Diberdayakan oleh Blogger.

Jumat, 13 Juli 2012

Cerita Mini Juli



MALAM MINGGU KELABU.
By. Rahayoe Wulansari.


Mia panik ketika melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 6.30 malam.

"Omaigaat! Aku bisa terlambat, nich!" pekiknya.

Mia bingung. Mia kebakaran jenggot.

"Sebentar lagi Rizky akan menjemputku dan aku belum berdandan sedikitpun?"

Mia bergegas beranjak dari ranjangnya. Segera ke kamar mandi dan membersihkan badan seperlunya.

"Aku tak mungkin tampil berantakan di depan Rizky," Mia kembali panik. Dengan ekstra cepat dia sapukan bedak dan sekawanannya ke mukanya yang sembab.

Mia bergegas keluar kamar karena melihat jam sudah menunjukkan tepat pukul tujuh. Diluar kamarnya keluarga Mia sedang berkumpul bersama beberapa orang tetangga.

"Mia kau mau kemana, Nak?" tanya Ibu Mia lembut.

"Ini kan malam minggu, Bu. Sebentar lagi Rizky pasti menjemputku. Kita sudah janjian makan di luar."

Seketika itu juga air mata luruh terjatuh di pipi Ibu Mia. Kesedihan juga terpancar dari wajah semua orang yang menyaksikannya.

"Sadarlah, Nak. Ikhlaskan Rizky pergi," tutur Ibu Mia sambil membimbing Mia masuk kamar.

Dan semua orang pun berduka. Dan semua orang pun berdo'a. Memberi kekuatan pada Mia yang depresi akibat ditinggal Rizky tepat 100 hari yang lalu.


Taiwan, 01.07.12


****


ANAK KITA.
By. Rahayoe Wulansari.


"Ssstt! Jangan berisik! Anakku sedang tidur!" bentak seorang wanita.

Lusuh mukanya.

"Berikan anak itu padaku, Mirna." seorang lelaki membujuk. Sama lusuhnya dengan sang wanita.

"Ssstt! Jangan berisik! Aku sedang ingin menggendongnya." lagi wanita berucap kini dengan senyum menghiasi wajahnya.

"Lihat, Arman. Mukanya sangat mirip denganmu," lanjutnya dengan berbisik.

Dengan mengendap-endap dua orang berjalan di belakang sang wanita. Dan dengan sigap menyergap sang wanita.

Lelaki mengetahui peluang itu dengan segera merebut bayi di gendongan Mirna.

Ia meronta. Ia berontak.

"Tidak! Kembalikan anakku. Dia sedang tidur jangan diganggu!"

Sang lelaki memberikan bayi itu kepada yang lain.

"Sadar, Mirna. Anak kita harus segera dikuburkan."


Taiwan, 02.07.12


****


PENA BERBICARA.
By. Rahayoe Wulansari.


BRAAAKK!

Ayah mendobrak meja dengan kerasnya. Tania kaget. Spontan buku yang sedang dibacanya terlepas dari tangan dan dengan sigap dia mengelus dadanya. Jantungnya berasa mau loncat.

"Tak bisakah kau hentikan kegiatan leha-leha mu itu? Kau terlihat seperti pemalas, Tania!" bentak Ayahnya.

Tania diam. Tania ingin menjawab, namun lidahnya kaku tak bergerak.

"Pergilah ke kebun, atau mencangkullah di sawah! Itu lebih berarti ketimbang kau bergumul dengan buku dan pensilmu setiap hari!" Lagi suara sengit Ayah dengarkan di telinga Tania.

"Eh, ah, eh." Tania mencoba menerangkan. Dibantu tangannya memberi isyarat.

"Apa? Kau mau bilang apa? Tak usah membela diri. Sekuat apapun kau berusaha mencapai impianmu, wanita sepertimu itu akan kembali ke dapur. Jadi jangan terlalu muluk dalam bermimpi, cukup bisa baca tulis saja sudah beruntung." Ayah kembali dengan pikiran kolotnya. Dan Tania geram.

Tiba-tiba saja ia berdiri. Menyobek kertas dengan kasar dan cepat-cepat dia menulis. Tangan mungilnya menari lincah berdansa dengan sang pena. Beberapa detik kemudian diserahkannya kertas itu kepada Ayah.

Lelaki kurus itu membaca dengan terbata-bata.

"Jangan halangi saya menulis, Yah. Karena dengan menulis, saya bisa menjadi berarti. Memang saya gadis cacat, tapi saya berani bermimpi. Tolong hargai cita-cita saya, Yah. Kau tahu? Gadis tuna wicara seperti saya hanya bisa bicara melalui pena."

Taiwan, 03.07.12


****


BISIK RINDU.
By. Rahayoe Wulansari.


Senyumnya masih sama, manis seperti biasa. Matanya juga, coklat dengan pandangan tajam seperti dulu. Suara baritonnya masih tegas mengetarkan kalbu.

"Apa kabar?" tanyanya padaku.

Kujawab dengan sangat hati-hati agar tak terlihat ada getar rindu yang tak tertahankan dari suaraku.

"Kamu tambah cantik saja." Entah dia memuji atau hanya basa basi. Yang jelas hatiku berbunga-bunga karenanya.

Aku sadar, perlakuan lembutnya itu yang membuatku jatuh cinta.

"Ibu sehat saja, 'kan?"

Aku mengangguk halus. Cepat-cepat kualihkan suasana. Aku tak ingin akhirnya dia tahu perasaanku.

"Mbak Dini di mana, Mas?" tanyaku kemudian.

Dia tersenyum seraya menunjuk dapur tempat keberadaan Kakak perempuanku. Dan aku segera pamit menemui Mbak Dini, sebelum aku pingsan karena terlalu terpesona padanya. Kakak iparku.

"Maaf, Mas. Cinta ini masih bersarang indah di hatiku. Meski kau tak pernah datang lagi ke kamarku seperti waktu kita masih tinggal satu atap. Aku merindukan malam-malah penuh desah itu." Batinku berbisik rindu.


Taiwan, 04.07.12


****


SURAT DARI TAIWAN.
By. Rahayoe Wulansari.

"Sebentar lagi anakku pulang," Mak Marni lagi-lagi berucap dengan riang.

Memberitakan pada setiap orang yang ditemuinya di manapun dia berada.

"Nanti kalau dia pulang, aku mau mengadakan selamatan." Kali ini ada nada pamer di ucapannya.

Hampir tiap orang tahu. Hampir semua orang mengerti. Akan ulah Mak Marni yang terlalu membangga-banggakan anaknya.

"Dia pasti bawa oleh-oleh buat kalian semua. Anakku bilang akan membawa banyak barang dari Taiwan."

Namun semua orang diam tak menanggapi. Mungkin jengah atau pula miris melihat ulah Mak Marni.

"Lihat, nih. Surat dia dari Taiwan. Dia bilang sebulan lagi akan pulang." Dan Mak Marni pun tertawa terbahak-bahak. Suaranya keras membahana.

Setiap orang telah paham. Hampir semua orang telah membaca surat anak Mak Marni. Yang di dalamnya bertuliskan, "Anak Ibu mengalami kecelakaan kerja di Taiwan dan meninggal dunia. Jenazahnya akan segera kami pulangkan ke Indonesia."


Taiwan, 05.07.12


****



AGUSTUS, AKU BENCI.
By. Rahayoe Wulansari.


Badanku memang gemuk dengan lengan yang besar, paha yang tak kalah besar, pantat yang lebar dan perut yang buncit. Pipi tembem dan hampir semua bagian tembem.

Aku tak suka bentuk tubuhku, bahkan aku benci. Sebenci aku pada bulan yang akan datang. Agustus.

"Besok ada lomba tarik tambang, kamu ikut ya, Mbem." Rani bicara padaku lengkap dengan panggilan khasnya untukku.

"Atau kau mau ikut lomba makan kerupuk?"

Aku menggeleng tegas. Rani sejenak memandangku dari atas ke bawah dengan seksama.

"Kalau kamu ikut balap karung aku yakin pasti kalah. Badan kamu terlalu..." Rani tak melanjutkan kata-katanya.

Aku tahu kelanjutannya. Aku sudah bisa menebaknya. Tapi aku tak perduli.

"Pokoknya aku nggak mau ikut lomba apapun. Aku benci bulan Agustus." Aku pun berlari.

Terus berlari tak berhenti. Seperti air mata ini yang terus mengalir. Aku benci bulan Agustus dan semua lomba-lombanya. Karena ketika semua orang sibuk mempersiapkan peringatan kemerdekaan itu maka aku sangat bersedih. Tepat ketika semua orang rumah menonton lomba, aku yang sedang demam di rumah bertambah menggigil karena digagahi oleh ayahku sendiri. Ayah tiriku.


Taiwan, 06.07.12


****


HANDUK KERAMAT
By. Rahayoe Wulansari.


Anita selalu marah jika handuk hijau garis-garis putih itu kupakai. Apalagi jika handuk itu sampai basah. Dan aku heran karenanya.

"Gunanya handuk itu untuk mengelap badan, ya pasti basah lah," kilahku. Di suatu pagi yang sejuk di hari Minggu.

Anita cemberut. Dengan sigap dia memasukkan handuk kesayangannya ke dalam mesin cuci. Dan 'klik' handuk hijau itu berputar-putar bersama air dan detergen.

"Memangnya ada cerita sejarah apa to dari handuk itu?" tanyaku.
"Sepertinya keramat sekali," lanjutku menggoda.

Anita terdiam lalu menangis.

"Loh, apa aku salah ucap?" Aku kebingungan sendiri. Mungkin kata-kataku menyinggung perasaan Anita.

Kuraih gadis itu kepelukanku, "Maafkan aku, An. Aku janji nggak akan pakai handuk itu lagi."

"Bukannya keramat, tapi itu handuk khusus untuk Acay."

Kini gantian aku yang cemberut, karena kutahu Acay adalah anjing yang baru dipungut Anita di pinggir kali sebulan yang lalu.


Taiwan, 07.07.12


****


HUSH PERGILAH KAU!
By. Rahayoe Wulansari.


Kau datang lagi. Mengusik ketenanganku. Mengganggu kenyamananku.

Padahal sudah berulangkali kuingatkan kau, jangan kembali padaku.

"Atau jangan pernah datang lagi di hidupku selamanya!" teriakku terakhir kali kita bersama.

Namun sepertinya kau sudah bebal akan hardikkanku setiap kau kembali.

"Tak punya malu kau!" lagi dengan kasar aku mengumpat di depan matamu. Namun kau hanya diam.

Seperti biasa kau hanya menatap tak peduli padaku. Yang lain dari kali ini adalah kau mengotori daerah kekuasaanku.

CROOT.

Dan kau meninggalkan kotoranmu kali ini.

"Ayam sialaaann!"


Taiwan, 08.07.12


****


SENYUM PUCAT KAMBOJA.
By. Rahayoe Wulansari.


Apa yang kau katakan itu sungguh-sungguh? Apa benar kau ingin tahu kabarku? Aku tak yakin.

"Aku baik-baik saja," dustaku.

Ya, aku harus begitu. Aku harus berdusta padamu agar kau tak merasa bersalah.

"Kapan kau akan menikah?" Satu pertanyaanmu yang tak bisa kujawab.

Bukan lantaran tak ada lelaki yang melamarku, namun entahlah, aku masih mengharap waktu bisa diputar kembali.

"Secepatnya." Lagi-lagi aku berbohong padamu. Dan sepertinya kau tahu aku tak jujur. Ketika tak sengaja kupergoki matamu yang tajam menatap cincin di jari manisku.

"Dia pasti lelaki beruntung. Dia pasti bisa membahagiakanmu." Ucapanmu membuat mataku meremang seketika.
"Pergilah..."

Aku menggeleng. Batinku berteriak, bolehkah aku memelukmu? Untuk yang terakhir kalinya. Kumohon.

Namun kau memalingkan wajahmu, "Dia telah datang. Dia telah menjemputmu."

Seketika aku sadar, calon suamiku sudah menunggu. Lantas aku pun cepat-cepat berlalu darimu.

"Sudah ziarahnya, Honey?" sambut Alfarizy tunanganku sesaat setelah aku dekat dengan dia berdiri.

Anggukan kecil mewakili. Dan kamboja pun menjadi saksi, senyum pucatnya mengiringi langkahku.


Taiwan, 09.07.12


****


SUARA HATI
By. Rahayoe Wulansari.


Aku sedang ingin menulis. Apa saja yang ada di otakku. Yang sudah pasti aku sedang rindu. Kau yang ada di belahan dunia lain.

"Aku rindu," selalu kuteriakkan itu.

Apa kau ingat padaku? Apa kau memikirkanku? Apa kau peduli padaku? Kalau iya, kenapa kau diam saja?

"Apa kabar?" mungkin itu yang pertama kali kutanyakan padamu. Sehatkah kau di sana?

"Cantik. Kau pasti bertambah cantik. Aku yakin itu." Dan begitu saja air mata ini luruh. Runtuh bersama rindu yang semakin mengembang. Membasahi foto buram dirimu di pangkuanku. Satu-satu.

Tetes air mata itu membentuk banyak bulatan tanya, mengapa kau tega melakukan ini padaku?

"Ibu, kapan kau pulang?"

Lalu Ayah masuk kamarku. Beliau bilang, "Sudahlah, Nak. Pasrahkan saja sama Tuhan. Semoga Ibumu cepat mendapat bantuan. Aku yakin Ibumu tidak salah, aku jamin itu. Dia hanya membela diri, saat majikannya ingin menggagahi."


Taiwan, 10.07.12.


****


KECEWA
By. Rahayoe Wulansari.


Menunggu itu membosankan. Sangat membosankan. Waktu serasa berjalan sangat lambat. Aku bahkan bisa menghitung detik per detik yang ada.

"Huff, kenapa belum datang juga?" ucapku resah. Pintu dan jendela menjadi pemandangan favoritku.

"Padahal sudah lewat dari jam nya," gusarku.

Ah, aku jadi semakin resah. Marah. Mulutku cemberut, dadaku berkerut.

"Kalau satu jam lagi tak datang, maka aku akan...."

Kring kring kring.

Dan kudengar suara itu. Maka tanpa ba bi bu lagi kuberlari menyongsongnya.

"Bang, es tong-tong nya satu. Yang rasa coklat," sebutku tanpa basa-basi.

"Maaf, Neng. Saya bukan tukang es. Ini ada paket atas nama Bapak Soekadjar, apa betul ini rumahnya?"

Dalam hatiku menggerutu, yah.. kukira tukang es langganan.


Taiwan, 11.07.12


****


MENYESAL.
By. Rahayoe Wulansari.


"Dah tobat nih, Girl?" Rara menatapku aneh. Dengan gamis yang kupakai, jilbab panjang menutupi dada. Hanya cadar saja yang belum.

"Kesambet setan apa kamu, Girl?" Rara masih saja menggoda. Aku diam.

"Atau karna ketemu ustadz yang ganteng dan gaul kamu jadi ingin memakai jilbab?" Aku tersenyum simpul.

"Ini sudah menjadi kewajiban muslimah untuk menutup aurat, Ra." Aku menjawab dengan bijaksana.

Cukup itu saja yang aku jadikan alasan. Biarkan Rara hanya tahu kalau aku sadar karena mendapat hidayah. Memang kenyataannya aku merasa aman dan terlindungi ketika seluruh tubuhku tertutupi. Aku tentram karenanya. Cukup sampai disitu saja Rara mengerti, tak perlu yang lain lagi.

"Kenapa kau melakukan ini, Om? Bukankah aku anak dari kakakmu?" Tiba-tiba kejadian malam itu kembali teringat. Memaksa untuk keluar merajam penyesalan ke tubuhku.

"Bagaimana aku tak tergoda? Jika setiap kali kau berpakaian sexy di hadapanku? Aku laki-laki normal."

Air mata begitu saja luruh, membasahi lekuk pipiku. Dan aku menyesal.

Taiwan, 12.07.12





MAS PRIYO.
By. Rahayoe Wulansari


Semua orang marah, semua keluargaku menyalahkanku. Semua orang mengatakan aku bodoh, tatkala aku memgambil keputusan ini.

"Kurang apa Priyo di matamu, Ning?" desis Ibuku. Jelas saja beliau tak terima aku minta cerai pada Mas Priyo suamiku. Dalam silsilah keluargaku, tak ada yang bercerai barang satupun.

"Apa Ayah kurang dalam mendidikmu, Ning? Sehingga kau punya pemikiran yang kurang waras seperti ini?" Amarah kali ini terucap dari bibir Ayahku yang pendiam.

Semua orang tahu Mas Priyo orang yang baik, pekerja keras. Hampir semua orang mengakui Mas Priyo orangnya cakep, gagah, tapi tak pernah mau main perempuan.

Bahkan aku pun mengakui kalau Mas Priyo memang tampan, salah satu alasan mengapa aku mau saja menerima lamarannya tiga tahun yang lalu. Meski aku belum pernah mengenal Mas Priyo sedikitpun.

"Jangan-jangan karena kau punya simpanan," Ibuku menuduhku. Aku menunduk. Diam.

Mas Priyo orangnya baik, terlalu baik malah. Sudah barang tentu semua orang suka padanya. Simpatik. Saat aku tiba-tiba meminta cerai, hampir semua keluargaku menganggap aku gila. Tak waras.

Lantas meskipun Ayahku telah memberi ultimatum, andai aku tetap pada pendirianku, maka beliau tak menganggap aku anaknya lagi.

Namun aku tetap bergeming. Aku tetap melayangkan gugatan ceraiku ke pengadilan. Aku tak tahan. Aku bukan wanita tegar seperti pahlawan. Aku manusia biasa yang membutuhkan kasih sayang.

"Ayah, Ibu, maafkan Nuning. Terpaksa Nuning tetap mau bercerai."

Ayah terdiam, Ibu geram. Aku tetap pada bisiku. Biarlah mereka menilai aku yang keterlaluan, atau apapun pikiran mereka terhadapku.

Mereka tak perlu tahu aku masih perawan meski sudah tiga tahun menikah. Karena di malam pengantiku Mas Priyo berucap jujur, "Maafkan aku Dik Nuning. Aku tak bisa menafkahi batinmu selayaknya suami istri, karena tujuanku menikahimu supaya aku bisa dekat dengan Mas Ardi, kakakmu. Terus terang aku mencintai kakakmu."

Tanpa kusadari tanganku mengepal erat menahan sakit yang tak terperi.


Taiwan, 13.07.12


****


TENANG.
By. Rahayoe Wulansari.


"Bagian tubuhmu mana yang nggak sakit, sih?" tanyaku geram. Nenek terdiam.

"Begini sakit, begitu sakit." Aku marah. Aku bosan.

Hampir setiap detik nenek yang kurawat mengeluh. Sepertinya setiap inci dari tubuhnya tak ada yang nyaman.

"Kau bisa diam tidak?" bentakku kali ini. Sudah cukup panas telingaku mendengar keluhannya. Dari ujung kaki sampai ujung rambut, apapun yang kusentuh pasti dia teriak nelangsa.

Namun hari ini lain. Namun hari ini nenek tak berteriak lagi, meski kupijit kakinya cukup keras, meski kuangkat tubuhnya dengan cepat. Dia tenang saja.

"Nah, begini lebih bagus." Aku berbisik lega.

Kutatap wajah nenek yang tenang dan aku tersenyum tertahan. Ingin memekik gembira tapi kutahan.

Nenek diam. Karena diam-diam obat tidur berdosis tinggi itu kumasukkan dalam sup makan siannya.


Taiwan, 14.07.12.


****


CEMBURUKU TAK KELIRU.
By. Rahayoe Wulansari.


"Kalau status dia bukan mantanmu, mungkin aku tak akan mempermasalahkannya!" Tenggorokanku serak. Aku berharap teriakanku ini mampu menyadarkanmu jika aku tak suka padanya.

Kau malah terbahak. Kau menganggap sikapku ini kekanak-kanakan. Tak dewasa.

"Cemburumu keliru. Aku dan dia hanya teman saja," elakmu.

Leherku kelu menahan amarah. Dadaku berdegup kencang tak beraturan. Aku kesusahan untuk mengutarakan. Aku tak mampu menyadarkanmu. Bukan hanya karena ingin cintaku diakui.

Hanya saja masih kuingat jelas kata-katanya, " Aku mau berteman dengannya itu bukan karena aku masih sayang, tapi dia kaya dan aku butuh uangnya."

Aku yakin cemburuku tak keliru.


Taiwan, 15.07.12


****


TERLANJUR JANJI
By. Rahayoe Wulansari.


Maaf, jika lebih dari teman yang kau mau aku tak bisa menurutinya.

"Apa kau tak tahu, perhatianku selama ini karena aku suka kamu?" Hanya diam jawabanku.

"Aku tunggu sampai senja, jika kau tak bicara juga maka kuanggap kau ingin aku pergi."

Perang batin terjadi di dadaku. Sungguh, betapa ingin aku teriak mengucapkan, "Ya, aku mau."

Lantas kita tertawa bersama, menyambut senja terindah kita.

Tidak seperti sekarang. Membisu tak bergeming melihat kau melangkah pergi setelah mentari ditelan cakrawala.

Aku tak akan begini, sebelum kudengar dari mulut Talita, "Aku suka padanya, Kak. Teman Kakak yang hampir setiap hari datang itu. Hatiku diam-diam telah tercuri sebelum benar-benar dicuri."

Aku akan dengan senang hati memelukmu, menyambut cintamu jika tak ingat janjiku pada ibu dulu, "Jaga Talita sebaik mungkin. Kasihan dia, orang tuanya tega membuangnya di tempat sampah. Tepat di depan rumah kita."

Dan aku terlanjur berjanji.


Taiwan, 16.07.12


****


AMARAH IBU
By. Rahayoe Wulansari

Terang saja ibu tak suka. Terang saja ibu marah. Sudah berkali-kali aku dinasehati, masih saja bengal.

"Apa susahnya memanggil dia Ayah? Toh selama ini dia yang mencari uang." Ibu geram. Ibu berteriak emosi.

"Kurang baik apa dia padamu, heh?" Aku membisu.

"Apa ini yang diajarkan Bapak kebanggaanmu itu? Untuk melawan orang tua?"

Rahangku mengeras, gigi gerahamku gemelutuk saling beradu. Tanganku mengepal di balik punggung.

"Kamu dan Bapakmu itu sama-sama bermuka tebal." Kututup telinga rapat-rapat.

Tidak. Aku benci Ayah. Aku tak suka padanya. Dia bukan Ayahku. Dia lelaki tak tau malu, karena tega meniduriku saat ibu pergi ke pasar waktu itu.

Taiwan, 17.07.12

SENJA UNTUK TASYA



Segelas juice menemani REVENGE termenung di sore ini. Mukanya layu, matanya sayu. Seperti menyimpan duka yang teramat dalam. Tak ada senyum sebaris pun yang terukir dari bibirnya.

"Kamu pasti terkena kutukan itu, Revenge." Kyuni mencoba memberitahu, namun Revenge tak perduli.
"Kubilang juga apa, jangan pergi ke daerah terlarang itu," lanjutnya.

Kyuni merasa prihatin melihat perubahan Revenge. Namun dia takut memberitahukan kepada Ayahnya, karena bisa saja Revenge dihukum jagal jika Ayahnya sampai tahu.

"Dimana aku harus mendapatkan jubah merah itu, Kyuni?" Revenge berbicara. Kyuni terkejut. Matanya terbelalak tak percaya.

"Kau benar-benar harus dipadusi," seru Kyuni hampir berteriak.
"Kau harus segera dimandikan di tujuh mata air suci. Setan neraka itu telah merasukimu."

Revenge menatap Kyuni tajam. Dari pancaran matanya menyiratkan keheranan yang mendalam.

"Apa salah jika aku menginginkan jubah merah?" Ada nada tak suka dalam pertanyaannya.
"Aku hanya ingin menjadi berguna," lanjut Revenge. Suaranya lirih seperti merintih.

Kyuni menggeleng tegas. Ia tahu, bangsa putih seperti dirinya dilarang keras menginginkan jubah merah. Itu adalah hal yang sangat dilarang.

"Sadar, Revenge. Kita itu terlahir sebagai bangsa putih. Bercerminlah!" Namun Revenge telah beranjak pergi. Meninggalkan Kyuni yang terheran dan semakin ketakutan.


*****


"Apa tak sebaiknya kau cari pengganti Revenge?" bujuk Dayut pagi itu.

Kyuni menghela nafas panjang. Hatinya terserang bimbang. Dia tak ingin kehilangan Revenge, namun juga takut harus ikut dijagal jika terus berdekatan dengan Revenge.

"Kamu harus segera mencari pengganti Revenge, Kyuni. Kalau kau ingin berumur panjang." Lagi Dayut membujuk. Dia tak ingin sahabatnya ikut terpuruk ke jalan yang sesat.

"Tidak!" Kyuni berteriak tegas.
"Aku akan menyadarkan Revenge, sebelum dia semakin terpengaruh setan neraka."

Dayut geleng-geleng kepala. Dia tak yakin Kyuni mampu melakukan itu. "Kau tahu, nyawamu taruhannya?"

Gelengan kepala Kyuni tetap tercipta. "Tidak, aku harus membantu Revenge. Jangan halangi aku!"

Kyuni berlari, terus berlari. Dia pergi ke tempat Dewi Kwan In untuk meminta obat penangkal kerasukan setan neraka.

"Tolong hamba, Dewi. Hamba rela mengorbankan diri hamba jikalau memang itu syarat yang harus hamba penuhi," pinta Kyuni.

Dewi Kwan In memandang penuh iba pada bangsa putih yang datang kepadanya. Dia tahu di dalam diri Kyuni ada power of LOVE yang sangat kuat.

"Datanglah padaku bersama kekasihmu itu, maka akan kuberikan obat yang kau mau." Dewi Kwan In berucap arif. Suaranya merdu membuat orang yang mendengarnya menjadi tenang seketika.

Lantas Kyuni pun pulang, tanpa was-was seperti waktu dia datang.


****


Senja telah tercipta. Di cakrawala menyemburat warna emas yang sangat indah. Revenge terpaku menatapnya, pesona Tuhan yang selalu membuatnya takjub.

"Aku ingin melihat senja, Ma. Seperti cerita dalam dongeng itu."

Ucapan gadis manis di negri terlarang itu masih selalu terngiang di benak Revenge.

"Aku akan selalu berdo'a pada Tuhan agar memberiku keajaiban, Ma." Dan Revenge pun menitikkan air mata. Seketika itu juga cinta tumbuh di hatinya. Cinta terlarang untuk gadis manis di negri terlarang.

"Tuhan pasti mendengar do'amu, Sayangku." Mama dari gadis itu berujar. Mata beningnya merebak membuat Revenge semakin trenyuh.

"Apapun akan kulakukan untuk menolong gadis itu, meski nyawaku harus kupersembahkan." Revenge berjanji pada dirinya sendiri.

Namun kyuni terus menentang. Dia ingin Revenge sembuh dari keinginannya memiliki jubah merah.

"Kita ke tempat Dewi Kwan In, Revenge. Kau akan disembuhkan oleh beliau." Kyuni membujuk.

Revenge berjalan menjauh, terus menjauh. Dia tak mempedulikan panggilan Kyuni.


****


Ravenge berdiri di ujung jembatan yang memisahkan antara daerah kekuasaan bangsa putih dan bangsa merah. Di sanalah nantinya jubah merah yang sangat diinginkan Revenge bisa didapatkan.

"Maafkan aku teman-teman, Kyuni dan semua FAMILY ku. Aku harus mengkhianati sumpah bangsa kita." Revenge bergumam sebelum kakinya berjalan perlahan. Setapak demi setapak menelusuri jembatan kepastian. Jika ia sampai di ujung sana, maka semua badannya akan berubah merah sewarna darah.

"Aku hanya ingin berarti. Dan ini bukti bahwa bangsa putih adalah pecinta sejati," lirihnya.

"Tidaaak! Revenge tunggu!" Kyuni berteriak. Dia terus memohon agar Revenge mau kembali. Namun panggilannya tak diindahkan sama sekali.

Revenge sudah jauh meniti jembatan kepastian. Semakin jauh melangkah sampai di ujung bangsa merah.

Kyuni menangis, Kyuni berduka. Dia tertunduk di tanah lemas tak berdaya. Dia merasa kehilangan Revenge tambatan hatinya. Hingga tak sengaja dia menemukan buku curhatan Revenge hadiah darinya dulu. Dibuka buku itu selembar demi selembar, hingga dia menemukan tulisan yang menarik perhatiannya.

Dear, Kyuni.
Aku tahu kau mencintaiku. Sejak dulu aku telah merasakannya, perhatianmu berbeda. Namun kau tahu bukan jikalau cinta itu tak bisa dipaksakan?

Dan kenyataannya memang begitu. Cinta memang aneh, seaneh diriku yang jatuh cinta pada bangsa yang salah. Kau tahu? Namanya Tasya, dia dari bangsa manusia. Dan dia sangat menyukai senja.

Mungkin kau ingin tahu mengapa aku memutuskan pergi ke bangsa merah untuk mendapatkan jubah merah? Ya, aku ingin jadi mereka. Aku ingin jadi wortel karena aku ingin berguna bagi Tasya.

Aku ingin mempersembahkan senja bagi Tasya yang tak bisa melihat. Dan itu akan berhasil jika Tasya mau makan wortel si bangsa merah, bukan lobak seperti kita si bangsa putih. Karena bangsa manusia bilang, andai rajin makan wortel maka mata mereka akan sehat.

Semoga kau mengerti.

Yang menyayangimu sebagai sahabat,
Revenge si Lobak Tampan.



Taiwan, 11.07.12.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites