Diberdayakan oleh Blogger.

Minggu, 05 Agustus 2012

Senandung suara-suara


Hampir semua orang menganggap aku bodoh, bahkan yang lebih gila lagi menganggap aku diguna-guna. Hampir semua keluargaku tak percaya, ketika kubawa Ratih ke hadapan papa dan mama untuk kuperkenalkan sebagai calon menantu.

"Nggak salah, Kris?" Begitu reaksi kakak perempuanku.

Ibuku melirik sinis, menatap dari ujung rambut hingga ujung kaki wanita di hadapannya.

"Lulusan universitas mana?" tanya mama.

Aku menengahi. Aku menerangkan pada mereka bahwa pertemuanku dengan Ratih adalah tak sengaja ketika aku mengunjungi teman lama semasa kuliah di Jawa dahulu. Ratih yang kala itu sedang menjadi guru mengaji di sebuah mushola menarik perhatianku.

"Kamu tahu akan masuk ke keluarga macam apa?" lanjut mamaku.

Ratih tersenyum. Aku tahu dia gugup, namun wanita lugu itu bisa menutupinya.

"Kris kuharap kau tak serius, Nak." Mama menyudahi bicaranya kemudian beliau meninggalkan ruang tamu.

Ketika kutatap mata papa untuk meminta dukungan, lelaki paruh baya itu hanya mengedikan bahu.


****


Ratih tidak cantik, tidak juga langsing. Tinggi badannya rata-rata pawakan orang Indonesia. Kulit Ratih sawo matang cenderung hitam, namun terlihat bercahaya di mataku.

"Aku tahu mengapa akhirnya kau menikahi gadis desa tak berpendidikan itu," kelakar Nia, gadis seksi temanku nongkrong.
"Aku yakin dia tak akan mengerti kemana kau pergi ketika kau pulang larut," lanjutnya.

Aku tak menanggapi celotehnya. Justru semenjak aku menikahi Ratih, entah mengapa aku ingin cepat-cepat pulang ke rumah. Melihat wajah teduhnya dan bermanja-manja sambil mengelus-elus perut buncitnya.

Di sana jagoan kecilku berada.

Rangga teman main biliyardku pun tak percaya jika aku benar-benar mencintai Ratih, istriku.

"Playboy berselera tinggi sepertimu akhirnya memilih perempuan berjilbab itu?" tanyanya ketika istirahat di kantor.
"Apa kau bisa begitu saja melupakan pesona si Maya, penari striptis itu?" Dan aku tergelak.

Hatiku tiba-tiba perih. Betapa dulu aku selalu bergumul dengan dosa dan Ratih begitu ikhlas menerimaku apa adanya. Tak tahu apa yang akan terjadi pada rumah tanggaku jika bukan Ratih, wanita tersabar yang sekarang menjadi istriku. Mungkin perceraian menjadi takdir rumah tanggaku.


****


"Tidak, Ma! Aku tak mau mengkhianati istriku!" geramku. Mama tersenyum licik. Ia tahu aku sedang kesulitan keuangan sekarang, dan beliau memberiku pilihan yang sulit.

"Keputusan ada di tanganmu, Nak. Kau nikahi Anggi dan hak warisan dari Papa akan menjadi milikmu." Mamaku tega, benar-benar tega.

"Atau kau akan kehilangan salah satunya, istrimu atau anak yang dikandungnya," lanjut beliau.

Duh gusti! Mamaku tahu biaya operasi caesar Ratih tidak sedikit. Dan semenjak aku memilih tetap menikahi Ratih, maka sejak itu pula fasilitas kemewahan dari keluarga otomatis dicabut. Aku dianggap anak durhaka. Dan aku harus rela bekerja sebagai pegawai rendahan di sebuah kantor swasta. Jangankan untuk membiayai operasi Ratih karena kelainan jalan lahir yang dideritanya, untuk makan enak serta hidup layak saja aku harus ekstra kerja keras.

Hidupku bagaikan makan buah simalakama. Aku menyayangi ratih, dan aku ingin anaku lahir dengan selamat. Kemudian setanlah yang menang, aku menerima syarat yang diajukan mama. Kunikahi Anggi, perempuan glamor yang suka sekali merokok, anak teman mama.

"Tolong, jangan sampai Ratih tahu akan hal ini, Ma!" mohonku serius. Aku tak yakin bisa kuat melihat wajah teduh Ratih berubah sendu ketika mengetahui pengkhianatanku.

"Papa sudah mengatur semuanya, Kris." Suara berat papa terasa semakin berat di telingaku. Tak kusangka, semua keluargaku sekongkol akan hal ini.

Bahkan kakak perempuanku ikut mendukung, "Selamat datang kembali pada kemewahan adikku yang ganteng." Dengan penuh tawa ia menggodaku. Suara kenesnya terasa begitu menyesakkan dada.

"Ratih, maafkan aku. Semua ini kulakukan karena aku takut kehilanganmu. Ampuni aku yang tak bisa menjadi imam panutanmu," dalam bisik lirih dan isak kecil kuucapkan maafku.


****


Samarinda menjadi rumah ke-duaku setelah rumah mungilku di Jakarta bersama Ratih. Namun karena desakan mama, aku lebih banyak menghabiskan waktu di rumah megah bak istana ini. Hidup bersama istri ke-duaku yang hobby sekali shoping, beda jauh dengan Ratih. Tak pernah sekalipun Anggi melayani kebutuhanku, semua diserahkan ke tangan pembantu.

Terkadang aku rindu pulang. Ingin kubermanja lama-lama pada Ratih, istriku yang berwajah teduh.

"Mas roti dan kopinya sudah siap, silakan sarapan." Begitu biasanya saat pagi menjelang. Pertama kali aku membuka mata langsung dimanjakan pelayanan Ratih yang sangat tulus.

Juga saat aku pulang dari bekerja. "Mas, airnya sudah hangat, silakan mandi dulu lantas makan malam, ya! Pasti capek, 'kan?" suara lembut Ratih seketika menyembuhkan lelahku.

Aku merindukannya. Sangat-sangat rindu. Aku yakin Ratih telah mengetahui pernikahan ke-duaku dengan Anggi. Namun Ratih tak pernah bertanya, dia menggap tak terjadi apa-apa. Ratih tak mempersoalkan aku yang hanya pulang 2 kali dalam sebulan dengan alasan bisnis di luar kota. Ratih tetap memperlakukan aku seperti dahulu, sebelum semua ini terjadi.

Saat jagoan kecilku mulai bisa memanggilku papa, maka aku pun menceritakannya.

"Aku yang salah, Tih," ucapku. Aku bersujud di hadapan Ratih memohon ampunannya. Dan aku merasa semakin bersalah ketika tetes air mata dari wajah teduh Ratih membasahi jilbab putih yang saat itu dikenakan.


****


Hampir semua orang menganggap aku bodoh, bahkan menyalahkan tindakanku. Namun aku merasa, akulah orang paling beruntung di dunia.

Ratih tidak cantik tapi berhati baik. Keberadaannya laksana malaikat yang singgah dalam kehidupanku. Bagaimana tidak? Meski aku telah menyakiti hatinya dengan menikahi Anggi, namun dia tetap memperlakukan aku begitu istimewa.

Aku tahu dan aku bisa merasakannya. Setiap hari Ratih datang padaku, bercerita tentang kesehariannya dan juga pertumbuhan jagoan kecilku. Tak jarang pula terkadang dia berbisik mesra di telingaku, "Aku sayang kamu, Mas. Tetaplah di sisiku."

Trenyuh hati ini mendengarnya. Apalagi tatkala jagoan kecilku dengan riangnya berceloteh, "Papa tadi Alfa dapat nilai celatus." Meski masih cadel, anakku sangat menggemaskan.

Hanya suaranya dan Alfa yang kudengar setiap hari. Do'a tulusnya, lantunan ayat-ayat sucinya, atau terkadang senandung lirih Ratih selalu berdengung di telingaku. Memang ada kalanya aku mendengar suara papa dan mama juga kakak perempuanku, tapi itu sangat jarang terjadi, kalaupun kudengar pastilah hanya sebentar.

Dan Anggi? Semenjak aku harus mengalami koma selama berbulan-bulan karena kecelakaan, ia tak pernah kudengar suaranya lagi. Mungkin sibuk dengan rokok dan lawatan luar negrinya menghambur-hamburkan uang.

Ya, inilah kenyataan. Aku harus berada di sini, terkapar tak berdaya di ranjang rumah sakit. Hidup bergantung pada mesin berselang tapi tak bisa dibilang mati. Dan aku beruntung, karena Ratih tetap setia merawatku dengan penuh kasih. Ia selalu bersenandung untukku, berbisik syahdu di telingaku, "Bangunlah, Mas. Aku mencintaimu."


Taiwan, 26.07.12

0 Suara:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites