Diberdayakan oleh Blogger.

Sabtu, 30 Juni 2012

Mencumbui Fajar




LANGIT usang mencipta fajar yang merekah. Padanya aku selalu bercerita. Di cakrawala pula aku selalu menggantungkan harapanku. Pada mentari yang sebentar lagi terbit. Pada awan yang bergumul lembut.

"Ibuku memberi nama Fajar kepadaku. Karena beliau menyukai fajar," ucapmu suatu pagi.

"Sepertinya kau juga menyukai fajar," tebakmu.

Aku tersenyum mengangguk.

"Apa yang membuat kau menyukai fajar?"

Kau. Jawabku dalam hati.

Aku berpikir bagaimana nantinya jika aku benar-benar mengatakannya. Mungkin kau akan membenciku.

Atau kau akan langsung mencemo'ohku jika aku berani berucap, "Fajar, aku mencintaimu."

*****

Di loteng rumah susun ini. Setiap pagi sebelum beraktivitas. Kau selalu menyempatkan waktumu menjemput fajar. Menikmati sang raja hari merekah di ufuk timur. Memberi pendar indah pada langit yang luas.

Dan aku menikmatinya. Senikmat dirimu bercumbu dengan sang fajar. Seperti itu pula aku bercumbu dengan anganku tentangmu.

Meski hari ini kau menghadirkan petir untuk kudengar, "Kau tahu? Aku sedang jatuh cinta pada seorang gadis."

Aku hampir saja meledak, namun pesona senyummu menenangkanku. Aku tak ingin nantinya kau berhenti tersenyum jika akhirnya kau tahu perasaanku.

"Pasti dia gadis yang cantik," ucapku lugu.

"Darimana kau tahu? Bukankah cantik itu relatif?"

Dari matamu. Ya, dari retina warna hitam itu aku bisa menangkapnya. Ketika dengan berbunga-bunga kau menceritakan kepadaku tentang Mentari nama gadis itu.


****


"Sebentar lagi Mentari ulang tahun," curhatmu suatu pagi.

"Menurutmu benda apa yang cocok untuk Mentari?" tanyamu selanjutnya.

Bom saja. Atau petasan. Dan anganku meledak tertawa karenanya. Membayangkan Mentari mu merengut manja saat membuka kado spesial dari kekasihnya.

"Aku tak paham tentang kado," dustaku.

Padahal aku bisa saja memberikan masukan padamu biasanya perempuan suka dikado bunga, atau coklat.

Tapi aku tak melakukannya. Aku tak mau memberitahumu. Karna membayangkan Mentari terpekik gembira menerima hadiahmu itu membuatku cemburu.

"Aku ingin menjadi yang tak terlupakan bagi Mentari. Seperti fajar bagi hidupku," ucapmu.

"Dan juga bagiku," aku menimpali.

Fajar adalah semangatku.


****


Kuakui aku harus kalah. Ketika setiap hari kudengar kedekatanmu dengan Mentari semakin menuju titik pasti. Kau akan menikahinya.

"Mentari menerima lamaranku," pekikmu gembira.

Aku menjabat tangan kekarmu. Kuucapkan selamat bernada tegar yang kubuat-buat.

"Kau harus datang di pernikahanku. Kau sahabat terbaikku," katamu kemudian.

Aku tertawa. Hambar kurasa. Aku memamerkan gigi di mulutku namun meneteskan darah di hatiku. Pedih seperti tersayat sembilu.

Gemuruh di dadaku berteriak, "Aku ingin menjadi Mentarimu, tak hanya sahabat terbaikmu."

Namun aku tak kuasa. Aku tak berani mengatakannya. Aku pengecut.


****


Kini fajarku sepi. Fajar tak lagi menyambut pagi bersamaku lagi. Aku memandangi langit sendiri. Padanya aku selalu bercerita. Di cakrawala pula aku selalu menggantungkan harapanku. Pada mentari yang sebentar lagi terbit. Pada awan yang bergumul lembut.

"Fajar telah pergi, membawa sekeping hatiku," lirihku pada bayanganmu.

Tak mengapa. Mungkin ini bentuk cinta ABADI ku untukmu. Meski kau tak pernah datang ke loteng ini lagi, namun kenangan akanmu terpatri erat di hati.

Sayup-sayup kudengar suara Emak, " BUMI, sampai kapan kau akan melamun di loteng terus nak? Mentari sudah tinggi."

Aku bergegas turun mendekati sumber suara. Andai aku tetap berlama-lama di sini, bisa jadi ceramah panjang terdengar nantinya.

Ketika sudah sampai di hadapan orang yang melahirkanku, beliau bertutur, "Emak heran sama kamu. Laki-laki kok hobby sekali melamun di loteng."

Dan aku tersenyum menanggapi.

"Aku sedang menikmati fajar, Mak," jawabku.
Juga bercumbu dengan bayangan Fajar, batinku.


TAMAT.
Taiwan, 27.06.12

Jumat, 22 Juni 2012

Ketika Bulan Ketemu Bintang




Sebuah kubik elektronik jembatan kita. Hanya dari gadget buatan manusia ini kita berjumpa. Bercanda, tertawa bahagia dan berNYANYI bersama.

"Nama gue BINTANG, kalau loe?"

"Bulan."

"Kita jodoh, dong. Gue Bintang dan loe Bulan."

Aku tertawa. Menertawakan kebetulan yang tak lucu ini. Begitulah awal kita berkenalan. Hanya lewat dunia maya kita saling bertukar cerita.


****

"Bulan, mau ga loe jadi cewek gue?"

Pesan yang kau tulis saat chating malam itu. Lama aku berpikir untuk mengetik kata yang tepat hingga kau telah mengirim pesan lagi.

"Hallow... kok malah diem. Mau ga?"

Kursor di kotak putih di hadapanku berkedip-kedip. Aku tak kuasa menulis sebuah huruf pun.

KEMBALI kau bertanya padaku. Kali ini ada nada sedikit ngambek di pesanmu.

"Huft ga dijawab. Ya sudah deh kalau ga mau jadi pacarku. Aku mau melamar langit saja, kali aja dia mau."

Jangan! Tapi kata-kata itu hanya terucap dalam hatiku.

****

Mungkin aku pengecut mengakuinya. Terus terang saja aku trauma. Mencari pasangan di dunia maya itu sama saja membeli kucing dalam karung. Kalau tak beruntung bisa saja mendapat kucing yang penuh kutu.

"Tawaranku masih berlaku kok, Bulan." Tulismu di inboxku.

Jujur, virus merah jambu itu telah bersarang di hatiku. Tapi...

"Aku takut kamu kecewa. Aku tak seindah bulan, benda angkasa yang sama-sama kita suka."

Seminggu kau tak membalas inbox dariku. Membuatku cemas tiada terkira.

"Gue juga bukan pangeran tampan dari negri khayangan, tapi gue yakin kita berjodoh. Kalau begitu kita kopi darat saja, gimana?"

Dan aku setuju.

****

Hari yang ditentukan tiba. Di bangku taman pusat kota saat sore menjelang senja. Lelaki berkemeja merah mendekat padaku. Rambutnya gondrong tergerai menyentuh bahu.

"Loe Bulan, 'kan?"

Dan aku mengangguk.

Bintang, sesempurna bintang yang ada di langit. Mendadak aku merasa malu, sedangkan aku?

"Kenapa diam saja? Grogi ya?" tanya Bintang padaku. Setelah sekian lama kita terjebak pada dimensi bisu.

Aku menggeleng cepat. Dalam hatiku berkata, inilah saatnya.

Kuambil notes yang selalu kubawa kemana-mana lengkap dengan pulpen yang jadi senjataku selama ini. Di atas putihnya kutulis, " Inilah yang aku maksud Bintang. Aku bukan gadis sempurna. Sudah pasti aku mengecewakanmu, karena hanya menyebut namamu pun aku tak bisa. Dari kecil aku tak bisa berbicara."

Kuberikan kertas itu kepada bintang, dia membacanya. Lantas dia tertawa.

"Gue ga peduli. Lo tahu?" disibakkan rambut gondrongnya yang lurus sepundak. Dari sana kulihat ada alat bantu pendengaran menghiasi telinganya.

"Dari kecil gua juga tak bisa mendengar."

TAMAT.

Kamis, 14 Juni 2012

Karma


Sampai kapanpun, kamu tak akan pernah temukan cinta, jika yang kamu cari adalah kesempurnaan.

Apa mungkin karma itu benar-benar datang padaku? Ah, tak masuk akal. Aku tak percaya pada hal semacam itu. Yang aku tahu hidup di dunia itu pasti terjadi hukum sebab akibat. Siapa yang menanam dia yang akan menuai.

"Arrgh..!" teriakku pada cermin ukuran 5x6 di depanku.

Mulai lagi aku memaki pantulan wajah yang ada di depannya.

"Kenapa? Why me? Salah apa aku padamu?" aku protes. Pada benda mati yang berada tepat di depan mukaku.

Ini sudah yang ke tiga kalinya aku gagal menjalin hubungan. Memang penyebab gagalnya tak sama, bahkan bertolak belakang.

"Apa mungkin kata-katanya waktu itu benar terwujud? Apa ini kutukan? Ah, tidak! semua hanya kebetulan."

Aku beringsut dari depan cermin menuju ranjang satu-satu nya di kamar kost ku. Menelungkupkan wajah pada bantal bintang yang lembut peneman setia tidurku. Dan menangis sejadi-jadinya.

"Dunia sungguh tak adil. Dan kenyataan memang kejam. Teramat menyakitkan." umpatku bersama tangis yang telah pecah terburai.

Kuingat kembali kata yang diucapkan Farid, mantanku beberapa jam yang lalu. "Maaf, aku tak ingin menjadi anak durhaka. Aku harapan Bunda satu-satunya dan aku tak ingin menyakiti beliau. Terus terang saja Bunda tak merestui hubungan kita."

Aku kaget, "Kenapa? Tak seimankah? Kurang cantik? Kurang sopan?" cecarku.

Farid menggeleng, "Bukan itu semua. Tapi Bunda merasakan jika hubungan kita dilanjutkan akan berakibat tak baik."

Aku tertawa. Getir.

"Kita yang akan menikah, Rid. Bukan Bunda."

Farid menunduk. Matanya menatap samar pada ujung sepatunya yang tadi pagi baru disemir.

"Tapi tanpa restu Bunda..." dia tak meneruskan kata-katanya.

Dadaku mulai bergemuruh. "Lantas kata-kata cintamu? Janji sehidup sematimu? Mana wujud nyatanya?"

Farid makin menunduk.

"Maaf, aku tak bisa. Semoga kau menemukan jodoh yang lebih baik dariku." Dia berdiri dan berlalu. Meninggalkan diriku yang masih terhantam rasa tak percaya.

Di taman tempat biasa kita bertemu. Tempat penuh sejuta kenangan bagiku. Pahit dan manis.


*****

"Bagus deh, aku suka mendengarnya. Dari dulu aku tak setuju kau berhubungan dengan anak mama itu." Flo, teman sebelah kostku memberi wejangan. Dia yang selama ini menjadi tumpahan unek-unekku.

Aku menghembuskan nafas kasar. "Aku lelah."

"Hey, girl! Jangan lembek begitu, mana semangatmu yang tak pernah padam?" Flo menepuk pundakku. Aku terdiam.

"Ini sudah ketiga kalinya, Flo."

"Aku tahu, tapi logikanya saja..."

Ah, dia memulai dengan analisisnya tentang hidup. Aku abaikan saja ceramahnya, saat ini yang kubutuhkan tempat bersandar. Bukan nasehat panjang.

Sudah bisa kupastikan Flo akan berucap begini, "Farid itu anak mama dan lagi dia lebih muda darimu 3 tahun. Dilihat dari tingkah lakunya saja dia belum dewasa, masih selalu mengempeng pada Bundanya. Apa-apa takut sama bunda, sedikit-sedikit nggak boleh sama bunda. Yang ada kamu menikah sama bundanya Farid."

Itu analisa Flo tentang Farid. Memang ada benarnya juga, Farid tak bisa tegas dalam mengambil sikap. Masih harus menanti pendapat bundanya dulu baru berani melangkah.

"Tapi aku mencintainya, dia baik tak pernah neko-neko. Dia bisa memanjakanku," belaku.

Meski Flo sudah mengupas tuntas kekurangan Farid namun masih ada sisi dimana aku menerima Farid sebagai kekasih satu tahun lalu. Waktu yang tak sebentar bukan?

Terlalu susah untuk melupakannya. Terlalu pahit ketika kusadari setiap pagi tak akan ada lagi SMS dari Farid mengucapkan selamat pagi diselingi satu atau bahkan berlarik-larik puisi.

Tak akan lagi kudengar renyah senyumnya. Bahkan akan terasa perih ketika kuingat kata-katanya "Akhirnya kumenemukanmu. Setelah sekian lama raga ini berkelana mencari cinta sejati. Dan ternyata hatiku berhenti di kamu."

Pembual.

****

Move on itu tak semudah yang diucapkan. Akan terasa menyesakkan dada tatkala dengan tiba-tiba mengubah pola hidup. Yang biasanya ada kekasih, tiba-tiba saja harus tersadar dia tak ada.

Namun untuk kali ini hanya kupendam dalam hati. Karena jika aku bercerita pada Flo, dia pasti akan menertawakanku habis-habisan.

Seperti kala itu, waktu aku bersimbah air mata karena masalah yang sama. Putus cinta.

"Kita itu bukan lagi anak SMP. Terlalu berharga waktu kita jika hanya dihabiskan untuk hal yang tak penting. Seperti yang kau lakukan sekarang, menangisi cinta. Seharusnya bukan lagi hal abstrak seperti ini yang ada di pikiranmu, tapi lebih kepada tanggung jawab."

Oke, Flo memang ada benarnya. Ketika kita berani mencintai, maka kita juga harus belajar tersakiti. But, ketika hal itu datang tetap tak luput air mata ini mewarnai.

"Mungkin ini akibat dari kesalahanku, yang sekarang harus kutanggung."

Flo mengerutkan kening.

"Kau selalu saja bilang karma, dosa yang kau tanggung, akibat dari salahmu. Aku nggak ngerti."

"Ah, sudahlah. Kau tak akan mengerti perasaanku," dustaku kala itu.

Aku tak ingin Flo mengetahui kenyataan yang ada. Tentang sebuah dosa yang kuperbuat atas nama cinta. Dengan mengingatnya pun membuat rasa bersalahku semakin menghujam ulu hati.

"Kini aku tahu apa yang kau rasa dahulu. Maafkan aku," lirihku.

Lantas aku tergugu.

****

Masih sama seperti kemarin. Rumah itu masih tetap asri dan bersih. Aku menarik tangan Flo untuk masuk.

"Rumah siapa ini?" Sudah pasti heran. Bertahun-tahun aku menjadi tetangga kamar kost Flo, belum pernah aku bercerita tentang rumah.

"Nanti kau juga akan tahu," jawabku.

Flo mengikutiku tanpa melawan. Bahkan ketika langsung saja kuajak dia naik ke atas, ke sebuah ruangan. Biasanya dia ada di sini.

Flo kuajak duduk di sofa yang ada di ruangan itu lantas aku menuju balkon. Benar saja, dia ada di sana. Di kursi roda dengan tatapan kosong pada matanya.

"Flo, ini kakakku. Kakak tiriku," ucapku ketika kusadari Flo telah berada di sampingku.

Dari muka manis Flo tersirat heran yang tak terucap. Memang dari dulu aku juga tak pernah cerita tentang keluargaku. Flo pikir aku hidup sebatang kara.

"Maaf aku tak menceritakan padamu sebelumnya. Malah seakan-akan aku menutupi darimu."

Aku berjongkok di depan kakak tiriku. Kusentuh tangannya yang kulihat semakin kurus. "Dia begini karena ulahku, Flo."

"Maksudmu?"

Ya, sudah saatnya aku jujur . Membuka rahasia yang selama ini kututup rapat. Dosa masa lalu dan sampai sekarang aku harus merasakan akibatnya. Selalu disakiti, dikecewakan dan ditinggalkan.

"Aku tak menyangka hatinya sekecil ini. Karena kekecewaan akibat ulahku, dia jadi linglung."

Memoriku mem-flash back kembali kejadian waktu itu. Tatkala niat iseng dengan menipu kakak tiriku lewat SMS. Berpura-pura menjadi gadis yang mencintainya dan siap dinikahi. Bertahun-tahun aku berperan sebagai Intan, pacar maya kakak tiriku.

"Setiap kali kakak menceritakan tentag Intan di hadapan keluarga, aku hanya bisa menahan tawa."

Aku beringsut. Berdiri memandang lepas ke alam di depanku. "Telah lama berselang dan kakakku ingin bertemu dengan Intan di sebuah taman. Tentu saja aku bingung. Aku tak mungkin datang ke taman itu mengaku pada kakak tiriku bahwa aku lah Intan."

Air mataku menitik mewakili penyesalan yang tak ada habisnya. Aku kembali bersimpuh di hadapan kakakku.

"Kak, sadarlah. Intan itu tak ada, dia tak mungkin datang. Kak, Maafkan aku."

Flo mencengkeram pundakku yang terguncang.

"Aku jahat, Flo. Aku tak memikirkan bagaimana kecewanya kakakku ketika cintanya, harapannya, semuanya hanya angan-angan. Aku..." isakku semakin menjadi.

Flo memelukku. Memberi kekuatan yang aku butuhkan.

"Dia tidak marah, Flo. Tak pernah marah padaku. Setelah seharian di taman dia kembali dan berkata, semoga Intan bahagia."


TAMAT.
Taiwan, 02.06.12

Aaaarrgh, ide!


CAHAYA, DESIR, ALAM.

Itu sandi tiga kata hari ini.

Aku ingin membuat cerita saja, entah cerpen atau flash fiction. Kalau puisi sepertinya tidak, aku tak bisa. Sekian lama kucoba merangkai puisi yang ada malah jadi paragraf penuh hiperbola. Menyayat-nyanyat tak jelas.

"Aduh, apa yang harus kuceritakan? Yang jelas di dalam cerita itu mengandung kata cahaya, desir, alam," gumamku tak jelas.

Susah juga memikirkan cahaya. Semuanya bercahaya. Hanya otakku saja yang tak mengeluarkannya. Apalagi ide? Jauh!

"Nek, apa saja yang berdesir di alam ini?" tanyaku pada nenek yang kurawat.

Dengan bahasa mandarin ala kadarnya.

"Wa thia bo," (1) jawab nenek.

Ah, kau, Nek. Bukan ide yang kau beri malah kata yang membuat otakku tambah panas. Ruwet.

Lama aku terpaku pada layar handphoneku, hal apakah yang harus kutulis. Yang jelas ada tiga kata itu.

"Huft, kenapa begitu susah bercerita? Ada apa dengan diriku? Ide itu tak muncul juga, bak emas yang makin mahal harganya. Susah didapat." Aku nyerocos tak jelas.

Memang begitu caraku memancing ide, dengan bicara pada benda yang ada di depanku. Sedikit berimajinasi dan ditambah bumbu, pasti jadi. Tapi tidak saat ini. Pikiranku buntu.

Aku menulis status, "Kasih gue ide, dong. Lagi buntu nih!"

Semenit.

Dua menit.

Lima menit.

Sepuluh menit.

Tak ada juga yang perduli pada statusku. Boro-boro komentar, jempol yang biasanya banyak pun tak kudapat hari ini.

"Benar-benar menyedihkan ketika tak ada sedikit pun hal yang terlintas di otak untuk ditulis. Apakah ini yang dinamakan write block?"


****

Tak biasanya aku begini, begitu berantakan rasanya. Aku ingin membuktikan bahwa aku konsisten dalam menulis, tapi jika idepun tak muncul apa kata dunia?

"Mbak, ayo mana postingan untuk tiga kata hari ini? Jangan lupa ini rabu terakhir, lo." todong Mbak El padaku.

"Iya, Mbak. Bentar lagi aku posting. Paling lambat malam ini, 'kan?"

Bohong. Padahal ide saja tak ada. Naas.

"Iya, Mbak. Yang terbaik akan mendapat kenang-kenangan dariku.Dan nantinya akan dibukukan," terang Mbak El.

Nah itu dia, dibukukan. Hal yang teramat diidamkan oleh penulis, apalagi pemula seperti aku. Mempunyai buku adalah impian semua orang yang hobby menulis.

Tapi ide saja nggak ada lantas mau nulis apa?

"Sepertinya aku butuh hiburan." Aku bicara sendiri.

Kuambil Mp3ku dan kupasang headsetnya lantas musik lembut mengalun terdengar ditelinga.

"Ah, nikmatnya."

Di tengah cuaca yang panas, dengan keadaan badan yang letih. Mendengarkan lagu seperti ini membuat mata mengantuk. Dan benar-benar tak tertahankan. Kedua kelopak mata begitu rindu ingin bersatu.

"Aku mau tidur dulu. Nulisnya nanti saja, toh DL masih lumayan lama. Sekalian nyari ide di alam mimpi."

****

Sore yang cerah. Melihat langit yang bersih pikiranku pun ikut fresh. Waktu yang tepat untuk memikirkan ide lagi. Sambil menerawang ke langit-langit, pikiranku melayang-layang mencari ide. Kejadian apa gerangan yang di dalamnya terdapat unsur cahaya, desir dan alam.

"Jantungku berdesir melihat kenyataan dunia dewasa ini."

Ah, kalimat tak bermutu. Maknanya saja aku tak tahu.

"Di dunia ini terkadang kita melihat cahaya yang membuat dada berdesir hebat."

Lumayan, tinggal mikir konflik. Tapi apa?

"Haduh, ruwet lagi!"

Kupijit pelipisku yang makin pening, sambil terus memikirkan sesuatu yang nantinya akan aku tulis. Aku tak ingin karyaku kali ini biasa, harus istimewa.

"Jelajah facebook, siapa tahu ada hal yang mencerahkan."

Tiga puluh menit berlalu.

"Hihihi, malah asyik perang komen dengan teman-teman. Ide, kemanakah dirimu?" desisku mendramatisir.

Aku coba berkeliling ke grup kepenulisan yang aku ikuti, mencari bahan atau sekedar membaca-baca. Mungkin dengan begini aku bisa bertemu dengan ide yang kurindu.

Satu jam terlewati. Ada sedikit hal yang menggelitik ingin kuceritakan.

"Ide, akhirnya kau datang juga. Tapi kali ini giliran sarananya yang tak mendukung. Handphoneku lowbat. Jiah payah!"

Aku lemes. Kutarik nafas dalam-dalam lantas kuhembuskan perlahan.

"Tak apa lah. Dicharge dulu, nanti dilanjut lagi.

****

"Jangan pisahkan masalah dengan ide, Yu." saran bunda.

Ketika aku mengeluh susah sekali menangkap ide.

"Maksudnya, Bund?"

"Masalah yang kamu hadapi, tuangkan saja dalam tulisan. Tinggal menambahkan tokoh saja, gampang kan?" bunda berujar.

"Berarti nulis cerita pribadi, Bunda? Malu lah," kilahku.

Bunda menjawab, "Menulis dari diri sendiri akan lebih mudah. Masalah yang ada jadikan cerita ditambah sedikit bumbu. Tokohnya diri sendiri tak masalah."

Aku manggut-manggut. Tapi sepertinya aku malu. Masa aku harus menceritakan kalau semalam anakku di Indonesia telephone minta dikirim uang.

"Vika sudah nunggak bayar sekolahnya, Bu. Dan Vika juga pingin beli sepatu serta baju," kata anakku semalam.

"Memang ayah ga punya uang?" tanyaku. Pura-pura lugu.

"Ayah kan ga bekerja, Bu. Darimana dia dapat uang?"

Aku menelan ludah getir.

"Beneran dikirim ya, Bu." ucapan terkhir Vika, sebelum telephonenya terputus karena kehabisan pulsa.

Dan aku hanya menitikkan air mata. Bagaimana aku bisa kirim uang? Tabunganku ludes.

Sontak aku teringat ucapan orang itu, "Ini aku pinjam, Yu. Dan pasti kukembalikan padamu. Tenang saja, ga lama kok."

Tapi sampai detik ini pun nomor handphone nya tak bisa dihubungi.


Tamat.
Taiwan, 30.05.12

NB 1- Saya tak mengerti.

Terlambat



Hatiku geram, majikanku benar-benar keterlaluan. Tak berperikemanusiaan.

Kuusap air mata yang merebak dari mataku, sebelum butiran bening itu jatuh menelusuri pipiku.

"Tapi, Tuan. Keluarga di rumah butuh secepatnya uang itu untuk menebus ijazah adik saya," kataku terbata-bata.

"Ah, kau ini bikin repot saja. Kenapa tak sekalian kemarin waktu gajian? Kalau begini jadinya buang-buang waktuku, ngerti?" bentak majikanku. Dan tanpa ada kepastian dia meninggalkanku di ruang tamu.

Aku marah. Ini kebutuhan mendadak. Sudah menjadi sifat bapakku tak pernah mau merepotkan orang. Kalau dia sampai berani bilang pinjam uang padaku itu tandanya teramat darurat. Dan orang tak punya hati itu tak mau membantu.

Aku tak mau menyerah begitu saja. Maka kuikuti majikanku yang sudah bisa kupastikan dia pergi ke ruang kerjanya.

"Maaf, Tuan. Kalau Tuan tak mau memanggilkan agen untuk kirim uang, biar saja saya kirim uang sendiri lewat seven eleven. Saya tahu caranya, tinggal Tuan berikan uang gaji saya."

Majikanku mengerutkan kening. Mungkin menelaah bahasaku yang berantakan didengar kupingnya.

"Lalu kau pergi sendiri ke seven eleven itu?" nadanya meremehkan.

"Temanku siap mengantarkanku," jawabku mantap.

Majikanku terlihat berpikir sejenak lantas menggeleng kepala tegas.

"Tidak! Itu cuma alasanmu saja untuk keluyuran."

Tuhan! Ini hati manusia terbalut apa sebenarnya? Hampir dua tahun aku di sini, liburan saja belum pernah. Masa cuma mau ke seven eleven kirim uang dibilang keluyuran?

"Tuan, aku mohon. Atau kalau tidak, aku pakai jasa kirim uang lewat indosuara (1) saja. Tak perlu keluar rumah. Tinggal petugasnya datang ambil uangnya." Aku mencoba membujuk sekali lagi.

Namun lagi-lagi, lelaki tinggi, putih dan botak itu tak mengizinkanku. Lebih tepatnya tak memberikan uang gajiku yang dipegang olehnya.

Dengan muka yang mulai memerah dia memerintah secara kasar, "kembalilah kau bekerja. Kepalaku pusing mendengar rengekanmu."

Aku berlalu. Dengan dada bergemuruh karena kecewa, dibarengi leher yang kelu menahan tangis.

****

Seminggu berlalu. Meski dengan berat hati kukabarkan pada bapakku bahwa aku tak bisa kirim uang secepatnya. Lelaki tua yang biasa aku panggil Romo itu menenangkanku.

"Sudah tak apa, Nduk. Mungkin kita harus lebih bersabar lagi. Majikanmu bermaksud baik,"

Hampir saja aku tersedak, "Baik apanya, Romo? Ini namanya keterlaluan. Kita butuh uang itu. Dasar dianya saja yang tak punya hati."

"Sudahlah, Nduk. Tak baik menjelek-jelekkan orang. Yang penting kamu kerja sungguh-sungguh. Rawat nenek baik-baik."

Oh, Tuhan. Bahkan dalam keadaan terjepit seperti sekarang ini pun bapakku masih bisa sabar.

Hanya tetesan air mata mewakili kata dan rasaku.

"Laillaa ha illa anta subhanaka inni kuntu minadzolimin,"(2) batinku.

****

"Tuan cepat pulang. Nenek sakit kepala." Aku telephone majikanku. Panik.

Tuan hanya menjawab dengan singkat, "Hao, teng i sia wo hue cia."(3)

Tapi sebentar yang dia ucap itu lamanya hampir sama dengan menunggu siput tua berjalan satu rute. Amat sangat lambat. Sedangkan nenek tak henti-hentinya merintih.

"Sabar, Nek. Sebentar lagi anakmu pulang," hiburku seraya memijit dengan lembut pelipis kepala nenek.

Sebentar-bentar aku melongok ke depan, memastikan majikanku sudah datang dan segera membawa nenek ke rumah sakit. Tapi penantianku sia-sia. Sudah satu jam berlalu Tuanku tak pulang juga.

"Tuan kenapa lama sekali? Atau saya panggil taksi saja untuk membawa nenek ke rumah sakit?" tawarku.

Setelah sekian lama aku berinisiatif menelphone nya lagi.

"Tak usah! Tunggu aku pulang sebentar lagi. Aku sedang terkena macet." lagi-lagi tuanku membentak dengan kasar.

Aku kembali ke kamar nenek. Kuamati wanita tua itu tak lagi merintih. Berganti dengan nafas tersengal-sengal dan mata mengerjap-kerjap secara cepat.

Aku semakin ketakutan. Tanganku berkeringat dingin. Apa yang harus kulakukan? Sedang satu-satunya majikankupun tak kunjung datang.

"Nek, tenang. Sabar." hanya itu. Aku tak tahu bahasa mandarin yang lebih fasih untuk situasi seperti ini.

"Tunggu sebentar, Nek. Baru saja aku telephone anakmu. Sebentar lagi dia sampai rumah," ucapku.

Mata nenek menatapku tajam dan nafasnya masih tersengal-sengal. Namun lama-kelamaan nafasnya berangsur teratur dan matanya terpejam.

Nenek tidur.

"Nek," panggilku.

Dia tak bergerak. Tubuhnya kaku dan dingin.

Aku tak tahu harus berbuat apa. Hanya bisikan lembut yang terucap dari mulutku.

"Innalillahi wa inna illaihi rojiun."(4)




NB.
1. Tabloid orang Indonesia di Taiwan.
2. Do'a terhindar dari perbuatan dzolim.
3. Ya, sebentar lagi aku pulang.
4. Do'a terkena musibah.

TAMAT.
Taiwan, 30.05.12

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites