namanya Rumi, Istriku. Wanita ayu dengan
pipi jingga jika sedang
marah. Dia meninggal 7 tahun yang lalu. Dan ini
daun maple, daun yang
hanya tumbuh di luar negri. Daun kesukaannya. Di
manapun aku berada
daun ini akan tiba-tiba bertaburan di dekatku,
apalagi jika aku sedang
berdekatan dengan wanita." Ceritanya padaku.
Aku jadi merasa tak enak hati pada lelaki
berkacamata itu. Bukan
karena sekarang aku berada hanya berdua saja
dengannya. Tetapi karena
aku begitu terpikat dengan mata indahnya, yang
membuat Rumi, Istrinya
yang berpipi jingga kalau sedang marah mengirimkan
daun maple itu
kemari. Pasti tak enak sekali terus-terusan
dicurigai.
"Maafkan aku, Pak." Kataku kemudian.
"Maaf untuk apa, Neng?" dia balik
bertanya. Mungkin pertanyaanku
terasa aneh baginya.
Aku sedikit gugup. Tak mungkin aku berkata maaf
karena aku memuja mata
indahmu sehingga Rumi, istrimu itu cemburu dan
menjatuhkan maple ini.
Tapi aku hanya tersenyum dan menjawab, "Maaf,
aku asal membuat analisa
tadi, aku tidak tau kalau daun ini ada hubungannya
dengan almarhum
istri bapak." Kataku berbohong.
"Hahaha. Tak apa-apa, Neng. Mungkin Rumi
cemburu aku berada di sini
bersamamu." Katanya menenangkanku. Sebenarnya
bukan kata-katanya yang
menenangkanku, tapi mata yang seperti angin itu
yang membuatku tenang.
Tak terasa bulir-bulir air mata pun luruh berjatuhan
satu-satu. Mata
angin itu, aku seperti pernah mengenalnya bahkan
sangat mengenalnya.
Mata yang dingin dan menyegarkan seperti angin
musim gugur. Yang
membuatku serasa berada di kutub utara bila
bersitatap dengannya. Sama
persis seperti punya seseorang yang telah
meninggalkanku.
Lelaki itu menoleh ke arahku karena mendengar isak
lirih yang
kuhasilkan. Kutangkap dengan ekor mataku dia
mengambil sapu tangan di
kantong celananya dan mengangsurkan kepadaku.
"Maaf, Pak." Kataku sambil menerima sapu
tangannya.
"Kamu selalu minta maaf, Neng. Menangislah
jangan kau biarkan
bulir-bulir air mata itu bertahan di kelopak
hatimu dan membuat tambah
sakit. Menangislah jika itu bisa membuatmu
tenang." Lelaki berkacamata
itu memberikan wejangan kepadaku.
Tak berapa lama dia berangsur jongkok dan
mengambil daun maple yang
besar lalu memasukannya ke dalam tas yang
dibawanya.
Aku menghentikan isakku. "Untuk apa daun itu,
Pak?" tanyaku. Sudah
jelas-jelas daun itu pertanda almarhum istrinya
sedang cemburu. Dan
aku yakin pipinya sekarang berwarna jingga.
"Untuk kenang-kenangan." Kata lelaki
berkacamata itu diiringi senyum
menawannya.
"Aku selalu mengumpulkannya, Neng. Dengan
begini aku bisa menghitung
berapa kali Rumi cemburu dan seberapa besar
cintanya kepadaku." Lanjut
lelaki berkacamata itu.
Aku menelan ludah. Beruntung sekali Rumi istrinya
itu, meski sudah
berbeda alam masih saja menguntit suaminya. Dan
lelaki berkacamata ini
ikhlas menerimanya. Sedangkan aku, baru beberapa
kali cemburu pun Rama
memilih pergi dariku.
"Apa bapak tidak bosan selalu menerima
kiriman aneh dari istri bapak?
Dicurigai tak nyaman rasanya." Kataku
memancing ingin tahu.
"Justru senang, Neng. Aku jadi merasa
diperhatikan oleh cinta Rumi.
Kelak jika kita bertemu di surga, kita akan
bersama-sama menghitung
daun-daun maple ini." Lelaki berkacamata itu
menjawab.
Oh, Tuhan! Bulir-bulir air mata pun semakin deras.
Aku begitu
terenyuh, banyak sekali cinta sejati yang harus
berpisah karena
suratan takdir.
Lelaki berkacamata itu menyentuh pundakku, memberikan
kekuatan yang
aku butuhkan. Tiba-tiba ada perasaan lain di
hatiku. Mungkin malu.
Lelaki itu begitu tegar dan ikhlas menerima semua
ujian. Dan aku
tidak.
Aku menoleh ke arahnya. Kukembalikan sapu
tangannya yang telah basah
oleh bulir-bulir air mata. "Terima kasih,
Pak. Aku sudah lega
sekarang."
Dia menatapku dengan seksama, kacamata yang tadi
dilipat kini
dipakainya kembali. Ah, mata angin itu semakin
mempesonaku.
"Benar kau tak apa-apa, Neng?" tanyanya
sejurus kemudian.
Aku mengangguk dan mencoba tersenyum kepadanya.
Tiba-tiba ada perasaan lain di hatiku. Mungkin
rasa bersalah. Aku
terlalu terkesima dengan mata lelaki ini. Aku
takut sebentar lagi Rumi
akan mengirimkan maple lebih banyak lagi jika
mengetahui hal ini.
Segera kualihkan pandanganku dan berkata,
"Iya, Pak. Aku sudah lebih
baik sekarang."
Aku berjongkok mengambil daun maple yang masih
tersisa. Mungkin aku
terlihat aneh hingga lelaki berkacamata itu
bertanya padaku. "Untuk
apa daun itu, Neng?"
"Untuk kenang-kenangan, Pak. Andai aku tak
bertemu bapak, aku tak akan
mendapat pelajaran berharga tentang
kehidupan." Jawabku.
Lelaki berkacamata itu tersenyum lega. Mungkin
sekarang sudah percaya
bahwa aku baik-baik saja.
Kupicingkan mataku menatap langit dan lalu kumasukkan
maple ke saku bajuku.
"Hari sudah hampir sore, Pak. Saya harus
pergi. Sekali lagi terima
kasih." Aku berpamitan
Lelaki berkacamata itu tersenyum dan mengangguk.
"Iya Neng, aku juga harus pulang. Selamat
jalan."
"Selamat jalan."
Aku membalik badan, kulangkahkan kakiku ke
kehidupanku selanjutnya.
Aku harus mengisinya dengan kesabaran dan tulus
ikhlas setiap harinya.
Kutinggalkan sakit dan kecewaku bersama sisa-sisa
daun maple yang ada
di sana. Aku menoleh, kulihat lelaki berkacamata
itu pun sudah mulai
beranjak berlawanan arah denganku. Aku tersenyum
simpul menatap
punggungnya.
Kulanjutkan langkahku kembali. "Rama, aku
sudah ikhlas sekarang.
Mungkin kau bukan ditakdirkan untukku. Semoga kau
bahagia." Bisiku
pada nuraniku yang tersenyum