Aku muak. Lagi-lagi melihat pertengkaran yang tak pernah berhenti. Mempertahankan ego yang sama tinggi. Tak memperdulikan lagi tentang kata cinta yang pernah terucap di suatu masa.
"Kamu picik. Hanya itu ukuran untuk sebuah pengorbanan? Tolong sedikitlah hargai prinsipku." Seorang wanita, lemah dan agak bodoh. Memohon belas kasihan. Mengemis cinta.
Bangsat. Apakah memang semua laki-laki jahat adanya? Mempermainkan hati wanita.
"Aku sudah berusaha mengerti semua sikapmu. Apa kau pikir aku tak tersakiti karenanya? Sedikit perhatianmu pun tak ada." Dia menangis. Meratapi kebodohannya.
Otak udang. Masih saja dia bertahan meski kenyataan telah tertipu.
Seorang lelaki kaku, terdiam bersama asap rokok yang mengepul. Mukanya sama seperti aroma cigaret. Menyesakkan dada.
"Aku kecewa padamu. Sungguh." Datar tanpa ekspresi.
Aku seribu kali lipat kecewa padamu. Lelaki tak berhati. Haruskah kutempeleng mukamu agar kau sadar? Bahwa kau pantas berada di tong sampah.
"Tolong, beri aku kesempatan sekali lagi. Aku akan berusaha merubah sikapku. Dewasa seperti yang kau mau." Muka wanita penuh iba dan bersimbah air mata.
Hahaha! Aku terbahak. Indra perabamu telah soak ternyata. Tak sadar jika kau telah tertipu?
"Aku tahu telah salah. Tak maukah kau memaafkanku?" lagi wanita mengiba.
Kau memang benar-benar harus dikasihani. Wajah lugumu itu. Bodoh. Apa akan tetap begitu tulus andai kau tahu lelakimu telah menginjak-injak harga dirimu?
"Tidak. Semoga kau mendapatkan orang yang lebih baik dariku." Bersama asap rokok yang mengepul tiada henti.
Isak tangis menganak sungai. Percuma. Andai yang mengalir darah pun tak akan merubah keadaan.
****
Di hari yang lain di tempat yang sama. Aku melihat pemandangan yang berbeda. Dua insan tengah dimabuk asmara. Saling cumbu, saling rayu, saling goda.
"Ih Mas tega deh."
"Hahaha. Aku bilang saja, semoga kau menemukan seseorang yang lebih baik dariku."
"Hihihi. Lantas?"
"Yah, seperti biasa. Dia menangis, meratap-ratap, memohon. Apa tak ada kesempatan untukku?"
"Kasihan. Tapi aku takut."
"Takut apa?"
"Andai suatu saat mas bosan padaku, tak menutup kemungkinan Mas juga akan melakukan hal yang sama padaku."
"Tak akan pernah kulakukan itu. Buktinya aku lebih memilihmu daripada dia. Itu karena hatiku yang berbicara."
"Ah, Gombal."
"Tapi kamu suka 'kan?"
Langit temaram bintang meredup. Bulan memilih bersembunyi tak mau menjadi saksi. Ketika setan berhasil membujuk dua bibir untuk saling bertaut.
****
Dari kejauhan kulihat sosok mendekat. Siuletnya berjalan gontai tanpa semangat. Pelan tak bertenaga.
Aku mengenali wajah itu. Masih sama seperti waktu lalu, penuh iba dan agak bodoh. Rambutnya acak-acakkan. Matanya sembab, bibirnya pucat. Selangkah demi selangkah dia datang.
Diam. Tak bersuara. Tak ada isak pula maki. Hanya gerakan tangan lemah menoreh pada selembar kain putih. Tetap hening tercipta.
Apa memang begitu jika orang patah hati? Wujudnya menakutkan mirip setan. Dan selanjutnya dia merebahkan badannya. Tidur.
Sehari.
Dua hari.
Tiga hari.
Ramai orang berdatangan. Berbisik-bisik, menunjuk-nunjuk pada wanita yang sedang terbuai mimpi. Tidur.
Ekspresi mereka tak terkatakan. Aku bingung. Ini semua apa? Hingga keingin tahuanku terjawab tatkala seorang laki-laki berlari mendekat.
Ketika mendapati wanita itu tidur dalam tenang dia berteriak histeris.
"Ca, maafkan aku. Kuberi kau kesempatan sekali lagi, tapi kuharap kau bangun. Ca, jangan tinggalkan aku kumohon. Ca, bangunlah, bukalah matamu. Ca."
Orang di sekeliling semakin riuh berdengung. Miris. Prihatin. Bisik-bisiknya menyarankan agar membawa pergi saja wanita itu.
Begitu cepat semua berlalu meninggalkan aku. Bersama dengan selembar kain putih yang tak terjamah.
"Mas, aku tahu semuanya. Sahabatku itu yang menyediakan hatinya untuk kau tempati. Sakit memang, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Demi sahabatku aku rela. Semoga kalian bahagia. Mas, mungkin kita tak berjodoh di dunia ini, tapi aku berharap kita berjodoh di dunia yang lain. Yang kekal dan abadi. Mas aku pergi dulu. Kutunggu di kehidupan yang hakiki. With Love, Ca."
TAMAT.
Taiwan, 26.05.12
"Kamu picik. Hanya itu ukuran untuk sebuah pengorbanan? Tolong sedikitlah hargai prinsipku." Seorang wanita, lemah dan agak bodoh. Memohon belas kasihan. Mengemis cinta.
Bangsat. Apakah memang semua laki-laki jahat adanya? Mempermainkan hati wanita.
"Aku sudah berusaha mengerti semua sikapmu. Apa kau pikir aku tak tersakiti karenanya? Sedikit perhatianmu pun tak ada." Dia menangis. Meratapi kebodohannya.
Otak udang. Masih saja dia bertahan meski kenyataan telah tertipu.
Seorang lelaki kaku, terdiam bersama asap rokok yang mengepul. Mukanya sama seperti aroma cigaret. Menyesakkan dada.
"Aku kecewa padamu. Sungguh." Datar tanpa ekspresi.
Aku seribu kali lipat kecewa padamu. Lelaki tak berhati. Haruskah kutempeleng mukamu agar kau sadar? Bahwa kau pantas berada di tong sampah.
"Tolong, beri aku kesempatan sekali lagi. Aku akan berusaha merubah sikapku. Dewasa seperti yang kau mau." Muka wanita penuh iba dan bersimbah air mata.
Hahaha! Aku terbahak. Indra perabamu telah soak ternyata. Tak sadar jika kau telah tertipu?
"Aku tahu telah salah. Tak maukah kau memaafkanku?" lagi wanita mengiba.
Kau memang benar-benar harus dikasihani. Wajah lugumu itu. Bodoh. Apa akan tetap begitu tulus andai kau tahu lelakimu telah menginjak-injak harga dirimu?
"Tidak. Semoga kau mendapatkan orang yang lebih baik dariku." Bersama asap rokok yang mengepul tiada henti.
Isak tangis menganak sungai. Percuma. Andai yang mengalir darah pun tak akan merubah keadaan.
****
Di hari yang lain di tempat yang sama. Aku melihat pemandangan yang berbeda. Dua insan tengah dimabuk asmara. Saling cumbu, saling rayu, saling goda.
"Ih Mas tega deh."
"Hahaha. Aku bilang saja, semoga kau menemukan seseorang yang lebih baik dariku."
"Hihihi. Lantas?"
"Yah, seperti biasa. Dia menangis, meratap-ratap, memohon. Apa tak ada kesempatan untukku?"
"Kasihan. Tapi aku takut."
"Takut apa?"
"Andai suatu saat mas bosan padaku, tak menutup kemungkinan Mas juga akan melakukan hal yang sama padaku."
"Tak akan pernah kulakukan itu. Buktinya aku lebih memilihmu daripada dia. Itu karena hatiku yang berbicara."
"Ah, Gombal."
"Tapi kamu suka 'kan?"
Langit temaram bintang meredup. Bulan memilih bersembunyi tak mau menjadi saksi. Ketika setan berhasil membujuk dua bibir untuk saling bertaut.
****
Dari kejauhan kulihat sosok mendekat. Siuletnya berjalan gontai tanpa semangat. Pelan tak bertenaga.
Aku mengenali wajah itu. Masih sama seperti waktu lalu, penuh iba dan agak bodoh. Rambutnya acak-acakkan. Matanya sembab, bibirnya pucat. Selangkah demi selangkah dia datang.
Diam. Tak bersuara. Tak ada isak pula maki. Hanya gerakan tangan lemah menoreh pada selembar kain putih. Tetap hening tercipta.
Apa memang begitu jika orang patah hati? Wujudnya menakutkan mirip setan. Dan selanjutnya dia merebahkan badannya. Tidur.
Sehari.
Dua hari.
Tiga hari.
Ramai orang berdatangan. Berbisik-bisik, menunjuk-nunjuk pada wanita yang sedang terbuai mimpi. Tidur.
Ekspresi mereka tak terkatakan. Aku bingung. Ini semua apa? Hingga keingin tahuanku terjawab tatkala seorang laki-laki berlari mendekat.
Ketika mendapati wanita itu tidur dalam tenang dia berteriak histeris.
"Ca, maafkan aku. Kuberi kau kesempatan sekali lagi, tapi kuharap kau bangun. Ca, jangan tinggalkan aku kumohon. Ca, bangunlah, bukalah matamu. Ca."
Orang di sekeliling semakin riuh berdengung. Miris. Prihatin. Bisik-bisiknya menyarankan agar membawa pergi saja wanita itu.
Begitu cepat semua berlalu meninggalkan aku. Bersama dengan selembar kain putih yang tak terjamah.
"Mas, aku tahu semuanya. Sahabatku itu yang menyediakan hatinya untuk kau tempati. Sakit memang, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Demi sahabatku aku rela. Semoga kalian bahagia. Mas, mungkin kita tak berjodoh di dunia ini, tapi aku berharap kita berjodoh di dunia yang lain. Yang kekal dan abadi. Mas aku pergi dulu. Kutunggu di kehidupan yang hakiki. With Love, Ca."
TAMAT.
Taiwan, 26.05.12