Wajahnya
kusam. Rania paling tidak suka dengan wajah kusam yang selalu ditunjukkan Kukuh
setiap hari. Wajah kusamnya seperti rumah-rumah di lingkungan tempat tinggal
mereka.
Dahulu
Kukuh tak begitu. Dahulu Kukuh selalu ceria. Dahulu Kukuh selalu tersenyum
lantas muncul dekik di pipi kanannya. Dekik itu yang Rania suka.
"Aku
kehilangan sesuatu," ucap Rania. Namun Kukuh tak peduli. Ia tetap
menunjukkan wajah kusamnya hari ini.
"Aku
kehilangan dekik di pipimu itu. Yang dulu membuatku naksir," Rania mencoba
sekali lagi.
Kukuh
tetap diam. Kukuh tetap tak bereaksi. Wajahnya kusam seperti rumah-rumah di
sekitar tempat tinggal mereka.
"Apa
ini soal Bapak lagi?" tanya Rania mencoba menebak.
Kukuh
mengangguk lesu. Parut wajahnya kuyu.
"Bapak
semakin menjadi-jadi," Kukuh berujar lirih. Matanya sayu.
Rania
menghela napas seolah paham apa yg tengah dirasakan Kukuh.
"Tapi
cemberutmu sungguh tak akan mengubah apa pun. " Canda Rania.
Sekejap
Rania mengira Kukuh akan ikut tertawa. Ternyata tidak. Kukuh malah melemparkan
pandangan tajam padanya.
"Kau
tak akan mengerti, Ran." geram Kukuh.
****
"Semalam
aku melihat Bapaknya Kukuh bersama seorang perempuan," bisik Karni.
Sepulang mengaji di langgar.
"Pakaian
perempuan itu sangat seronok. Menor pula wajahnya."
Rania
menyimak dengan cermat. Namun tak berani berkomentar.
"Ada
baiknya kamu berpikir untuk mencari ganti," Karni berbisik lagi. Kali ini
berbau hasutan.
"Biasanya
buah jatuh tak jauh dari pohonnya."
Rania
tertawa. Rania mencoba tak peduli. Meskipun di dalam hatinya mulai terusik.
"Kau
mengenal wanita itu, Kar?" Rania penasaran.
Gelengan
kepala Karni memberi jawaban. Meski dari bibirnya lantas berbisik, "Banyak
yang sering menjumpai wanita itu di lokalisasi."
"Bersama
Bapaknya Kukuh?" Karni pun tahu Rania merasa risih dengan pemberitaan ini.
Karni
mengedikan bahu, "Entahlah, aku tak berani memastikan."
Di
keheningan malam jalan kampung. Dengan lampu lima watt sebagai penerangnya.
Rania mencoba tak menghiraukan perasaannya. Pada Kukuh yang tiap hari semakin
menunjukkan wajah kusamnya.
****
Kukuh
mengajak Rania ke pinggir kali. Tempat biasa mereka bersama. Kadang bercanda,
kadang menyanyi bersama, kadang pula hanya terdiam.
"Tak
ada salahnya kamu memperingatkan Bapak." hati-hati Rania berucap.
"Kasihan
Ibu," lanjutnya.
Kukuh
tengadah memandang langit. Melawan matahari sore yang lumayan menyengat kulit.
"Justru
aku kasihan terhadap Bapak," terang Kukuh seraya tangannya menghalau
matahari yang menyilaukan mata.
"Ibu
terlalu egois," Kukuh melanjutkan bicaranya.
Rania
terheran-heran akan ucapan Kukuh barusan. Bagaimana mungkin wanita pendiam
seperti Ibunya dikatakan egois?
Peluh
yang membasahi wajahnya tak ia hiraukan. Alisnya bertaut menandakan keheranan
yang tiada batasnya.
"Sudah
jelas-jelas Bapakmu yang salah. Hampir semua warga kampung tahu Bapak suka main
perempuan."
Kukuh
menggeleng tegas. Kukuh memprotes ucapan Rania.
"Kamu
tak mengerti, Ran." Wajah Kukuh semakin kusam dan mengkilat.
"Kamu
tak mengerti perasaan Bapak."
Lalu begitu
saja Kukuh meninggalkan Rania sendiri. Di pinggir kali yang airnya coklat
keruh. Seperti pikiran Rania saat ini.
****
"Kemarin
aku mendengar mereka bertengkar hebat," suara Mbok Jum tukang sayur
keliling lamat-lamat terdengar.
Rania
menajamkan telinga. Ia begitu penasaran.
Ibu-ibu
yang doyan bergosip terlihat bersemangat.
"Wanita
menor juga ada di rumahnya," Bu Jamal sambil memilih sayur bersama itu
pula menyebarkan berita.
"Kasihan
Minah menangis meratap di kaki suaminya," Ibu yang lain ikut menyumbang
berita.
"Kabarnya
mereka mau bercerai."
"Cerai?"
Rania menelan ludah. Lalu bagaimna dengan Kukuh? Apa mereka tak memikirkan
perasaannya?
"Semuanya
jauh lebih buruk dari apa yg mereka perbincangkan, Ran." ujar Kukuh ketika
Rania menceritakan apa yang ia dengar hari itu juga.
"Cobalah
bicara dengan keduanya." saran Rania.
kukuh
terdiam.
****
Wajah
Kukuh semakin kusam. Apalagi ketika tak sengaja Rania memergoki pertengkaran
antara Bapak dan Ibu tadi sore. Di pelataran rumahnya yang kusam tak jauh beda
dengan wajah Kukuh.
"Kini
kau telah tahu, 'kan?" Pelan Kukuh bertanya. Ia takut sekaligus malu.
"Aku
tak bisa menyalahkan keduanya, Ran." Kukuh mencoba memberi penjelasan.
Rania
terdiam. Ia masih membisu. Dicobanya perlahan-lahan mengerti keadaan
sebenarnya.
"Pokoknya
aku tidak mau jika harus mempunyai anak lagi. Satu kesalahan saja itu sudah
membuatku tersiksa." Terngiang ucapan Bapaknya Kukuh yang begitu kerasnya.
Rania heran, ia semakin tak mengerti.
"Aku
mohon, Mas. Beri aku anak perempuan." Dan isak tangis pun terdengar pilu.
Dari mulut seorang Ibu.
"Jadi..."
Rania meminta penjelasan.
"Kau
tahu? Ibuku tak bisa hamil lagi. Namun dia ingin anak perempuan."
Rania
menyimak dengan seksama. Ia tak ingin menyela Kukuh berbicara.
"Ibu
ingin wanita menor itu hamil anak Bapak."
Rania
tersentak kaget. Rasanya tak masuk akal melihat seorang istri menyuruh suaminya
menghamili orang lain.
"Bapak
teramat mencintai Ibu. Bapak berada pada pilihan yang sulit. Andai Bapak tak
menuruti kemauan Ibu, mungkin keluargaku benar-benar berantakan seperti yang
orang-orang itu bilang."
Rania
memeluk Kukuh dengan eratnya. Rania mencoba memberi kekuatan pada kekasihnya.
Dengan sayang yang semakin erat, seerat pelukannya. Agar tak ada lagi wajah
kusam Kukuh yang sangat dibencinya. Agar dekik yang membuat dia naksir itu
kembali tercipta.
Selesai.
Taiwan,
04.07.12
0 Suara:
Posting Komentar