Diberdayakan oleh Blogger.

Minggu, 05 Agustus 2012

Gugurnya Daun Maple


Aku memicingkan mataku menghalau sinar mentari. Cahayanya begitu
menusuk kulitku bahkan terasa meresap ke sumsum tulangku. Siang ini

begitu panas terasa menambah lelah saja kepada tubuhku yang telah
kering. Kusandarkan badan di tembok untuk membantu menopang aku yang
begitu letih akan hidup. Merana dan kesepian. Lelaki berkacamata minus
yang berdiri tak jauh dari tempatku bersandar, melihatku dari atas
sampai ke bawah lalu tersenyum miris. Mungkin memang benar keadaanku
mengenaskan.



Tiba-tiba daun pun berguguran. Aku heran, sekarang masih musim panas,
belum saatnya lembar hijau itu merontokkan diri. Aku mendongak ke
atas, ke beberapa pohon yang ada di sekitarku. Dan lelaki berkacamata
minus itu mengikuti tindakanku. Kemudian dia berkata, "Neng pasti
merasa aneh darimana daun-daun ini datang."



Aku tak menjawab, dia pasti sudah tau apa yang aku rasakan tentang
daun-daun ini. Aku hanya tersenyum membalas perkataan lelaki
berkacamata itu. Kuambil sehelai daun dan kuamati, "Ini bukan daun
biasa, Pak. Dan gugurnya pun terlihat dipaksakan. Tampak dari
batangnya yang bukan gugur karena sudah tua." Kataku kepada lelaki
berkacamata tadi.
Aneh.
Dia tersenyum mendengar analisaku. Senyumnya begitu menawan. Mungkin
dia pikir aku terlalu menghiperbolakan keadaan. Lelaki itu membuka
kacamatanya dan melipatnya dengan rapih lalu menoleh kearahku, "Kamu
seperti detektif saja, menganalisa daun sampai begitu telitinya."
Katanya diiringi senyum ke arahku.



Aku terhenyak sesaat. Oh, Tuhan! Tidak hanya Engkau ciptakan makhluk
ini dengan senyum yang menawan, tapi juga dengan mata yang sempurna.
Matanya seperti angin. Mirip mata seseorang.



Aku pun membalas senyumannya, "Bukan begitu, tapi aku merasa aneh
saja. Ini masih musim panas, tak seharusnya daun-daun ini ada.
Sepertinya..." Aku tak meneruskan kalimatku.



Lelaki berkacamata itu mengerutkan alisnya. Dalam posisi seperti ini
matanya tampak semakin indah. Seperti angin musim gugur, dingin dan
menyegarkan.



"Seperti apa?" tanyanya kepadaku.



Aku terdiam, sedikit berteka-teki. Hanya untuk sekedar memberiku waktu
lebih banyak menatap matanya, mata anginnya.



"Sepertinya daun ini jatuh dari surga." Kataku kemudian.



Sesaat dia terkesima akan kata-kataku dan lantas tergelak.



"Hahaha. Neng, kau tak hanya seperti detektif, tapi juga cocok jadi
penulis novel."



Ah, sudah kuduga. Dia pasti akan menertawakan ucapanku dan
menyimpulkan hal yang sama dengan orang-orang bahwa aku hanya bisa
membual seperti penulis novel.



"Bukan itu maksud saya, Pak. Lihat saja, daun seperti ini tak ada
pohonnya di sekitar sini. Tapi kenapa bisa berguguran di daerah ini.
Apa bapak tak merasa aneh?" kataku meyakinkan lelaki berkacamata itu.



Aku tak ingin dikatakan melebih-lebihkan kondisi atau bahkan berbakat
jadi penulis novel yang pandai merangkai kata-kata indah.



Dia menghela nafas. Membuang penat yang menempel di tubuhnya.
Sepertinya dia senasib dengan aku, merasa lelah akan ujian hidup yang
tiada henti.



Mata anginnya menerawang jauh, dan dia pun berkata, "Mungkin memang
benar Neng, daun ini dari surga. Dari seseorang yang menjatuhkannya
untukku."



Aku tak mengerti maksud kata-katanya. Kuberanikan bertanya dan
mengganggu keasyikannya sebentar, "Maksud bapak?"



Dia menoleh kearahku dan tersenyum. Ah, mata anginnya itu membuatku terkesima.



"Namanya Rumi, Istriku. Wanita ayu dengan pipi jingga jika sedang
marah. Dia meninggal 7 tahun yang lalu. Dan ini daun maple, daun yang
hanya tumbuh di luar negri. Daun kesukaannya. Di manapun aku berada
daun ini akan tiba-tiba bertaburan di dekatku, apalagi jika aku sedang
berdekatan dengan wanita." Ceritanya padaku.



Aku jadi merasa tak enak hati pada lelaki berkacamata itu. Bukan
karena sekarang aku berada hanya berdua saja dengannya. Tetapi karena
aku begitu terpikat dengan mata indahnya, yang membuat Rumi, Istrinya
yang berpipi jingga kalau sedang marah mengirimkan daun maple itu
kemari. Pasti tak enak sekali terus-terusan dicurigai.



"Maafkan aku, Pak." Kataku kemudian.



"Maaf untuk apa, Neng?" dia balik bertanya. Mungkin pertanyaanku
terasa aneh baginya.



Aku sedikit gugup. Tak mungkin aku berkata maaf karena aku memuja mata
indahmu sehingga Rumi, istrimu itu cemburu dan menjatuhkan maple ini.
Tapi aku hanya tersenyum dan menjawab, "Maaf, aku asal membuat analisa
tadi, aku tidak tau kalau daun ini ada hubungannya dengan almarhum
istri bapak." Kataku berbohong.



"Hahaha. Tak apa-apa, Neng. Mungkin Rumi cemburu aku berada di sini
bersamamu." Katanya menenangkanku. Sebenarnya bukan kata-katanya yang
menenangkanku, tapi mata yang seperti angin itu yang membuatku tenang.



Tak terasa bulir-bulir air mata pun luruh berjatuhan satu-satu. Mata
angin itu, aku seperti pernah mengenalnya bahkan sangat mengenalnya.
Mata yang dingin dan menyegarkan seperti angin musim gugur. Yang
membuatku serasa berada di kutub utara bila bersitatap dengannya. Sama
persis seperti punya seseorang yang telah meninggalkanku.



Lelaki itu menoleh ke arahku karena mendengar isak lirih yang
kuhasilkan. Kutangkap dengan ekor mataku dia mengambil sapu tangan di
kantong celananya dan mengangsurkan kepadaku.



"Maaf, Pak." Kataku sambil menerima sapu tangannya.



"Kamu selalu minta maaf, Neng. Menangislah jangan kau biarkan
bulir-bulir air mata itu bertahan di kelopak hatimu dan membuat tambah
sakit. Menangislah jika itu bisa membuatmu tenang." Lelaki berkacamata
itu memberikan wejangan kepadaku.



Tak berapa lama dia berangsur jongkok dan mengambil daun maple yang
besar lalu memasukannya ke dalam tas yang dibawanya.



Aku menghentikan isakku. "Untuk apa daun itu, Pak?" tanyaku. Sudah
jelas-jelas daun itu pertanda almarhum istrinya sedang cemburu. Dan
aku yakin pipinya sekarang berwarna jingga.



"Untuk kenang-kenangan." Kata lelaki berkacamata itu diiringi senyum
menawannya.



"Aku selalu mengumpulkannya, Neng. Dengan begini aku bisa menghitung
berapa kali Rumi cemburu dan seberapa besar cintanya kepadaku." Lanjut
lelaki berkacamata itu.



Aku menelan ludah. Beruntung sekali Rumi istrinya itu, meski sudah
berbeda alam masih saja menguntit suaminya. Dan lelaki berkacamata ini
ikhlas menerimanya. Sedangkan aku, baru beberapa kali cemburu pun Rama
memilih pergi dariku.



"Apa bapak tidak bosan selalu menerima kiriman aneh dari istri bapak?
Dicurigai tak nyaman rasanya." Kataku memancing ingin tahu.



"Justru senang, Neng. Aku jadi merasa diperhatikan oleh cinta Rumi.
Kelak jika kita bertemu di surga, kita akan bersama-sama menghitung
daun-daun maple ini." Lelaki berkacamata itu menjawab.



Oh, Tuhan! Bulir-bulir air mata pun semakin deras. Aku begitu
terenyuh, banyak sekali cinta sejati yang harus berpisah karena
suratan takdir.



Lelaki berkacamata itu menyentuh pundakku, memberikan kekuatan yang
aku butuhkan. Tiba-tiba ada perasaan lain di hatiku. Mungkin malu.
Lelaki itu begitu tegar dan ikhlas menerima semua ujian. Dan aku
tidak.



Aku menoleh ke arahnya. Kukembalikan sapu tangannya yang telah basah
oleh bulir-bulir air mata. "Terima kasih, Pak. Aku sudah lega
sekarang."



Dia menatapku dengan seksama, kacamata yang tadi dilipat kini
dipakainya kembali. Ah, mata angin itu semakin mempesonaku.



"Benar kau tak apa-apa, Neng?" tanyanya sejurus kemudian.



Aku mengangguk dan mencoba tersenyum kepadanya.



Tiba-tiba ada perasaan lain di hatiku. Mungkin rasa bersalah. Aku
terlalu terkesima dengan mata lelaki ini. Aku takut sebentar lagi Rumi
akan mengirimkan maple lebih banyak lagi jika mengetahui hal ini.
Segera kualihkan pandanganku dan berkata, "Iya, Pak. Aku sudah lebih
baik sekarang."



Aku berjongkok mengambil daun maple yang masih tersisa. Mungkin aku
terlihat aneh hingga lelaki berkacamata itu bertanya padaku. "Untuk
apa daun itu, Neng?"



"Untuk kenang-kenangan, Pak. Andai aku tak bertemu bapak, aku tak akan
mendapat pelajaran berharga tentang kehidupan." Jawabku.



Lelaki berkacamata itu tersenyum lega. Mungkin sekarang sudah percaya
bahwa aku baik-baik saja.
Kupicingkan mataku menatap langit dan lalu kumasukkan maple ke saku bajuku.



"Hari sudah hampir sore, Pak. Saya harus pergi. Sekali lagi terima
kasih." Aku berpamitan



Lelaki berkacamata itu tersenyum dan mengangguk.



"Iya Neng, aku juga harus pulang. Selamat jalan."



"Selamat jalan."
Aku membalik badan, kulangkahkan kakiku ke kehidupanku selanjutnya.
Aku harus mengisinya dengan kesabaran dan tulus ikhlas setiap harinya.
Kutinggalkan sakit dan kecewaku bersama sisa-sisa daun maple yang ada
di sana. Aku menoleh, kulihat lelaki berkacamata itu pun sudah mulai
beranjak berlawanan arah denganku. Aku tersenyum simpul menatap
punggungnya.



Kulanjutkan langkahku kembali. "Rama, aku sudah ikhlas sekarang.
Mungkin kau bukan ditakdirkan untukku. Semoga kau bahagia." Bisiku
pada nuraniku yang tersenyum

0 Suara:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites