MALAM MINGGU KELABU.
By. Rahayoe Wulansari.
Mia panik ketika melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 6.30 malam.
"Omaigaat! Aku bisa terlambat, nich!" pekiknya.
Mia bingung. Mia kebakaran jenggot.
"Sebentar lagi Rizky akan menjemputku dan aku belum berdandan sedikitpun?"
Mia bergegas beranjak dari ranjangnya. Segera ke kamar mandi dan membersihkan badan seperlunya.
"Aku tak mungkin tampil berantakan di depan Rizky," Mia kembali panik. Dengan ekstra cepat dia sapukan bedak dan sekawanannya ke mukanya yang sembab.
Mia bergegas keluar kamar karena melihat jam sudah menunjukkan tepat pukul tujuh. Diluar kamarnya keluarga Mia sedang berkumpul bersama beberapa orang tetangga.
"Mia kau mau kemana, Nak?" tanya Ibu Mia lembut.
"Ini kan malam minggu, Bu. Sebentar lagi Rizky pasti menjemputku. Kita sudah janjian makan di luar."
Seketika itu juga air mata luruh terjatuh di pipi Ibu Mia. Kesedihan juga terpancar dari wajah semua orang yang menyaksikannya.
"Sadarlah, Nak. Ikhlaskan Rizky pergi," tutur Ibu Mia sambil membimbing Mia masuk kamar.
Dan semua orang pun berduka. Dan semua orang pun berdo'a. Memberi kekuatan pada Mia yang depresi akibat ditinggal Rizky tepat 100 hari yang lalu.
Taiwan, 01.07.12
****
ANAK KITA.
By. Rahayoe Wulansari.
"Ssstt! Jangan berisik! Anakku sedang tidur!" bentak seorang wanita.
Lusuh mukanya.
"Berikan anak itu padaku, Mirna." seorang lelaki membujuk. Sama lusuhnya dengan sang wanita.
"Ssstt! Jangan berisik! Aku sedang ingin menggendongnya." lagi wanita berucap kini dengan senyum menghiasi wajahnya.
"Lihat, Arman. Mukanya sangat mirip denganmu," lanjutnya dengan berbisik.
Dengan mengendap-endap dua orang berjalan di belakang sang wanita. Dan dengan sigap menyergap sang wanita.
Lelaki mengetahui peluang itu dengan segera merebut bayi di gendongan Mirna.
Ia meronta. Ia berontak.
"Tidak! Kembalikan anakku. Dia sedang tidur jangan diganggu!"
Sang lelaki memberikan bayi itu kepada yang lain.
"Sadar, Mirna. Anak kita harus segera dikuburkan."
Taiwan, 02.07.12
****
PENA BERBICARA.
By. Rahayoe Wulansari.
BRAAAKK!
Ayah mendobrak meja dengan kerasnya. Tania kaget. Spontan buku yang sedang dibacanya terlepas dari tangan dan dengan sigap dia mengelus dadanya. Jantungnya berasa mau loncat.
"Tak bisakah kau hentikan kegiatan leha-leha mu itu? Kau terlihat seperti pemalas, Tania!" bentak Ayahnya.
Tania diam. Tania ingin menjawab, namun lidahnya kaku tak bergerak.
"Pergilah ke kebun, atau mencangkullah di sawah! Itu lebih berarti ketimbang kau bergumul dengan buku dan pensilmu setiap hari!" Lagi suara sengit Ayah dengarkan di telinga Tania.
"Eh, ah, eh." Tania mencoba menerangkan. Dibantu tangannya memberi isyarat.
"Apa? Kau mau bilang apa? Tak usah membela diri. Sekuat apapun kau berusaha mencapai impianmu, wanita sepertimu itu akan kembali ke dapur. Jadi jangan terlalu muluk dalam bermimpi, cukup bisa baca tulis saja sudah beruntung." Ayah kembali dengan pikiran kolotnya. Dan Tania geram.
Tiba-tiba saja ia berdiri. Menyobek kertas dengan kasar dan cepat-cepat dia menulis. Tangan mungilnya menari lincah berdansa dengan sang pena. Beberapa detik kemudian diserahkannya kertas itu kepada Ayah.
Lelaki kurus itu membaca dengan terbata-bata.
"Jangan halangi saya menulis, Yah. Karena dengan menulis, saya bisa menjadi berarti. Memang saya gadis cacat, tapi saya berani bermimpi. Tolong hargai cita-cita saya, Yah. Kau tahu? Gadis tuna wicara seperti saya hanya bisa bicara melalui pena."
Taiwan, 03.07.12
****
BISIK RINDU.
By. Rahayoe Wulansari.
Senyumnya masih sama, manis seperti biasa. Matanya juga, coklat dengan pandangan tajam seperti dulu. Suara baritonnya masih tegas mengetarkan kalbu.
"Apa kabar?" tanyanya padaku.
Kujawab dengan sangat hati-hati agar tak terlihat ada getar rindu yang tak tertahankan dari suaraku.
"Kamu tambah cantik saja." Entah dia memuji atau hanya basa basi. Yang jelas hatiku berbunga-bunga karenanya.
Aku sadar, perlakuan lembutnya itu yang membuatku jatuh cinta.
"Ibu sehat saja, 'kan?"
Aku mengangguk halus. Cepat-cepat kualihkan suasana. Aku tak ingin akhirnya dia tahu perasaanku.
"Mbak Dini di mana, Mas?" tanyaku kemudian.
Dia tersenyum seraya menunjuk dapur tempat keberadaan Kakak perempuanku. Dan aku segera pamit menemui Mbak Dini, sebelum aku pingsan karena terlalu terpesona padanya. Kakak iparku.
"Maaf, Mas. Cinta ini masih bersarang indah di hatiku. Meski kau tak pernah datang lagi ke kamarku seperti waktu kita masih tinggal satu atap. Aku merindukan malam-malah penuh desah itu." Batinku berbisik rindu.
Taiwan, 04.07.12
****
SURAT DARI TAIWAN.
By. Rahayoe Wulansari.
"Sebentar lagi anakku pulang," Mak Marni lagi-lagi berucap dengan riang.
Memberitakan pada setiap orang yang ditemuinya di manapun dia berada.
"Nanti kalau dia pulang, aku mau mengadakan selamatan." Kali ini ada nada pamer di ucapannya.
Hampir tiap orang tahu. Hampir semua orang mengerti. Akan ulah Mak Marni yang terlalu membangga-banggakan anaknya.
"Dia pasti bawa oleh-oleh buat kalian semua. Anakku bilang akan membawa banyak barang dari Taiwan."
Namun semua orang diam tak menanggapi. Mungkin jengah atau pula miris melihat ulah Mak Marni.
"Lihat, nih. Surat dia dari Taiwan. Dia bilang sebulan lagi akan pulang." Dan Mak Marni pun tertawa terbahak-bahak. Suaranya keras membahana.
Setiap orang telah paham. Hampir semua orang telah membaca surat anak Mak Marni. Yang di dalamnya bertuliskan, "Anak Ibu mengalami kecelakaan kerja di Taiwan dan meninggal dunia. Jenazahnya akan segera kami pulangkan ke Indonesia."
Taiwan, 05.07.12
****
AGUSTUS, AKU BENCI.
By. Rahayoe Wulansari.
Badanku memang gemuk dengan lengan yang besar, paha yang tak kalah besar, pantat yang lebar dan perut yang buncit. Pipi tembem dan hampir semua bagian tembem.
Aku tak suka bentuk tubuhku, bahkan aku benci. Sebenci aku pada bulan yang akan datang. Agustus.
"Besok ada lomba tarik tambang, kamu ikut ya, Mbem." Rani bicara padaku lengkap dengan panggilan khasnya untukku.
"Atau kau mau ikut lomba makan kerupuk?"
Aku menggeleng tegas. Rani sejenak memandangku dari atas ke bawah dengan seksama.
"Kalau kamu ikut balap karung aku yakin pasti kalah. Badan kamu terlalu..." Rani tak melanjutkan kata-katanya.
Aku tahu kelanjutannya. Aku sudah bisa menebaknya. Tapi aku tak perduli.
"Pokoknya aku nggak mau ikut lomba apapun. Aku benci bulan Agustus." Aku pun berlari.
Terus berlari tak berhenti. Seperti air mata ini yang terus mengalir. Aku benci bulan Agustus dan semua lomba-lombanya. Karena ketika semua orang sibuk mempersiapkan peringatan kemerdekaan itu maka aku sangat bersedih. Tepat ketika semua orang rumah menonton lomba, aku yang sedang demam di rumah bertambah menggigil karena digagahi oleh ayahku sendiri. Ayah tiriku.
Taiwan, 06.07.12
****
HANDUK KERAMAT
By. Rahayoe Wulansari.
Anita selalu marah jika handuk hijau garis-garis putih itu kupakai. Apalagi jika handuk itu sampai basah. Dan aku heran karenanya.
"Gunanya handuk itu untuk mengelap badan, ya pasti basah lah," kilahku. Di suatu pagi yang sejuk di hari Minggu.
Anita cemberut. Dengan sigap dia memasukkan handuk kesayangannya ke dalam mesin cuci. Dan 'klik' handuk hijau itu berputar-putar bersama air dan detergen.
"Memangnya ada cerita sejarah apa to dari handuk itu?" tanyaku.
"Sepertinya keramat sekali," lanjutku menggoda.
Anita terdiam lalu menangis.
"Loh, apa aku salah ucap?" Aku kebingungan sendiri. Mungkin kata-kataku menyinggung perasaan Anita.
Kuraih gadis itu kepelukanku, "Maafkan aku, An. Aku janji nggak akan pakai handuk itu lagi."
"Bukannya keramat, tapi itu handuk khusus untuk Acay."
Kini gantian aku yang cemberut, karena kutahu Acay adalah anjing yang baru dipungut Anita di pinggir kali sebulan yang lalu.
Taiwan, 07.07.12
****
HUSH PERGILAH KAU!
By. Rahayoe Wulansari.
Kau datang lagi. Mengusik ketenanganku. Mengganggu kenyamananku.
Padahal sudah berulangkali kuingatkan kau, jangan kembali padaku.
"Atau jangan pernah datang lagi di hidupku selamanya!" teriakku terakhir kali kita bersama.
Namun sepertinya kau sudah bebal akan hardikkanku setiap kau kembali.
"Tak punya malu kau!" lagi dengan kasar aku mengumpat di depan matamu. Namun kau hanya diam.
Seperti biasa kau hanya menatap tak peduli padaku. Yang lain dari kali ini adalah kau mengotori daerah kekuasaanku.
CROOT.
Dan kau meninggalkan kotoranmu kali ini.
"Ayam sialaaann!"
Taiwan, 08.07.12
****
SENYUM PUCAT KAMBOJA.
By. Rahayoe Wulansari.
Apa yang kau katakan itu sungguh-sungguh? Apa benar kau ingin tahu kabarku? Aku tak yakin.
"Aku baik-baik saja," dustaku.
Ya, aku harus begitu. Aku harus berdusta padamu agar kau tak merasa bersalah.
"Kapan kau akan menikah?" Satu pertanyaanmu yang tak bisa kujawab.
Bukan lantaran tak ada lelaki yang melamarku, namun entahlah, aku masih mengharap waktu bisa diputar kembali.
"Secepatnya." Lagi-lagi aku berbohong padamu. Dan sepertinya kau tahu aku tak jujur. Ketika tak sengaja kupergoki matamu yang tajam menatap cincin di jari manisku.
"Dia pasti lelaki beruntung. Dia pasti bisa membahagiakanmu." Ucapanmu membuat mataku meremang seketika.
"Pergilah..."
Aku menggeleng. Batinku berteriak, bolehkah aku memelukmu? Untuk yang terakhir kalinya. Kumohon.
Namun kau memalingkan wajahmu, "Dia telah datang. Dia telah menjemputmu."
Seketika aku sadar, calon suamiku sudah menunggu. Lantas aku pun cepat-cepat berlalu darimu.
"Sudah ziarahnya, Honey?" sambut Alfarizy tunanganku sesaat setelah aku dekat dengan dia berdiri.
Anggukan kecil mewakili. Dan kamboja pun menjadi saksi, senyum pucatnya mengiringi langkahku.
Taiwan, 09.07.12
****
SUARA HATI
By. Rahayoe Wulansari.
Aku sedang ingin menulis. Apa saja yang ada di otakku. Yang sudah pasti aku sedang rindu. Kau yang ada di belahan dunia lain.
"Aku rindu," selalu kuteriakkan itu.
Apa kau ingat padaku? Apa kau memikirkanku? Apa kau peduli padaku? Kalau iya, kenapa kau diam saja?
"Apa kabar?" mungkin itu yang pertama kali kutanyakan padamu. Sehatkah kau di sana?
"Cantik. Kau pasti bertambah cantik. Aku yakin itu." Dan begitu saja air mata ini luruh. Runtuh bersama rindu yang semakin mengembang. Membasahi foto buram dirimu di pangkuanku. Satu-satu.
Tetes air mata itu membentuk banyak bulatan tanya, mengapa kau tega melakukan ini padaku?
"Ibu, kapan kau pulang?"
Lalu Ayah masuk kamarku. Beliau bilang, "Sudahlah, Nak. Pasrahkan saja sama Tuhan. Semoga Ibumu cepat mendapat bantuan. Aku yakin Ibumu tidak salah, aku jamin itu. Dia hanya membela diri, saat majikannya ingin menggagahi."
Taiwan, 10.07.12.
****
KECEWA
By. Rahayoe Wulansari.
Menunggu itu membosankan. Sangat membosankan. Waktu serasa berjalan sangat lambat. Aku bahkan bisa menghitung detik per detik yang ada.
"Huff, kenapa belum datang juga?" ucapku resah. Pintu dan jendela menjadi pemandangan favoritku.
"Padahal sudah lewat dari jam nya," gusarku.
Ah, aku jadi semakin resah. Marah. Mulutku cemberut, dadaku berkerut.
"Kalau satu jam lagi tak datang, maka aku akan...."
Kring kring kring.
Dan kudengar suara itu. Maka tanpa ba bi bu lagi kuberlari menyongsongnya.
"Bang, es tong-tong nya satu. Yang rasa coklat," sebutku tanpa basa-basi.
"Maaf, Neng. Saya bukan tukang es. Ini ada paket atas nama Bapak Soekadjar, apa betul ini rumahnya?"
Dalam hatiku menggerutu, yah.. kukira tukang es langganan.
Taiwan, 11.07.12
****
MENYESAL.
By. Rahayoe Wulansari.
"Dah tobat nih, Girl?" Rara menatapku aneh. Dengan gamis yang kupakai, jilbab panjang menutupi dada. Hanya cadar saja yang belum.
"Kesambet setan apa kamu, Girl?" Rara masih saja menggoda. Aku diam.
"Atau karna ketemu ustadz yang ganteng dan gaul kamu jadi ingin memakai jilbab?" Aku tersenyum simpul.
"Ini sudah menjadi kewajiban muslimah untuk menutup aurat, Ra." Aku menjawab dengan bijaksana.
Cukup itu saja yang aku jadikan alasan. Biarkan Rara hanya tahu kalau aku sadar karena mendapat hidayah. Memang kenyataannya aku merasa aman dan terlindungi ketika seluruh tubuhku tertutupi. Aku tentram karenanya. Cukup sampai disitu saja Rara mengerti, tak perlu yang lain lagi.
"Kenapa kau melakukan ini, Om? Bukankah aku anak dari kakakmu?" Tiba-tiba kejadian malam itu kembali teringat. Memaksa untuk keluar merajam penyesalan ke tubuhku.
"Bagaimana aku tak tergoda? Jika setiap kali kau berpakaian sexy di hadapanku? Aku laki-laki normal."
Air mata begitu saja luruh, membasahi lekuk pipiku. Dan aku menyesal.
Taiwan, 12.07.12
MAS
PRIYO.
By.
Rahayoe Wulansari
Semua
orang marah, semua keluargaku menyalahkanku. Semua orang mengatakan aku bodoh,
tatkala aku memgambil keputusan ini.
"Kurang
apa Priyo di matamu, Ning?" desis Ibuku. Jelas saja beliau tak terima aku
minta cerai pada Mas Priyo suamiku. Dalam silsilah keluargaku, tak ada yang
bercerai barang satupun.
"Apa
Ayah kurang dalam mendidikmu, Ning? Sehingga kau punya pemikiran yang kurang
waras seperti ini?" Amarah kali ini terucap dari bibir Ayahku yang pendiam.
Semua
orang tahu Mas Priyo orang yang baik, pekerja keras. Hampir semua orang
mengakui Mas Priyo orangnya cakep, gagah, tapi tak pernah mau main perempuan.
Bahkan
aku pun mengakui kalau Mas Priyo memang tampan, salah satu alasan mengapa aku
mau saja menerima lamarannya tiga tahun yang lalu. Meski aku belum pernah
mengenal Mas Priyo sedikitpun.
"Jangan-jangan
karena kau punya simpanan," Ibuku menuduhku. Aku menunduk. Diam.
Mas Priyo
orangnya baik, terlalu baik malah. Sudah barang tentu semua orang suka padanya.
Simpatik. Saat aku tiba-tiba meminta cerai, hampir semua keluargaku menganggap
aku gila. Tak waras.
Lantas
meskipun Ayahku telah memberi ultimatum, andai aku tetap pada pendirianku, maka
beliau tak menganggap aku anaknya lagi.
Namun aku
tetap bergeming. Aku tetap melayangkan gugatan ceraiku ke pengadilan. Aku tak
tahan. Aku bukan wanita tegar seperti pahlawan. Aku manusia biasa yang
membutuhkan kasih sayang.
"Ayah,
Ibu, maafkan Nuning. Terpaksa Nuning tetap mau bercerai."
Ayah
terdiam, Ibu geram. Aku tetap pada bisiku. Biarlah mereka menilai aku yang
keterlaluan, atau apapun pikiran mereka terhadapku.
Mereka
tak perlu tahu aku masih perawan meski sudah tiga tahun menikah. Karena di
malam pengantiku Mas Priyo berucap jujur, "Maafkan aku Dik Nuning. Aku tak
bisa menafkahi batinmu selayaknya suami istri, karena tujuanku menikahimu
supaya aku bisa dekat dengan Mas Ardi, kakakmu. Terus terang aku mencintai
kakakmu."
Tanpa
kusadari tanganku mengepal erat menahan sakit yang tak terperi.
Taiwan,
13.07.12
****
TENANG.
By.
Rahayoe Wulansari.
"Bagian
tubuhmu mana yang nggak sakit, sih?" tanyaku geram. Nenek terdiam.
"Begini
sakit, begitu sakit." Aku marah. Aku bosan.
Hampir
setiap detik nenek yang kurawat mengeluh. Sepertinya setiap inci dari tubuhnya
tak ada yang nyaman.
"Kau
bisa diam tidak?" bentakku kali ini. Sudah cukup panas telingaku mendengar
keluhannya. Dari ujung kaki sampai ujung rambut, apapun yang kusentuh pasti dia
teriak nelangsa.
Namun
hari ini lain. Namun hari ini nenek tak berteriak lagi, meski kupijit kakinya
cukup keras, meski kuangkat tubuhnya dengan cepat. Dia tenang saja.
"Nah,
begini lebih bagus." Aku berbisik lega.
Kutatap
wajah nenek yang tenang dan aku tersenyum tertahan. Ingin memekik gembira tapi
kutahan.
Nenek
diam. Karena diam-diam obat tidur berdosis tinggi itu kumasukkan dalam sup
makan siannya.
Taiwan,
14.07.12.
****
CEMBURUKU
TAK KELIRU.
By.
Rahayoe Wulansari.
"Kalau
status dia bukan mantanmu, mungkin aku tak akan mempermasalahkannya!"
Tenggorokanku serak. Aku berharap teriakanku ini mampu menyadarkanmu jika aku
tak suka padanya.
Kau malah
terbahak. Kau menganggap sikapku ini kekanak-kanakan. Tak dewasa.
"Cemburumu
keliru. Aku dan dia hanya teman saja," elakmu.
Leherku
kelu menahan amarah. Dadaku berdegup kencang tak beraturan. Aku kesusahan untuk
mengutarakan. Aku tak mampu menyadarkanmu. Bukan hanya karena ingin cintaku
diakui.
Hanya
saja masih kuingat jelas kata-katanya, " Aku mau berteman dengannya itu
bukan karena aku masih sayang, tapi dia kaya dan aku butuh uangnya."
Aku yakin
cemburuku tak keliru.
Taiwan,
15.07.12
****
TERLANJUR
JANJI
By.
Rahayoe Wulansari.
Maaf,
jika lebih dari teman yang kau mau aku tak bisa menurutinya.
"Apa
kau tak tahu, perhatianku selama ini karena aku suka kamu?" Hanya diam
jawabanku.
"Aku
tunggu sampai senja, jika kau tak bicara juga maka kuanggap kau ingin aku
pergi."
Perang
batin terjadi di dadaku. Sungguh, betapa ingin aku teriak mengucapkan,
"Ya, aku mau."
Lantas
kita tertawa bersama, menyambut senja terindah kita.
Tidak
seperti sekarang. Membisu tak bergeming melihat kau melangkah pergi setelah
mentari ditelan cakrawala.
Aku tak
akan begini, sebelum kudengar dari mulut Talita, "Aku suka padanya, Kak.
Teman Kakak yang hampir setiap hari datang itu. Hatiku diam-diam telah tercuri
sebelum benar-benar dicuri."
Aku akan
dengan senang hati memelukmu, menyambut cintamu jika tak ingat janjiku pada ibu
dulu, "Jaga Talita sebaik mungkin. Kasihan dia, orang tuanya tega
membuangnya di tempat sampah. Tepat di depan rumah kita."
Dan aku
terlanjur berjanji.
Taiwan,
16.07.12
****
AMARAH
IBU
By.
Rahayoe Wulansari
Terang
saja ibu tak suka. Terang saja ibu marah. Sudah berkali-kali aku dinasehati,
masih saja bengal.
"Apa
susahnya memanggil dia Ayah? Toh selama ini dia yang mencari uang." Ibu
geram. Ibu berteriak emosi.
"Kurang
baik apa dia padamu, heh?" Aku membisu.
"Apa
ini yang diajarkan Bapak kebanggaanmu itu? Untuk melawan orang tua?"
Rahangku
mengeras, gigi gerahamku gemelutuk saling beradu. Tanganku mengepal di balik
punggung.
"Kamu
dan Bapakmu itu sama-sama bermuka tebal." Kututup telinga rapat-rapat.
Tidak.
Aku benci Ayah. Aku tak suka padanya. Dia bukan Ayahku. Dia lelaki tak tau
malu, karena tega meniduriku saat ibu pergi ke pasar waktu itu.
Taiwan,
17.07.12