Diberdayakan oleh Blogger.

Minggu, 05 Agustus 2012

Kusam




Wajahnya kusam. Rania paling tidak suka dengan wajah kusam yang selalu ditunjukkan Kukuh setiap hari. Wajah kusamnya seperti rumah-rumah di lingkungan tempat tinggal mereka.

Dahulu Kukuh tak begitu. Dahulu Kukuh selalu ceria. Dahulu Kukuh selalu tersenyum lantas muncul dekik di pipi kanannya. Dekik itu yang Rania suka.

"Aku kehilangan sesuatu," ucap Rania. Namun Kukuh tak peduli. Ia tetap menunjukkan wajah kusamnya hari ini.

"Aku kehilangan dekik di pipimu itu. Yang dulu membuatku naksir," Rania mencoba sekali lagi.

Kukuh tetap diam. Kukuh tetap tak bereaksi. Wajahnya kusam seperti rumah-rumah di sekitar tempat tinggal mereka.

"Apa ini soal Bapak lagi?" tanya Rania mencoba menebak.

Kukuh mengangguk lesu. Parut wajahnya kuyu.

"Bapak semakin menjadi-jadi," Kukuh berujar lirih. Matanya sayu.

Rania menghela napas seolah paham apa yg tengah dirasakan Kukuh.

"Tapi cemberutmu sungguh tak akan mengubah apa pun. " Canda Rania.

Sekejap Rania mengira Kukuh akan ikut tertawa. Ternyata tidak. Kukuh malah melemparkan pandangan tajam padanya.

"Kau tak akan mengerti, Ran." geram Kukuh.


****

"Semalam aku melihat Bapaknya Kukuh bersama seorang perempuan," bisik Karni. Sepulang mengaji di langgar.
"Pakaian perempuan itu sangat seronok. Menor pula wajahnya."

Rania menyimak dengan cermat. Namun tak berani berkomentar.

"Ada baiknya kamu berpikir untuk mencari ganti," Karni berbisik lagi. Kali ini berbau hasutan.

"Biasanya buah jatuh tak jauh dari pohonnya."

Rania tertawa. Rania mencoba tak peduli. Meskipun di dalam hatinya mulai terusik.

"Kau mengenal wanita itu, Kar?" Rania penasaran.

Gelengan kepala Karni memberi jawaban. Meski dari bibirnya lantas berbisik, "Banyak yang sering menjumpai wanita itu di lokalisasi."

"Bersama Bapaknya Kukuh?" Karni pun tahu Rania merasa risih dengan pemberitaan ini.

Karni mengedikan bahu, "Entahlah, aku tak berani memastikan."

Di keheningan malam jalan kampung. Dengan lampu lima watt sebagai penerangnya. Rania mencoba tak menghiraukan perasaannya. Pada Kukuh yang tiap hari semakin menunjukkan wajah kusamnya.


****


Kukuh mengajak Rania ke pinggir kali. Tempat biasa mereka bersama. Kadang bercanda, kadang menyanyi bersama, kadang pula hanya terdiam.

"Tak ada salahnya kamu memperingatkan Bapak." hati-hati Rania berucap.
"Kasihan Ibu," lanjutnya.

Kukuh tengadah memandang langit. Melawan matahari sore yang lumayan menyengat kulit.

"Justru aku kasihan terhadap Bapak," terang Kukuh seraya tangannya menghalau matahari yang menyilaukan mata.

"Ibu terlalu egois," Kukuh melanjutkan bicaranya.

Rania terheran-heran akan ucapan Kukuh barusan. Bagaimana mungkin wanita pendiam seperti Ibunya dikatakan egois?

Peluh yang membasahi wajahnya tak ia hiraukan. Alisnya bertaut menandakan keheranan yang tiada batasnya.

"Sudah jelas-jelas Bapakmu yang salah. Hampir semua warga kampung tahu Bapak suka main perempuan."

Kukuh menggeleng tegas. Kukuh memprotes ucapan Rania.

"Kamu tak mengerti, Ran." Wajah Kukuh semakin kusam dan mengkilat.

"Kamu tak mengerti perasaan Bapak."

Lalu begitu saja Kukuh meninggalkan Rania sendiri. Di pinggir kali yang airnya coklat keruh. Seperti pikiran Rania saat ini.


****


"Kemarin aku mendengar mereka bertengkar hebat," suara Mbok Jum tukang sayur keliling lamat-lamat terdengar.

Rania menajamkan telinga. Ia begitu penasaran.

Ibu-ibu yang doyan bergosip terlihat bersemangat.

"Wanita menor juga ada di rumahnya," Bu Jamal sambil memilih sayur bersama itu pula menyebarkan berita.

"Kasihan Minah menangis meratap di kaki suaminya," Ibu yang lain ikut menyumbang berita.

"Kabarnya mereka mau bercerai."

"Cerai?" Rania menelan ludah. Lalu bagaimna dengan Kukuh? Apa mereka tak memikirkan perasaannya?

"Semuanya jauh lebih buruk dari apa yg mereka perbincangkan, Ran." ujar Kukuh ketika Rania menceritakan apa yang ia dengar hari itu juga.

"Cobalah bicara dengan keduanya." saran Rania.

kukuh terdiam.


****


Wajah Kukuh semakin kusam. Apalagi ketika tak sengaja Rania memergoki pertengkaran antara Bapak dan Ibu tadi sore. Di pelataran rumahnya yang kusam tak jauh beda dengan wajah Kukuh.

"Kini kau telah tahu, 'kan?" Pelan Kukuh bertanya. Ia takut sekaligus malu.

"Aku tak bisa menyalahkan keduanya, Ran." Kukuh mencoba memberi penjelasan.

Rania terdiam. Ia masih membisu. Dicobanya perlahan-lahan mengerti keadaan sebenarnya.

"Pokoknya aku tidak mau jika harus mempunyai anak lagi. Satu kesalahan saja itu sudah membuatku tersiksa." Terngiang ucapan Bapaknya Kukuh yang begitu kerasnya. Rania heran, ia semakin tak mengerti.

"Aku mohon, Mas. Beri aku anak perempuan." Dan isak tangis pun terdengar pilu. Dari mulut seorang Ibu.

"Jadi..." Rania meminta penjelasan.

"Kau tahu? Ibuku tak bisa hamil lagi. Namun dia ingin anak perempuan."

Rania menyimak dengan seksama. Ia tak ingin menyela Kukuh berbicara.

"Ibu ingin wanita menor itu hamil anak Bapak."

Rania tersentak kaget. Rasanya tak masuk akal melihat seorang istri menyuruh suaminya menghamili orang lain.

"Bapak teramat mencintai Ibu. Bapak berada pada pilihan yang sulit. Andai Bapak tak menuruti kemauan Ibu, mungkin keluargaku benar-benar berantakan seperti yang orang-orang itu bilang."

Rania memeluk Kukuh dengan eratnya. Rania mencoba memberi kekuatan pada kekasihnya. Dengan sayang yang semakin erat, seerat pelukannya. Agar tak ada lagi wajah kusam Kukuh yang sangat dibencinya. Agar dekik yang membuat dia naksir itu kembali tercipta.


Selesai.
Taiwan, 04.07.12

0 Suara:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites