Diberdayakan oleh Blogger.

Senin, 28 Mei 2012

Harapan Ca

Aku muak. Lagi-lagi melihat pertengkaran yang tak pernah berhenti. Mempertahankan ego yang sama tinggi. Tak memperdulikan lagi tentang kata cinta yang pernah terucap di suatu masa.

"Kamu picik. Hanya itu ukuran untuk sebuah pengorbanan? Tolong sedikitlah hargai prinsipku." Seorang wanita, lemah dan agak bodoh. Memohon belas kasihan. Mengemis cinta.

Bangsat. Apakah memang semua laki-laki jahat adanya? Mempermainkan hati wanita.

"Aku sudah berusaha mengerti semua sikapmu. Apa kau pikir aku tak tersakiti karenanya? Sedikit perhatianmu pun tak ada." Dia menangis. Meratapi kebodohannya.

Otak udang. Masih saja dia bertahan meski kenyataan telah tertipu.

Seorang lelaki kaku, terdiam bersama asap rokok yang mengepul. Mukanya sama seperti aroma cigaret. Menyesakkan dada.

"Aku kecewa padamu. Sungguh." Datar tanpa ekspresi.

Aku seribu kali lipat kecewa padamu. Lelaki tak berhati. Haruskah kutempeleng mukamu agar kau sadar? Bahwa kau pantas berada di tong sampah.

"Tolong, beri aku kesempatan sekali lagi. Aku akan berusaha merubah sikapku. Dewasa seperti yang kau mau." Muka wanita penuh iba dan bersimbah air mata.

Hahaha! Aku terbahak. Indra perabamu telah soak ternyata. Tak sadar jika kau telah tertipu?

"Aku tahu telah salah. Tak maukah kau memaafkanku?" lagi wanita mengiba.

Kau memang benar-benar harus dikasihani. Wajah lugumu itu. Bodoh. Apa akan tetap begitu tulus andai kau tahu lelakimu telah menginjak-injak harga dirimu?

"Tidak. Semoga kau mendapatkan orang yang lebih baik dariku." Bersama asap rokok yang mengepul tiada henti.

Isak tangis menganak sungai. Percuma. Andai yang mengalir darah pun tak akan merubah keadaan.

****

Di hari yang lain di tempat yang sama. Aku melihat pemandangan yang berbeda. Dua insan tengah dimabuk asmara. Saling cumbu, saling rayu, saling goda.

"Ih Mas tega deh."

"Hahaha. Aku bilang saja, semoga kau menemukan seseorang yang lebih baik dariku."

"Hihihi. Lantas?"

"Yah, seperti biasa. Dia menangis, meratap-ratap, memohon. Apa tak ada kesempatan untukku?"

"Kasihan. Tapi aku takut."

"Takut apa?"

"Andai suatu saat mas bosan padaku, tak menutup kemungkinan Mas juga akan melakukan hal yang sama padaku."

"Tak akan pernah kulakukan itu. Buktinya aku lebih memilihmu daripada dia. Itu karena hatiku yang berbicara."

"Ah, Gombal."

"Tapi kamu suka 'kan?"

Langit temaram bintang meredup. Bulan memilih bersembunyi tak mau menjadi saksi. Ketika setan berhasil membujuk dua bibir untuk saling bertaut.

****

Dari kejauhan kulihat sosok mendekat. Siuletnya berjalan gontai tanpa semangat. Pelan tak bertenaga.

Aku mengenali wajah itu. Masih sama seperti waktu lalu, penuh iba dan agak bodoh. Rambutnya acak-acakkan. Matanya sembab, bibirnya pucat. Selangkah demi selangkah dia datang.

Diam. Tak bersuara. Tak ada isak pula maki. Hanya gerakan tangan lemah menoreh pada selembar kain putih. Tetap hening tercipta.

Apa memang begitu jika orang patah hati? Wujudnya menakutkan mirip setan. Dan selanjutnya dia merebahkan badannya. Tidur.

Sehari.

Dua hari.

Tiga hari.

Ramai orang berdatangan. Berbisik-bisik, menunjuk-nunjuk pada wanita yang sedang terbuai mimpi. Tidur.

Ekspresi mereka tak terkatakan. Aku bingung. Ini semua apa? Hingga keingin tahuanku terjawab tatkala seorang laki-laki berlari mendekat.

Ketika mendapati wanita itu tidur dalam tenang dia berteriak histeris.

"Ca, maafkan aku. Kuberi kau kesempatan sekali lagi, tapi kuharap kau bangun. Ca, jangan tinggalkan aku kumohon. Ca, bangunlah, bukalah matamu. Ca."

Orang di sekeliling semakin riuh berdengung. Miris. Prihatin. Bisik-bisiknya menyarankan agar membawa pergi saja wanita itu.

Begitu cepat semua berlalu meninggalkan aku. Bersama dengan selembar kain putih yang tak terjamah.

"Mas, aku tahu semuanya. Sahabatku itu yang menyediakan hatinya untuk kau tempati. Sakit memang, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Demi sahabatku aku rela. Semoga kalian bahagia. Mas, mungkin kita tak berjodoh di dunia ini, tapi aku berharap kita berjodoh di dunia yang lain. Yang kekal dan abadi. Mas aku pergi dulu. Kutunggu di kehidupan yang hakiki. With Love, Ca."


TAMAT.
Taiwan, 26.05.12

Diet

"Aku gajian, yes!" teriakku dalam hati.

Satu hari terindah yang paling dinanti di antara 30 atau 31 hari dalam satu bulan. Sebagai anak rantau, hari gajian itu seperti hari kemerdekaan 17 Agustus bagi Indonesia. Kebahagiaannya membuncah tak bisa terkatakan.

Prosesnya seperti biasa, majikanku memanggilku ke ruang tamu dengan membawa map coklat yang aku tahu di dalamnya berisi semua data-dataku. Termasuk paspor dan ARC serta Askesku.

"Sari, kemarilah. Hari ini kamu gajian," panggil majikanku.

Mukaku sudah teramat berseri kala itu, karena sebentar lagi aku mendapat upah dari tenaga dan keringat yang aku keluarkan.

"Seperti biasa aku bantu kamu simpan uang ini di tabunganmu. Dan hari ini kamu ingin ambil uang berapa? Jangan terlalu boros!" kata yang selalu diucapkan majikanku jika gajian tiba.

Bukan apa-apa, dia tak ingin aku menghambur-hamburkan uang untuk hal yang tak berguna.

"Tiga ribu saja, Tuan." kataku takut-takut.

"Banyak sekali?"

Segera aku menerangkan pada majikanku jika bulan ini aku ingin membeli beberapa barang. Majikanku mengangguk maklum.

"Yes, tak ada masalah," batinku.

Setelah aku tanda tangan di atas kertas aku pun mendapatkan tiga lembar uang pecahan seribu dolar warna biru. Senyumku tak henti-hentinya terukir. Hatiku berbunga-bunga.

Bergegas aku menuju kamarku dan membuka majalah yang beberapa hari lalu aku dapat dari teman. Di dalam majalah itu menawarkan jasa penjualan baju. Tinggal pesan lewat SMS barang apa saja yang diinginkan. Sertakan alamat lengkap maka pak pos akan mengantarkan sampai tujuan. Jika barang sudah di tangan maka tinggal membayar kepada pak pos sejumlah uang seharga barang yang kita beli berikut jasa kirimnya. Praktis tak perlu keluar rumah.

Aku memesan beberapa baju yang kurasa bagus modelnya. Kupastikan kode barangnya tak salah dan kukirim sms ke nomer yang tercantum di majalah tersebut.

Hanya butuh sehari menanti pesananku datang. Hatiku benar-benar gembira tatkala kudengar orang memencet bel pintu berteriak, "Kuaho a." (1)

Aku yakin itu pak pos yang mengantarkan pesananku, dan ternyata benar. Dengan segera aku membayar sejumlah uang yang sudah tertera. Tak lupa jua kuucapkan pada Pak Pos, "Xie-xie."(2)

Langsung aku menuju kamarku dan membuka kardus paketan barangku. Kuambil baju di dalamnya dan kuamati, "Hhm, sesuai pesanan. Warnanya juga pas. Coba bentar ah..."

Tapi ternyata upz... bajunya nggak nyukup di badanku hanya sebelah tangan saja yang masuk. Kupaksakan sebelah tangan lagi tapi tetap saja nggak nyukup. Nyeseek banget.

"Kenapa bisa begini? Kok nggak muat? Aduh piye iki?"

Aku lemas seketika. Kutarik nafas dalam-dalam dan kutatap baju itu dengan merana.

"Sepertinya aku harus diet lebih ketat lagi," ucapku pada baju yang baru saja kupesan.

Yup, aku harus lebih giat lagi olahraga agar lemak ditubuhku cepat luntur. Dan baju yang kupesan bisa kupakai nantinya.

"Jia you (3) diet!" ucapku sembari tangan kananku mengepal penuh semangat.

1. surat berbayar
2. terimakasih
3. semangat

Taiwan, 230512

Seperti Kata Emak

Seperti kata Emak. Namun kali ini aku tak menurutinya.

"Tak usah kau risaukan tentang jodoh. Semua sudah ada yang mengatur, Nduk."

Seperti kata Emak. Di selepas maghrib selesai mengaji. Beliau selalu menceritakan padaku tentang teladan para sufi. Tapi aku tak mencontohnya.

Ketika aku semakin terlena, jauh terjerumus pada nafsu dunia. Seperti kata Emak, semakin lama kita hidup di dunia maka akan semakin pahit terasa.

Dia, lelaki gagah rupawan. Mapan dan dewasa. Sikapnya penuh kasih, sehingga tatkala dia bilang, "Jadilah ibu dari anak-anaku, Nie. Hatiku memilih kau lah makmum yang kelak pasti akan membahagiakanku."

Aku langsung berbinar dan mengangguk mantap.

Namun seperti kata Emak. "Bukan maksud hati membuatmu sedih, Nduk. Tapi, Emak merasa dia tak baik untukmu."

Ah, aku marah. Aku tak terima. Aku kecewa.

"Kurang apa lagi dia, Mak? Seperti yang Emak wanti-wanti. Jangan lupa bibit, bebet dan bobot nya dalam memilih jodoh. Arul orang baik, saleh, kerjaan mapan. Apa yang salah?"

Muka Emak mendadak bingung, "Memang Nak Arul itu sempurna, tapi Emak merasa ada yang lain di dirinya. Seperti..."

"Seperti apa Mak? Lihat, umurku sudah bukan remaja lagi. Teman-temanku bahkan anaknya sudah masuk SD. Kenapa begitu susah mendapat restumu, Emak?"

Beliau diam. Ada yang membulir dari kelopak keriputnya. Membuatku merasa tak enak hati.

Seketika itu juga aku bersimpuh di pangkuan beliau. "Maafkan Nie, Mak. Tapi kumohon, kali ini restui Nie."

Tangan kasar Emak mengusap lembut kepalaku. Tanpa kata restu yang kuminta. Diam membisu.

****

Seperti senja yang hampir tenggelam, seperti itu pula cintanya padaku. Warna merah keemasan ditelan cakrawala berganti dengan gelap gulita.

"Andai kita menikah nanti, kau akan ikut denganku atau tinggal dengan emakmu?" pertanyaan Arul yang harus kujawab.

Aku bingung, kesemuanya berat. Aku ingin berbakti kepada satu-satunya keluarga yang kupunya.

Kembali kuteringat, seperti kata Emak. "Kau tahu Nduk? Kedudukan ibu itu tiga kali lebih tinggi daripada ayah. Oleh sebab itu surga selalu ada di bawah kaki ibu."

Emak, aku sayang dia. Meskipun aku belum bisa membahagiakannya.

"Aku milih tinggal bersama Emak. Kasihan beliau tak punya siapa-siapa selain aku."

Arul mengangguk kecil, "Kamu anak yang berbakti." Hanya itu yang terucap. Tak ada yang lain.

Tak jua salam perpisahan. Hanya selembar kertas bercoretkan takdir.

"Aku kecewa padamu, Nie. Sungguh kecewa. Aku kira, sekian lama kita menjalin hubungan kau akan percaya dan mau berkorban untukku. Tapi kenyataannya, kau tak mau bersamaku."

Aku teriak. Ini tak adil. Bahkan hukuman ini aku terima tanpa aku bisa membela. Arul meninggalkanku tanpa mau mendengar alasan mengapa aku memilih emakku. Hatiku berontak namun kata-kata ini tersumbat di tenggorokan.

"Ini tak adil! Aku telah melawan emakku demi kamu, dan sekarang?" teriakku pada bayangan yang telah berlalu.

****

Buku bersampul jingga itu tergeletak di meja. Di samping raga kurus tak bertenaga. Rebah di atas balai-balai dingin penuh kekecewaan.

Di tengah-tengah buku bersampul jingga itu ada fakta penyebab segalanya.

"Ka... kau hamil?" Muka Emak pucat tak berdaya.

Aku menangis. Aku telah berkutat dengan dosa dan ini akibatnya melawan emak.

"Kau tahu Arul itu siapa, Nie?"

Aku menggeleng lemah. Dan emak menyodorkan selembar foto hitam putih.

"Dia kakakmu."

Aku tak percaya. Aku tak mau percaya. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Hal seperti ini hanya terjadi di sinetron televisi.

Seperti kata Emak.
"Aku telah berdosa. Dan ini karmaku."

"Nie yang berdosa, Mak. Tak pernah mendengar petuahmu."

Emak lunglai, luruh ke lantai. Matanya sembab karena air mata. Jiwanya perih terbias di parut wajahnya yang tersiksa.

"Ayah dari Arul adalah bapakmu, Nie"

Aku ternganga tak percaya.

"Tidak, ini tak mungkin."

"Emak pernah mengasuh Arul waktu bayi. Kala itu, ibu Arul sedang berada di luar negri jadi TKI. Tak lama setelahnya kau tumbuh. Di rahim emak."

Aku menutup telinga. Menggeleng sekuat tenaga. Ini pasti lelucon. Ya, hanya sandiwara.

"Emak tak ingin menghancurkan rumah tangga mereka. Maka emak lebih memilih pergi membesarkanmu sendiri."

Teriakku tak jua mengusir dosa ini. Hingga kini aku terperangkap pada tubuh tak berdayaku. Karena ketika aku ingin melepas takdir pedih yang menimpaku, sebuah sepeda motor menghantam tubuhku.

"Emak jangan menangis lagi. Maafkan Nie, Mak." kataku dalam hati. Pada orang yang setia merawatku sampai saat ini.

Ingin kusapu air mata yang mengalir di pipinya. Menetes membasahi buku bersampul jingga.


TAMAT.
Taiwan, 28.05.12

Ampuni Aku, Lara

Jangan mati. Kau penentu nasibku Noki. Harapanku semua ada di dirimu, kumohon.

"Mau diapain tu hape jadulnya, Kak?" adikku yang ceriwis bin crigis itu ingin tahu. Aku diam saja.

"Udah jadi fosil mah buang aja, Kak. Lagian emang nggak malu apa nanti bila dijejerin sama android baru kakak?"

Sudah kubilang kan kalau adikku itu ceriwisnya minta amplop? Andai aku tak menjawab bakal ada pertanyaan lanjutan sampai entah berapa nantinya.

"Unik aja, Dik. Jaman sekarang handphone seperti Noki sudah jarang ditemukan. Siapa tahu bisa laku mahal kalau dijual. Kan barang langka," jawabku asal.

Bukan adikku jika puas hanya dengan jawabanku tadi. Anak super besar rasa ingin tahunya itu tak mungkin mau beranjak sebelum dia merasa yakin atas kebenaran jawabanku.

"Aneh, sepulang kakak membeli smartphone terbaru itu tiba-tiba saja kakak ingin Noki hidup. Apa bukan cuma alasan kakak saja?"

Aku mengerutkan kening, "Maksudnya?"

"Ya, di counter handphone itu kan ada cewek cantik yang kakak taksir, 'kan? Dari semenjak kita datang sampai akhirnya dapat hape baru untuk kakak, tu mata tak beralih dari cewek penjaga counter itu." sambil telunjuk mungilnya menunjuk mataku.

Ni anak selain ceriwis juga punya analisa yang tepat. Aku bungkam.

"Bisa saja itu akal-akalannya kakak agar bisa kembali lagi ke counter itu. Pura-puranya saja nyervice handphone. Tak tahunya ada udang di balik bakwan."

Aku tersenyum menanggapi gurauan si ceriwis. Sambil tanganku terus memencet-mencetNoki berharap bisa hidup.

"Sudah move on nih ceritanya? Sepeninggal Kak Mona sepertinya kakak susah membuka hati lagi."

Adikku benar-benar pemerhati sejati. Bagaimana dia tahu aku sampai sekarang pun tak bisa melupakan mantanku Mona?

"Anak kecil tahu apa?" celaku. Bukan berarti dengan begitu si ceriwis ini akan berhenti menganalisa ya? Sudah bisa kupastikan dia tambah gencar.

"Buktinya kakak pingin Noki hidup lagi. Fosil penyimpan seribu kenangan tentang kak Mona. Bukannya sudah dibanting semenjak Kak Mona mutusin kakak tiga tahun yang lalu? Aku yakin juga kakak alergi menyentuh Noki. Tapi sekarang?"

Hebat! Aku jadi tersadar, ternyata sudah lama juga aku terpuruk menyesali kepergian Mona dan menutup hatiku rapat-rapat untuk orang lain.

"Dasar ceriwis suka usil," cuma itu tanggapanku. Aku tak ingin adikku makin menguak kebenaran yang hakiki, bahwa aku masih mencintai Mona.

"Kakak pergi dulu, ya?" kuusap kepala adikku lembut.

Jalan yang paling tepat untuk menghindari interogasi si ceriwis, kabur darinya.

****

Aku harus mengakhiri rasa bersalahku yang menghantui hidupku sampai sekarang. Karenanya aku ingin kau hidup Noki, di dirimu ada nomor handphonenya.

"Masih belum berhasilkah kakakku?" tiba-tiba ceriwis sudah ada di sampingku.

Memandangku penuh muka selidik ketika di tanganku didapatinya menimang-nimangNoki. Nama yang kuberikan pada handphone jadul punyaku.

"Lara namanya," gumamku.

"Bukan karena dia mirip Kak Mona, 'kan? Kuamati sepintas senyum mereka sama."

Aku melirik malas pada adikku lantas menggedikkan bahu.

"Entahlah. Maybe yes maybe no," ucapku korban iklan.

Upz, kalau jawaban seperti itu pasti akan memancing keingintahuan si ceriwis. Ah, aku salah ucap.

"Dia ada hubungannya dengan Kak Mona, aku yakin itu." Si ceriwis manggut-manggut.

Benar saja dugaanku, dia mulai menganalisa dengan rahasia yang kusimpan. Ketakutanku mulai timbul andai saja adikku mengetahuinya.

"Berarti dia teman sekolah kakak dulu. Kenapa dia bisa tak mengenali kakak?"

Aku menghela nafas. Menyerah. Adikku memang masih duduk di bangku kelas VII, tapi jiwa keingintahuannya melonjak melebihi ibu-ibu komplek tukang ngrumpi. Pas jika si ceriwis jadi detective.

"Sepertinya dia anak kuper, mungkin kutu buku," tebak si ceriwis.

"Lara itu juara kelas, lugu dan pendiam. Dia anak yang sopan kebanggaan keluarganya." Sedikit kubeberkan tentang Lara.

"Bukan level Kak Mona. Dan kurasa bukan karena Lara telah mengganti posisi Kak Mona hingga kakak rela menyentuh Noki lagi."

Mama, kenapa bisa si ceriwis beda jauh denganku yang lebih memilih diam ketimbang tahu urusan orang lain? Kau beri makan apa dulu, Ma?

"Sepertinya kakak merasa bersalah pada Kak Lara."

"Aku hanya ingin tahu no handphonenya saja, Dik. Dan Noki yang mati ini menyimpannya."

Sontak adikku menepuk pundakku. Aku terkejut.

"Gampang itu mah!" katanya riang.
"Besok aku ke counter itu dan menanyakannya langsung. Jadi tak perlu repot-repot menyulap Noki untuk hidup kembali. Kasihan Noki jika dipaksa bekerja, dia kan korban keganasan lelaki patah hati."

Aku tersenyum kecil. Sialan. Si ceriwis memang benar-benar crigis.

"Betul juga idemu." Adikku sumringah. Merasa di atas angin kepandaiannya kuakui, meski memang sebenarnya ceriwis tak cuma pandai tapi jenius.

"Gratis 'kan?" tanyaku memastikan. Biasanya ceriwis meminta imbalan.

"Demi kakakku move on kali ini aku terpaksa ikhlas."

Hhh... dasar ceriwis. Aku geleng-geleng kepala.

****

"Dapat nggak?" tembakku langsung.

Muka adikku tampak murung, sepertinya telah terjadi sesuatu padanya.

"Ada apa? Jangan bermain tebak-tebak an ah, Kakak sedang nggak mood," kucoba cairkan suasana. Namun si ceriwis tetap saja bungkam malah sekarang matanya tajam menatapku.

"Kakak benar-benar tak punya hati," ucap ceriwis. Matanya tak beralih dariku.

"Tega-teganya Kakak pada kak Lara," lanjutnya.

Apa-apaan ini? Apa Lara sudah menceritakan kejadian iseng yang kulakukan dulu? sehingga adikku melotot padaku tanpa henti?

"Maksud kamu apa? Kakak nggak ngerti," kilahku.

Semoga saja si ceriwis tak menangkap ada kekhawatiran dari sorot mataku.

"Jahat." ceriwis serius.

Aku mulai ketakutan.

"Dik, kakak tak berniat seperti itu. Dulu kakak tak sengaja." tanganku berkeringat dingin.

"Ya kakak memang salah, maka dari itu kakak ingin minta maaf. Kakak nggak bermaksud menghancurkan masa depan kak Lara. Hanya saja dulu kakak sangat mencintai Kak Mona," terangku.

Si Ceriwis mengerutkan kening.

"Nggak ngerti maksud kakak," mukanya bingung.

"Lara pasti sudah menceritakan padamu," pancingku. Adikku menggeleng perlahan.

"Dia tak cerita apapun? Lantas kenapa kamu katakan kakak jahat?"

Adikku menghela nafas. "Seperti rencana kita kemarin, aku tadi ke counter itu pura-puranya mau nyervice Noki."

"Lalu?" kejarku.

"Ya, kakak tega."

Si ceriwis meletakkan Noki di hadapanku.

"Sebenarnya kak Lara mengenali kakak waktu itu, akan tetapi dia diam saja."

Deg deg deg. Suara di dalam dadaku berpacu bersama dengan itu wajahku memanas. Apakah adikku tahu kejadian waktu itu?

"Kakak harus segera minta maaf pada kak Lara, beberapa waktu lalu ibu kak Lara meninggal dunia."

"Innalillahi wa inna illaihi rojiun."

"Semenjak ayah kak Lara meninggal, ibu kak Lara sering sakit-sakitan. Dan akhirnya beliau pun dipanggil Tuhan. Sebagai teman harusnya kakak ikut berbela sungkawa waktu itu, tapi malah kakak pura-pura tak kenal saat bertemu."

"Jadi Lara sekarang yatim piatu?" aku tertunduk lemas.

Adikku bengong, "Kasihan kak Lara, dia harus banting tulang menghidupi adik-adiknya. Kakak tahu nggak kenapa ayah kak Lara meninggal? Apa beliau juga sakit?"

Sontak aku kaget. "Lara tak cerita padamu?"

Si Ceriwis menggeleng cepat.

****

Beberapa lembar daun akasia berserakan di tanah. Aku duduk termenung di bangku kayu bawah pohon akasia. Menunggu datangnya Lara di taman sekolah tempat almarhum ayah Lara dulu mengajar.

Angin memainkan anak rambutku yang sudah gondron. Aku nikmati desaunya memaksa daun-daun saling bergesekan mengalunkan melodi alam.

"Maaf terlambat," suara Lara mengejutkanku.

Senyum manisku menyambutnya lalu aku bergeser sedikit memberinya tempat untuk duduk.

"Kenapa memilih tempat ini?" tanya lara padaku.

Aku mengamatinya dengan ekor mataku. Tatapan Lara memandang cakrawala.

"Kamu masih ingat Mona?" awal kata yang kuucap. Sekedar sedikit mengingatkan akan masa SMA.

"Yang dulu jadi pacarmu itu, ya?" jawabnya.
"Aku ingat. Bagaimana kabarnya?"

Tanpa kaca mata minus yang dulu bertengger di hidungnya sebenarnya Lara manis. Seperti yang ceriwis bilang, luwes dalam segala hal.

"Maafkan aku." lirihku.

Lara menoleh memandangku, "Untuk tak menyapaku pertama kali bertemu di counter itu? Hahaha, santai saja lah. Rata-rata orang bilang aku banyak berubah."

Aku bersandar pada bangku kayu yang kami duduki.

"Untuk keisengan yang berakibat fatal pada hidupmu."

Lara beringsut menghadapku, "Aku tak mengerti. Apa karena dulu aku nekat menaruh kertas bertulis puisi cinta di buku pelajaranmu?"

Mataku terbelalak, kulucuti muka Lara mencari pertanda. Namun yang kudapatkan tatapan mata sungguh-sungguh.

"Jadi puisi itu milik kamu? Bukan Mona penulisnya? Lantas inisial R itu bukan Ramona?"

Lara terkikik geli "R dari Ribut. Nama panggilanku waktu masih kecil. Layaknya julukan itu aku dulunya biang ribut di keluarga."

Dia tertawa.

"Aku bersalah padamu, Lara. Ampuni aku." Aku tertunduk dalam.

"Sudahlah, itu semua masa lalu."

Kugenggam tangan Lara kuat-kuat, dia kebingungan.

"Aku yang menyebabkan ayahmu meninggal."

Lara menatapku semakin tajam. Memori kita berlari-lari berlomba pada peristiwa tiga tahun silam. Kejadian yang menggemparkan warga tentang seorang guru bunuh diri karena anak gadisnya yang juara kelas tak lulus ujian nasional.

"Aku yang menaruh kertas contekan di laci mejamu. Mona yang memintaku."

Seketika itu juga Lara menarik tangannya dari genggamanku. Wajahnya berpaling dariku dan mengeras.

"Aku pikir puisi itu Mona yang membuatnya. Ketika kuutarakan perasaanku dia mengajukan satu syarat," suaraku gemetar.

Lara masih bungkam.

"Dia yang menyuruhku meletakkan contekan itu, dan membuat pengawas memergokinya."

Aku berusaha meraih tangan Lara kembali namun dihempaskannya.

"Kamu tahu apa yang kurasa saat itu? Ketika aku harus keluar ruang ujian dan mendapatkan nilai nol? Kamu merasakan pedihnya? Kamu tahu bagaimana rasa kecewaku?"

Dia menelungkupkan kedua tangan ke mukanya. Bahunya terguncang hebat.

Kurengkuh Lara kepelukanku, "Maafkan aku, Lara. Ampuni aku."

Tamat.

Taiwan, 250512

Minggu, 27 Mei 2012

ANTARA AKU DAN AMA

Namanya Limay, umur 92 tahun.



Di usianya yang sudah di ambang batas ini dia masih sehat dan segar bugar jika sedang mengomel. Tapi kalau untuk berjalan, makan, mandi atau ke WC, dia sudah tak mampu lagi, sudah tak bertenaga.Pantas rasanya julukan 'Mak Lampir' kuanugerahkan untuknya. Julukan yang diberikan oleh kami, para pekerja Indonesia di Taiwan, untuk majikan-majikan yang cerewet. Sama seperti Ama. Pagi, siang, sore, malam, yang dilakukannya hanya mengomel. Sepertinyasemua pekerjaanku tak pernah benar di matanya.



Begitu pula pagi ini. Seperti biasa, aku memasak sarapan untuk Limay yang biasa kusapa Ama. Kali ini dia ingin makan bubur dengan steam telur serta abon. Setelah siap saji, kudorong kursi rodanya ke meja makan. Perlahan-lahan Ama kusuapi. Belum sampai bubur itu ke dalam mulutnya, omelannya sudah keluar duluan.



"Kamu masak bubur kental sekali, seperti nasi saja! Mana bisa aku menelannya?"



"Maaf, Ama. Lain kali aku tambah air," jawabku mengalah.



Ini baru bubur yang dia protes, belum yang lain-lain.Bahkan cara berjalankusaat mendorong kursi rodanya pun bisa jadi bahan omelannya.Padahal itu karena aku letih dan juga berhati-hati.



"Hei! Cepat sedikit jalannya! Apa orang Indonesia cara berjalannya seperti ini? Lamban!"



Ya, Tuhan! Andai aku tidak takut dosa, sudah kudorong dengan cepat dan kubiarkan kursi rodanya menggelinding bebas di jalanan menurun.



@_@



Namaku Imah, umur 29 tahun.



Aku bekerja di Taiwan sudah enam bulan dengan job merawat Ama. Tinggal hanya berdua dengan Ama di apartemen.Ketiga anak laki-laki Ama adalah orang-orang super sibuk. Mereka memasrahkan segala urusan dan kebutuhan Ama ke tanganku.



"Imah, tolong jaga ibu saya baik-baik.Memang dia agak cerewet, tapi sebenarnyahatinya baik. Jangan diambil hati semua perkataannya. Kamu kerja di Taiwan kuncinya sabar," kata salah seorang majikanku suatu hari. Saat itu dia mendapat jatah untuk menjenguk ibunya.



Aku hanya mengangguk-angguk tanda mengerti. Andai aku bisa lancar bicara dalam bahasa mereka, pasti sudah kutangkis perkataan tuanku yang mengatakanAma sebenarnyabaik hati. Baik hati apanya? Orang dia mau membunuhkusetiap harinya. Membunuh pelan-pelan dengan segala kecerewetan dan omelannya.



"Imah, tolong garuk punggungku! Rasanya gatal sekali. Ini gara-gara terong yang kamu masak kemarin!"



"Bukannya Ama yang minta aku masak terong?"



"Mana mungkin! Aku sudah lama tidak makan terong, bikin kulit gatal."



"Tapi kenapa kemarin aku masak dimakan sampai habis?"



"Orang sudah dimasak mau gimana lagi? Dibuang sayang, belinya pakai uang. Sekarang musim panas, terong mahal."



Duh, aduh! Sudah tua, cerewet, sedikit pikun pula. Padahal kemarin dia yang menyuruhkumemasak terong, sekarang aku pula yang kena semprot. Mak, Imah tak betah hidup sama Mak Lampir! Imah pingin pulang...!



@_@



Aku menghubungi agenku hari ini, karena aku sudah benar-benar tak kuat menghadapikecerewetan Mak Lampir. Untuk hari ini saja aku sudah dua kali kena semprot. Pertama saat mencuci piring, Ama melihat banyak busa dari cairan pencuci piring yang kupakai.



"Imah, pakai cairan pencuci piring jangan terlalu banyak! Busa itu tidak bagus bagi tubuh!"



Itu yang pertama, dan omelan yang kedua saat aku mengepel lantai. Tak sengaja gagang pel menyentuh kaki kursi dan menimbulkan suara yang lumayan keras. Langsung Ama berteriak,"Imah! Kamu ngepel hati-hati sedikit! Ini kursi belinya di Cina, di Taiwan tak ada kursi sebagus ini! Dasar sembrono!"



Dan puncaknya saat Ama menyuruhkumembereskan lemari pakaiannya. Aku tak berani menyentuh apa-apa kalau bukan dia yang menyuruhku.



"Tolong sekalian ambilkan bungkusan warna hijau di dalam lemari bagian atas!"



"Bungkusanapa? Tidak ada disini," sahutku sambil mencari-cari.



"Tidak mungkin! Berpuluh-puluh tahun barang itu kusimpan disana, tidak mungkin hilang jika tidak ada orang yang mengambilnya!"



"Tapi benar, Ama, disini tidak ada barang apapun."



"Di bawah pakaianku,dari dulu aku menyimpannya disitu. Itu warisan dari ibuku. Kamu pasti mencurinya! Di rumah ini cuma kamu yang bebas kemana-mana."



Aku terkejut sekaligus emosi. Ini sudah keterlaluan. "Aku mencuri apa, Ama? Bahkan barang apa yang Ama maksud pun aku tidak tahu!"



Akhirnya aku menangis. Aku tak kuat akan perlakuan Ama kali ini, sakit hatiku dituduh mencuri. Padahal barang yang dimaksudnya itupun aku tak pernah melihat wujudnya. Sampai-sampai Ama memaksa menelepon anaknya yang ada di Taichung untuk datang.



Dan aku masih menangis saat agenku datang beberapa jam kemudian. Bagus, biar sekalian agenku melihat perlakuan Ama terhadapku. Jadi aku semakin punya alasan untuk minta berhenti dan dicarikan majikan baru.



Sebenarnyapermasalahannya sudah selesai beberapa waktu sebelum agenku datang, karena anak Ama sudah menemukan barang yang Ama maksud. Yang ternyata disimpan di dalam laci lemari, tempat yang tidak boleh kusentuh saat pencarian.Aku terkejut, ternyata barang yang ia maksud itu cuma tiga biji koin Cina kuno!



"Laushi,[*] saya minta ganti majikan," kataku sambil terisak. "Aku tak mau berlama-lama lagi di rumah ini. Kalau tidak bisa ganti majikan maka aku akan pulang saja!"



Sakit hatiku benar-benar sudah mencapai puncak. Aku tak peduli meski aku masih dalam masa potong gaji. Aku tak tahan lagi mengurus perempuan tua itu! Mak Lampir yang sangat menyebalkan!



Namun permintaanku tak digubris agenku, "Kamu bekerja di Taiwan harus sabar. Namanya orang tua memang suka lupa menaruh barang."



Aku dinasehatipanjang lebar dan kesimpulannya, aku tak bisa pergi begitu saja dari sini. Uuuh!



@_@



Meskipun aku sudah terbukti tak bersalah dalam peristiwa tiga koin Cina kuno tempo hari, Mak Lampir-ku itu tetap tak merubah pandangan dan perlakuannya terhadapku. Masih saja aku dianggap salah. Semua yang aku kerjakan tak lepas dari kritikan dan omelannya.



Saat di taman Da'an, tempat Ama biasa berjemur, aku bisa bertemu banyak teman Indonesia.Ngobrol meskipun hanya sebentar, sudah biasa kami lakukan. Selain melepas suntuk, kami juga bisa bergosip dan bertukar info. Entah soal majikan masing-masing, tentang organisasipara TKI Indonesia di Taiwan, atau sekedar ngobrol tentang artis Indonesia yang akan manggung di Taiwan



Ama untuk urusan satu ini tak begitu ambil pusing. Mungkin karena kami ngobrol dalam bahasa Indonesia,jadi dia tidak mengerti hingga alpa mengomel.



"Bener nantinya enak?" tanyaku pada Ranti temanku.



"Menurut yang sudah ngejalaninsih begitu. Kita bisa bebas ganti majikan kapan saja. Malah lebih dihargai, gaji juga lebih gede," Ranti menjelaskan dengan menggebu-gebu.



"Tapi aku takut. Kalau ketangkap gimana?"



"Asal punya uang 30.000 dolar buat bayar denda, bisa langsung pulang. Lagian nggak usah keluar rumah, pasti nggak ketangkep."



"Terus kalau nggak cocok sama majikan gimana?"



"Agen siap mencarikanpekerjaan.Pokoknya jangan takut nganggur!"



"Ya deh, nanti kupikir-pikir dulu."



"Semua terserah kamu, kalau kamu betah hidup tiga tahun bersama Mak Lampir-mu ini, ya mending jangan kabur."



Begitulah percakapanku dengan Ranti, teman sesama TKW di Taiwan. Memikirkankecerewetan Ama dan semua perlakuannya, timbul niatku untuk kabur saja. Kalau tidak, mungkin pulang ke Indonesia nanti aku sudah dalam keadaan depresi.



Malam itu kumantapkan sudah, aku akan kabur saja. Setelah kupastikankeadaan aman, kusempatkan menengok Ama di kamarnya. Perempuan tua itu tampak tertidur lelap di ranjang. Ah, tiba-tiba muncul perasaan ragu di hatiku, saat kuamati sosok tua itu. Keriput di wajahnya yang damai saat tidur membuatku merasa iba. Andai nanti dia bangun tapi tak mendapati aku ada disini, akan bagaimana nasibnya? Apa akan jatuh? Karena berjalan pun ia sudah tak mampu. Atau akan berteriak-teriak minta tolong? Bagaimana jika tak ada yang mendengarnya? Bayangan Ama sedang ketakutan membuatku benar-benar ragu. Akhirnya aku mengurungkan niat kabur hari ini. Mungkin memang harus bersabar dulu menghadapisemua ini.



@_@



Kesehatan Ama makin lama makin menurun. Tapi omelan khasnya tak sedikitpunada penurunan,tetap keras dan cadas. Kalau dia tidak protes malah terlihat aneh. Faktanya itulah yang terjadi akhir-akhir ini. Ama berubah jadi pendiam.



Pagi itu Ama mengeluh sakit perut. Dan aku mengabari majikan-majikanku bahwa Ama sakit. Mereka menyuruhkuuntuk membawa Ama ke Rumah Sakit. Tumben sekali Mak Lampir bisa sakit, atau karena sudah dekat waktunya? Hatiku masih sempat berkomentar nakal.



Pertanyaanku terjawab. Dokter menyuruhkumenghubungi majikanku,dan aku melakukannya tanpa banyak bertanya lagi. Tak berapa lama mereka sampai di Rumah Sakit dan langsung menemui dokter yang menangani Ama. Beberapa menit berlalu. Majikanku keluar dari ruangan dokter.



"Imah, Ama zhi diao le."



"Zhen de ma?"



"Sh a."



Aku kaget. Bingung. Tak tahu apakah harus menangis, sedih atau gembira mendengar ini. Yang jelas hatiku mendadak beteriak, "Yes, penderitaanku selesai!"



@_@



Hari-hari persemayaman jasad Ama, aku amatlah sibuk. Selama 10 hari aku bantu-bantu para tetangga memasak untuk biksu-biksu yang mendo'akanjasad Ama. Meskipun melelahkan, aku merasa senang melakukannya. Karena kini aku sudah terlepas dari kecerewetan Ama dan bisa segera ganti majikan. Semoga majikanku yang baru nanti akan lebih baik, harapku.



Sepuluh hari berlalu. Siang itu agen beserta penerjemahdatang ke rumah majikanku.Kupikir mungkin akan menjemputku untuk dibawa ke majikan yang baru. Tapi ternyata tidak. Kejadian selanjutnya malah membuat aku malu dan kelu.



"Imah, ada satu pesan Ama sebelum meninggal," kata majikanku.



Karena aku tidak begitu mengerti bahasa yang mereka gunakan, maka aku diam saja. Sampai penerjemahmenerjemahkannya untukku.



"Imah, kamu sangat beruntung.Ama ternyata sayang sekali padamu. Sebelum meninggal,dia menulis surat wasiat tentang pembagian harta warisan. Dan kamu termasuk di dalamnya. Ama memberimu sejumlah uang dan satu set perhiasan.Kata majikanmu semoga bermanfaat. Jadi kamu tak perlu lagi ganti majikan. Kamu bisa pulang Indonesia.Warisan dari Ama ini bisa untuk membuka usaha di kampung dan juga membeli rumah," penerjemahku menguraikan panjang lebar.



Aku terkejut, melongo tak percaya pada apa yang kudengar. Mataku tak berkedip saat menatap para majikanku,anak-anak Ama. Mereka semua menganggukmembenarkan. Aku menelan ludah dengan susah payah, menarik napas sedalam mungkin, sebelum akhirnya tergugu di tempat dudukku.



Beberapa hari yang lalu aku sempat bergembirakarena telah terlepas dari Ama, bahkan lega atas kematiannya. Tapi sekarang, tiba-tiba saja aku merasa sedih dan sangat malu. Ingin rasanya aku berlari mencari wajah keriput itu dan bersimpuh meminta maaf. Selama ini aku selalu menggerutudalam hati dan berpikiranburuk tentangnya. Sekarang baru aku sadar, ternyata benar kata majikanku,meski Ama cerewet tetapi hatinya baik.



"Bagaimana, Imah? Kamu tidak keberatan kan menerima pemberian Ama? Bagi Ama, kamu sangat berarti. Bayangkan jika tak ada kamu, siapa yang akan mengurus Ama? Jadi kamu layak mendapatkan tanda ungkapan terimakasih dari Ama," jelas penerjemahlagi panjang lebar. Dan kalimat itu membuatku kian sulit menahan air mata.



"Xie Xie Ni," kataku sambil menunduk.



Kuusap air mataku yang membanjir.Ama, maafkan Imah. Dan... terima kasih, Ama...!



Catatan:

-Laushi (guru) beberapa TKW memanggil agen dengan sebutan guru.

-Ama zhi diao le (Ama sudah meninggal)

-Zhen de ma? (Benarkah?)

-Sh (Ya)

-Xie Xie Ni (Terimakasih)


Tamat.
Taiwan, 200512

Senin, 21 Mei 2012

JIE-JIE * MIU






Jie Miu menatap nanar padaku. Mata ebony nya melotot, mulutnya terkatup rapat. Gigi gerahamnya saling beradu terlihat dari kulit pipinya yang sedikit mengeras. Tangan kirinya yang tak lumpuh menggenggam kursi roda kuat-kuat.


"Satu suap lagi, Jie. Nanti kamu sakit," bujukku.
Jie Miu tetap berada pada sikapnya. Entah salah apa lagi aku kali ini.

"Kamu jahat! Pergi kau dari hidupku!"
Tiba-tiba Jie Miu berteriak kasar. Dia memang temperamen, aku sudah terbiasa menghadapinya setiap hari. Tapi hari ini terpancing juga emosiku.

"Baiklah kalau begitu. Telepon agen sekarang dan aku
pulang," teriakku tak kalah garang.
Peduli amat dia majikanku. Aku sudah terlanjur sakit hati. Kenyang diperlakukan semena-mena setiap hari.

"Aku sudah tak betah di sini, memangnya kau pikir hanya kamu saja yang butuh pembantu?"
Bahasa mandarinku masih kurang meski sudah hampir setahun aku tinggal di Taiwan.. Biasanya aku hanya menangis jika dibentak-bentakoleh Jie Miu, wanita paruh baya yang aku rawat. Kali ini lain, kutumpahkan semua emosiku.

"Apapun yang kulakukan selalu kau protes. Silahkan urus dirimu sendiri kalau bisa." Kata-kataku berlomba keluar dengan air mata.
Aku terisak di samping kursi roda Jie Miu.
****


"Dulu dia tak begini, Is. Meski sering marah-marah tapi jarang sekali membentakku. Tapi semenjak aku punya handphone dia semakin galak." Aku mengadu pada Isti temanku.
Di pagi seperti biasa, Isti menemani anjing majikannya jalan-jalan, dan aku membawa Jie Miu menghirup udara segar. Isti pasti menyempatkan ngobrol denganku meski sekejap.

"Mungkin dia ga suka melihat handphone mu yang canggih itu," goda Isti.
Aku tersenyum kecut.

"Kenapa mesti ga suka? Toh aku membelinya juga memakai uangku sendiri, bukan fasilitas dari dia. Hen jikuai."(1)

"Yang sabar, untung saja dia tak mengamuk,"
Aku diam bergelut dengan pikiranku sendiri. Pekerjaanku tak pernah terbengkelai, tapi tetap saja Jie Miu protes.

"Atau mungkin dia kesepian karena kau tinggal bermain handphone," lanjut Isti kemudian setelah sesaat lamanya terdiam.

"Entahlah, Is. Pokoknya aku mau minta pindah majikan saja."

"Ya terserah kamu, yang penting jangan kabur."

Mungkin jika terdesak terpaksa aku memilih jalan pintas, dari pada hidup dengan Jie Miu. Seperti di neraka.
****


Perlakuan Jie Miu semakin membingungkanku. Terkadang dia teramat lembut, terkadang juga dia teramat kasar. Layaknya siang ini ketika agen ku datang, dia menangis meratap-ratap.

"Aku tak mau dirawat oleh orang lain, aku mau Sovi saja," rengeknya kepada Nyonya dan Tuanku.

Apa dia lupa? Kemarin hampir saja tanganku melepuh jika aku tak menghindar. Ketika dengan ganasnya dia menampar nampan berisi sup panas yang kubawa.

"Aku muak melihatmu wanita jalang," teriaknya kala itu.
Padahal sebelumnya dia tenang-tenang saja. Barang yang ternyata membuatnya marah pun sudah kusembunyikan. Handphoneku.

"Aku minta maaf Sovi, tapi jangan lah kau pulang," ucapnya di sela isak tangis.
Di depan agen dan orang tuanya.
Melihat perubahan sikapnya agenpun membujukku untuk lebih bersabar.

 Aku tak mampu berkata lagi, hanya bisik kelu kuucapkan ketika agen hendak berpamitan.
"Tak ada masalah lagi bukan? Bersabarlah sedikit."

"Baiklah," ucapku. Tanpa senyum, tanpa semangat.
****


Jie Miu berulah lagi. Kali ini tak mengamuk melainkan
membuat berantakan seisi almari.

"Kamu mencari apa?" seruku.

Jie Miu tak mengindahkanku.Aku hanya mematung melihat tingkahnya.

"Ketemu!" teriaknya kemudian.
Sebuah kardus terbungkus kain ada di tangannya.

"Mau kau apakan benda itu?" Aku penasaran.
Dibukanya perlahan pembungkus itu. Jie Miu mulai terisak. Tangannya gemetar.

"Barang ini penghancur hidupku. Karenanya aku jadi begini. Aku benci semua ini."
Muka Jie Miu pucat pasi. Timbul iba di hatiku. Kupeluk
majikanku itu untuk memberi kekuatan.

"Buang barang itu. Bakar. Aku tak mau melihatnya lagi."

"Baiklah, tapi kau harus tenang dulu. Akan kusingkirkan penghancur hidupmu ini tapi jangan menangis lagi," rayuku.
Bergegas aku menyingkirkan kotak itu dari hadapannya, sebelumnya kubuka dahulu untuk melihat isinya. Aku penasaran dan terkejut. Seperangkat handphone yang masih
baru ada di dalamnya.
****

Kutimang-timanghandphone Jie Miu. Sayang juga jika barang yang masih bagus ini harus dibuang.

"Kalau aku kirim ke Indonesia pasti Jie Miu tak tahu," batinku.
Tetapi niatku itu urung. Terkalahkan rasa penasaran.

Kudekati Nyonyaku pelan-pelan dan kuangsurkan handphone Jie Miu.
Nyonyaku terkejut,
 "Dari mana kau dapat barang ini?"

Aku ceritakan saja Jie Miu memintlu memusnahkannya tapi tak kulakukan.
"Benda ini kenangan buruk Miu."

"Kenapa bisa begitu, Nyonya?"
Majikan perempuanku itu berdiri, berjalan ke samping
jendela dan mulai bercerita.

"Dulu Miu gadis yang cantik dan cerdas. Miu baru saja
menikah dan hidup bahagia bersama suaminya. Tapi
bencana datang bersamaan dengan barang itu ada."
Nyonyaku berjalan mendekatiku.

"Maka dari itu dia tak menyukai kau membeli handphone. Dia trauma."

"Maaf, Nyonya tapi mengapa harus handphone?"

"Kala itu Miu sedang menyetir dan ada panggikan masuk di handphonenya yang menyebabkan dia tak konsentrasi lagi. Tak dapat dielakkan kecelakaanpun terjadi, dan kau tahu sendiri Miu jadi gadis lumpuh."

"Lantas suaminya?" kejarku.
Mata Nyonyaku terlihat merebakkan air mata.

"Dia meninggalkan Miu karena malu mempunyai istri cacat."
Hening.

*Kakak perempuan
1. sangat aneh.



TAMAT
Taiwan, 110512.
oleh Rahayu Wulansari

Jumat, 18 Mei 2012

Terbagi Dua









Pilih salah satu, jangan keduanya. Apa kau tak sadar perilakumu itu secara tidak langsung menyakiti mereka. 

"Wanita kan berhak memilih?" belaku. 

"Tapi bukan lantas membandingkan seperti itu, Dea. Aku lihat sepertinya kau tak serius pada keduanya." 

Flo sahabatku sedang memberi wejangan panjang. Dia tak suka akan sikapku yang memacari dua cowok sekaligus. 

"Ingat, Dea. Karma itu ada." 

Nah, pasti tentang pembalasan lagi yang dibahas. 

"Aku tak melukai mereka, Flo. Mengapa karma kau ajak juga?" selorohku. 

Sahabatku yang hitam manis itu melirik kesal menanggapi gurauanku. 

"Ya, oke! Lantas sekarang aku harus bagaimana?" 

Flo menarik nafas dan mengulangi kalimatnya lagi. 

"Pilih salah satu atau tinggalkan keduanya," ucapnya tegas. 

"Siap laksanakan bos!" 

Tapi berat jika harus memilih. Aku menyayangi keduanya. Tuhan, beri aku clue, mana diantara mereka yang terbaik untuk ku? 

**** 

Gute. Cakep, tajir, otaknya tokcer. Teman-temanku tak ada yang percaya akhirnya aku bisa jalan dengan Gute. Malah ada yang nyelutuk aku pake ilmu pelet untuk mendapatkannya. 

"Naudzubillah, amit-amit jabang bayi dech," sahutku. Mrinding juga aku jika harus menggaet cowok dengan cara tak wajar. 

"Kamu cocok sama Gute pasangan serasi. Sudah selayaknya cowok cute seperti Gute dapet pacar cantik kaya kamu, Dea." Itu komentar temanku yang mendukung. 

Meskipun banyak juga yang syirik. Masa ada yang bilang, "Dea tu cuma jadi bahan taruhan Gute dan kawan-kawannya tuh." 

Namun ketika kuklarifikasi dengan yang bersangkutan, Gute malah tergelak. 

"Buat apa aku taruhan? Bagiku kamu lebih bernilai dari hasil taruhan itu, Dea." Hampir mirip bualan, tapi aku suka. 

Jangan pikir Gute type cowok romantis karena sudah bisa jawab seperti tadi. Bahkan hari ulang tahunku pun dia lupa. 

"Sory, Dea. Kemaren aku sibuk banget jadi ga bisa ngerayain ultah kamu," ucapnya seraya mengulurkan bingkisan. 

Dan ketika kubuka, wow smartphone keluaran terbaru, cuy. Langsung luluh deh ngambekku. 

Gute mengecup lembut keningku dan berkata, "maafkan aku ya sayang. Kamu suka hadiahnya, 'kan?" 

Aku mengangguk mantap. Untuk selanjutnya Gute mulai mencium pipi lantas ke bibirku. Dan tangannya? 

Ini nilai kurang dari dia, penuh nafsu. Kunamai aja tangan gurita, suka menggerayang kemana-mana. 

**** 

Kesepian melandaku. Gute lebih suka main bilyard dengan gerombolannya daripada menemani aku mencari buku. Atau ketika ada kesempatan jalan berdua, Gute tak hentinya nyerocos soal pelek racing (betul ga tulisannya?) yang baru saja dibelinya. Mana aku paham? 

Dari situlah aku dekat dengan Probo. Lelaki dengan pembawaan sederhana yang telah mencuri hatiku. 

"Kumenyukaimu apa adanya, bukan karena ada apa-apanya di dirimu," gombalnya. 

Aku pikir-pikir kok seperti lirik lagu ya? Tapi aku suka. 

Probo yang baik, lembut dan penuh perhatian. Meskipun muka jauh dari sempurna tapi Probo memperlakukanku bak putri istana. 

"Aku memang orang tak berpunya, hanya ada sekeping hati ini yang bisa kuberi untuk menyayangimu." 

Oke dech, Probo membuatku melayang. Walaupun terkadang risih juga saat tanpa tedeng aling-aling dia bilang ga punya uang untuk ngajak aku jalan. 

"Dea ini masakan dari ibuku, enak loh. Kamu harus mencobanya." 

Itu cuma akal-akalan nya dia aja biar ga keluar uang untuk makan berdua. 

Muka pas, kantong jupa naas. 

**** 

"Mau sampai kapan kau kucing-kucingan seperti ini terus? Ingat, Dea. Karma." 

Sengaja Flo mempertegas nama bicaranya. Aku jadi berfikir, kalau mereka tahu satu sama lain apa yang terjadi ya? 

"Bingung, Flo. Dua-duanya kusuka." 

Ya, segala kebutuhan lahirku terjamin jika milih Gute. Tapi Probo pun melimpahiku dengan cinta. 

"Arrgghhh, pusing!" 

"Hidup itu pilihan dan ada resiko di setiap jalan yang kita ambil. Mau tak mau kita harus siap menghadapinya," Flo mulai berceramah. 

Laki-laki saja boleh punya istri lebih dari 1, kenapa tidak dengan wanita? 

"Memang wanita berhak memilih, tapi bukan dengan cara begini, Dea. Ga ada sejarahnya wanita berpoliandri." Flo selalu bisa tepat membaca pikiranku. 

"Tapi aku kan cuma..." 

Flo mengamati mukaku menungguku melanjutkan bicaraku. 

"Huft, oke. Aku akan memilih dan tolong beri aku waktu," kataku pada akhirnya. 

Flo menggedikkan bahu, "Sip, semoga kau tak salah pilih. 

**** 

Aku memilih taman kota untuk pertemuan ini. Setelah kupikir berhari-hari, sampai kubuat kerangka baik dan buruk dari masing-masing cowoku, aku sudah menemukan jawabannya. 

"Ya, aku harus berani mengambil resiko, aku tak boleh serakah. Toh di dunia ini tak ada yang sempurna. Kesempurnaan hanya milik Tuhan." 

Tak berapa lama, honda jazz milik Gute terlihat. Wajah cakep pemiliknya langsung sumringah tatkala melihatku. 

"Biasanya kau minta jemput, Dear. Kenapa hari ini lain?" ucapnya ketika sudah dekat seraya bersiap mengecup keningku. 

Aku berdiri untuk menghindarinya, "Ada sesuatu yang penting yang akan kukatakan, ini menyangkut hubungan kita." 

Wajah Gute tampak serius. Oh, God! Dia memang makhlukMu yang indah. 

"Aku ingin mengakhiri saja hubungan kita," kataku sejurus kemudian 

Gute tercengang, "Apa alasannya, Dea? Apa hadiah-hadiah dariku selama ini kurang?" 

Itulah pikiran Gute. Dia pikir cinta cukup dinilai dari harta. Bukan itu yang kubutuhkan. Aku beralasan saja kalau aku ingin sendiri meski Gute terus menerus membujukku untuk berpikir ulang. Dia menawariku beraneka macam hadiah asal aku tetap mau jadi kekasihnya. Dari jam tangan merk terkenal yang sedang kuincar sampai liburan ke luar negri yang kuimpikan. 

"Tidak, Gute. Bukan itu masalahnya. Cinta tak cukup diukur dari kemewahan, karena cinta itu sederihana." 

Dan selanjutmya dia pulang dengan raut muka kecewa bercampur marah. 

"Maafkan aku Gute," kataku pada punggungnya yang telah berlalu 

Lantas aku mengambil ponselku dan segera mengetik pesan untuk Probo. 

"Hai, honey. Maaf jika sms ini nantinya membuatmu sakit, tapi aku ingin mmgakhiri hubungan kita. Kau orang baik dan pasti akan dapat pasangan orang baik pula. Dan itu bukan aku. Maaf jika selama kita bersama aku sering buatmu marah, dan jangan balas sms ini lagi. Oke honey? Semoga kau bahagia C U and GBU." 

Sent. 

Kupenuhi ronga dadaku dengan oksigen sebanyak-banyaknya lalu kuhempaskan perlahan. 

"Selesai sudah tugasku." 

Dan akupun tersenyum meninggalkan taman dengan langkah ringan. 

TAMAT 
Taiwan, 130512. 
Jeet Veno_Mena Ayu. 

Kau Tipu Aku dengan Cintamu






Sampai detik inipun aku masih teringat akan kenangan kita. Dari sekian banyak cinta yang datang dan pergi di hidupku, hanya saat bersamamu lah yang kurasakan begitu indah. Engkau dan semua tentangmu telah merasuk ke dalam setiap helaan nafas, mengalir bersama (darah) yang beredar di tubuhku. 

"Lebay," teriak Mbem teman baikku. Dilemparkannya bantal ke mukaku yang sembab di depan cermin. 

"Kamu itu orang terbodoh yang aku kenal. Ayolah Lian, move on right now. Keadaanmu bahkan lebih mengerikan dari pemakaman yang masih basah." 

Mbem, begitu aku memanggilnya. Sudah seperti saudara bagiku. Dia paling tahu semua kisah cintaku, sehingga dia juga tahu hari ini aku menangis untuk siapa. 

"Mungkin ini karma bagiku, Mbem." kataku diselingi isak. 

Azam, orang yang kumaksud. Teman bermainku di whatsapp. Sebuah aplikasi chating untuk handphone. Dari sanalah aku mengenal sosoknya. Orangnya baik, sopan, lugu dan sedikit lucu. 

"Itulah pelajaran hidup namanya. Dan tentunya mahal. Tapi bukan berarti membuatmu terus terpuruk. Kau harus bisa menghadapinya, Lian." Mbem masih saja berceramah. 

Aku nangis lagi. 

"Aku tak menyangka dia tega menipuku, Mbem. Dia terlihat seperti orang baik-baik." 

"Tapi nyatanya?" teriak Mbem. Di nada suaranya tersirat marah yang membuncah. 

"Dunia maya itu kejam!" lanjut Mbem lagi. 

Aku terdiam namun air mata masih menganak sungai di pipiku. 

**** 

Awal mula perkenalanku dengan Azam adalah di dunia maya. Begitu indah terasa. Tiap detik, menit dan waktu berlalu, Azam dan aku selalu berchating ria. Whatsapp sudah serasa makanan wajib bagiku. Begitu membuka mata, maka Whatsapp yang pertama aku cek di handphoneku. 

"Hati-hati terhadap orang baru, Lian. Apalagi kenalnya lewat dunia maya. Banyak orang yang telah menjadi korban cinta dunia maya." 

Peringatan dari Mbem kuanggap angin lalu. 

"Itu kan di facebook, Mbem. Kalau whatsapp kan berbeda," kilahku. 

"Tetap saja kau harus hati-hati. Penipuan bisa terjadi di mana saja." 

Aku tertawa. 

"Hellow, aku tak sedang serius, Mbem. Kamu tenang saja. aku tak mungkin jatuh cinta dengan Azam. Ini semua cuma buat hiburan." 

Mbem menggedikkan bahu. 

Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala waktu itu. Lagian siapa yang mau seriusan dengan Azam? Aku tidak gila, batinku. 

Tapi setelah sekian lama berlalu, sepertinya aku salah. Kuakui kebenaran pepatah jawa tresno jalaran soko kulino yaitu cinta tumbuh karena keterbiasaan. Dan akhirnya aku jatuh cinta padanya. Pada Azam, orang yang wujud nyatanya saja belum pernah kulihat. 

"Nah, apa kubilang? Kamu harus segera hentikan chating gilamu lewat whatsapp itu sebelum semuanya terlampau jauh." 

Lagi-lagi peringatan Mbem kuabaikan. Aku merasa sayang mengakhiri semuanya. Dan aku menikmatinya. 

**** 

Jatuh cinta itu indah terasa, hari-hari terasa penuh dengan bunga. Segala sesuatu pasti ada hubungannya dengan Azam, Azam dan selalu Azam. 

"Keberadaanmu di hidupku layaknya (udara) yang mengisi rongga dadaku. Dalam setiap nafas yang kuhela, bersama itu pula kusebut namamu." 

Aku mencoba berromantis ria. 

"Hhm, sahabatku sedang terasuk virus sepertinya." Mbem mulai menggodaku. 

Mukaku bersemu merah, dan aku tersipu. 

"Awas, jangan terbang melayang terlalu tinggi. Kalau jatuh akan sakit rasanya." 

Mbem sahabatku yang baik. Dia bisa berperan sebagai (ibu), kakak, teman bergila-gilaan, bahkan tak jarang jadi ustadzah dadakan bagiku. 

"Aku yakin dia imam yang kucari, Mbem. Mungkin dia bukan yang terindah, tapi kehadirannya membuat hidupku lebih indah." 

Mbem sahabatku melongo, aku terkikik geli melihatnya. 

"Kamu yakin?" matanya melotot tak percaya, kujawab dengan anggukan mantap. 

"Yah, apapun keputusanmu aku hanya mendukung saja. Semoga kau tak salah pilih. Tapi saranku, kalian ketemu dulu di dunia nyata." 

"Tenang saja, Mbem. Bulan depan kita akan kopdar." 

Mbem mengangguk-angguk paham. "Yup, good luck for you, Sobat." Menepuk pundakku dan berlalu. 

**** 

"Tak selamanya dunia maya itu menipu, Mbem. Aku sudah membuktikannya. Dia melamarku," ocehku histeris pada sahabatku. 

"Yah, kuakui aku salah kali ini." 

Kupeluk sahabat terbaikku itu untuk membagi rasa bahagiaku. Beberapa bulan ini hubunganku dengan Azam makin dekat bahkan sudah beranjak ke jenjang yang lebih serius. Ada orang bilang tentang jodoh di dunia maya itu seperti membeli kucing dalam karung. 

"Sepertinya aku beruntung mendapat kucing yang berbulu halus dan lagi tak berpenyakitan." 

Aku dan Mbem tersenyum bersama. 

"Aku turut bahagia untukmu," ucap Mbem. Aku terharu karenanya. 

"Oya, aku mau ke counter beli pulsa. Apa kau mau ikut?" tanyaku. 

"Boros amat. Kan baru kemarin beli pulsa." 

Cengiran mewakili jawabanku dan kukatakan pada Mbem bahwa Azam minta tolong dibelikan pulsa. 

"Tuh kan! Mulai deh," Mbem berucap khawatir. 

"Demi cinta apa salahnya, Mbem. Lagian cuma pulsa ini, tak apa lah." 

Sahabatku itu merengut tak suka. Mulai terlihat belangnya, komentar yang terucap. 

"Cinta kan butuh pengorbanan, Mbem. Ini mah belum seberapa kalau dibandingkan Romeo yang mau minum racun karena melihat Juliet pingsan." 

Mbem melirik sebal. Dia mulai nyerocos tak jelas tentang akal bulus, penipuan dan masih banyak lagi. 

"Sepertinya kamu terlalu paranoid dengan dunia maya." 

Hanya itu yang kuucapkan. 

**** 

Cinta memang buta, dan aku terbutakan oleh cinta. Mau apa sekarang? Teriak, menangis semua tak ada gunanya. 

Siang itu, 

"Lian, aku sedang kalut. Aku tak tahu mesti cerita sama siapa. Aku bingung," curhat Azam padaku. 

Demi melihat kekasihku kebingungan seperti itu maka aku pun menawarkan diri, "Cerita saja, aku siap menjadi telingamu, siapa tahu bisa membantu." 

Azam mengatakan hal yang mengejutkan. Dia baru saja tertipu modal usaha oleh temannya sendiri. 

"Kenapa bisa begitu?" teriakku tak terima. 

"Sudahlah, mau marah juga percuma. Dia tak mungkin kembali membawa uang yang kita pinjam di bank atas namaku. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana aku mengembalikan modal itu. Padahal jumlahnya tak sedikit." 

Seketika aku teringat Mbem. Dalam hatiku berpikir, apa Azam seperti yang Mbem bilang? Tapi ketika kutatap mata Azam, ada kesungguhan di sana. 

"Aku janji akan mengembalikannya padamu, Lian. Aku tak tahu kepada siapa lagi aku meminta tolong." 

Aku pun iba karenanya. Aku percaya Azam tak seperti yang lainnya. Maka kuserahkan seluruh tabunganku untuk melunasi hutangnya. 

Selanjutnya yang terjadi diluar dugaanku. Azam menghilang entah kemana. Hanya omelan tak berujung ketika kuceritakan apa yang telah kuperbuat demi menunjukkan bukti cintaku pada Azam. 

"Kamu gila!" 

Mbem tak henti-hentinya memaki dan aku hanya menangis. 

"Satu lagi jatuh korban penipuan dunia maya," kata Mbem lirih hampir tak terdengar. 

Tamat. 
Taiwan,160512

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites