LANGIT usang mencipta fajar yang merekah. Padanya aku selalu bercerita. Di cakrawala pula aku selalu menggantungkan harapanku. Pada mentari yang sebentar lagi terbit. Pada awan yang bergumul lembut.
"Ibuku memberi nama Fajar kepadaku. Karena beliau menyukai fajar," ucapmu suatu pagi.
"Sepertinya kau juga menyukai fajar," tebakmu.
Aku tersenyum mengangguk.
"Apa yang membuat kau menyukai fajar?"
Kau. Jawabku dalam hati.
Aku berpikir bagaimana nantinya jika aku benar-benar mengatakannya. Mungkin kau akan membenciku.
Atau kau akan langsung mencemo'ohku jika aku berani berucap, "Fajar, aku mencintaimu."
*****
Di loteng rumah susun ini. Setiap pagi sebelum beraktivitas. Kau selalu menyempatkan waktumu menjemput fajar. Menikmati sang raja hari merekah di ufuk timur. Memberi pendar indah pada langit yang luas.
Dan aku menikmatinya. Senikmat dirimu bercumbu dengan sang fajar. Seperti itu pula aku bercumbu dengan anganku tentangmu.
Meski hari ini kau menghadirkan petir untuk kudengar, "Kau tahu? Aku sedang jatuh cinta pada seorang gadis."
Aku hampir saja meledak, namun pesona senyummu menenangkanku. Aku tak ingin nantinya kau berhenti tersenyum jika akhirnya kau tahu perasaanku.
"Pasti dia gadis yang cantik," ucapku lugu.
"Darimana kau tahu? Bukankah cantik itu relatif?"
Dari matamu. Ya, dari retina warna hitam itu aku bisa menangkapnya. Ketika dengan berbunga-bunga kau menceritakan kepadaku tentang Mentari nama gadis itu.
****
"Sebentar lagi Mentari ulang tahun," curhatmu suatu pagi.
"Menurutmu benda apa yang cocok untuk Mentari?" tanyamu selanjutnya.
Bom saja. Atau petasan. Dan anganku meledak tertawa karenanya. Membayangkan Mentari mu merengut manja saat membuka kado spesial dari kekasihnya.
"Aku tak paham tentang kado," dustaku.
Padahal aku bisa saja memberikan masukan padamu biasanya perempuan suka dikado bunga, atau coklat.
Tapi aku tak melakukannya. Aku tak mau memberitahumu. Karna membayangkan Mentari terpekik gembira menerima hadiahmu itu membuatku cemburu.
"Aku ingin menjadi yang tak terlupakan bagi Mentari. Seperti fajar bagi hidupku," ucapmu.
"Dan juga bagiku," aku menimpali.
Fajar adalah semangatku.
****
Kuakui aku harus kalah. Ketika setiap hari kudengar kedekatanmu dengan Mentari semakin menuju titik pasti. Kau akan menikahinya.
"Mentari menerima lamaranku," pekikmu gembira.
Aku menjabat tangan kekarmu. Kuucapkan selamat bernada tegar yang kubuat-buat.
"Kau harus datang di pernikahanku. Kau sahabat terbaikku," katamu kemudian.
Aku tertawa. Hambar kurasa. Aku memamerkan gigi di mulutku namun meneteskan darah di hatiku. Pedih seperti tersayat sembilu.
Gemuruh di dadaku berteriak, "Aku ingin menjadi Mentarimu, tak hanya sahabat terbaikmu."
Namun aku tak kuasa. Aku tak berani mengatakannya. Aku pengecut.
****
Kini fajarku sepi. Fajar tak lagi menyambut pagi bersamaku lagi. Aku memandangi langit sendiri. Padanya aku selalu bercerita. Di cakrawala pula aku selalu menggantungkan harapanku. Pada mentari yang sebentar lagi terbit. Pada awan yang bergumul lembut.
"Fajar telah pergi, membawa sekeping hatiku," lirihku pada bayanganmu.
Tak mengapa. Mungkin ini bentuk cinta ABADI ku untukmu. Meski kau tak pernah datang ke loteng ini lagi, namun kenangan akanmu terpatri erat di hati.
Sayup-sayup kudengar suara Emak, " BUMI, sampai kapan kau akan melamun di loteng terus nak? Mentari sudah tinggi."
Aku bergegas turun mendekati sumber suara. Andai aku tetap berlama-lama di sini, bisa jadi ceramah panjang terdengar nantinya.
Ketika sudah sampai di hadapan orang yang melahirkanku, beliau bertutur, "Emak heran sama kamu. Laki-laki kok hobby sekali melamun di loteng."
Dan aku tersenyum menanggapi.
"Aku sedang menikmati fajar, Mak," jawabku.
Juga bercumbu dengan bayangan Fajar, batinku.
TAMAT.
Taiwan, 27.06.12