Diberdayakan oleh Blogger.

Minggu, 05 Agustus 2012

Girl on The Window


Girl on the window, aku menjulukinya seperti itu. Gadis yang kuperkirakan seumuran denganku itu selalu berdiri di balik jendela setiap aku berangkat kuliah. Rambutnya ikal sebahu dengan warna coklat. Matanya bulat namun tatapannya kosong, dengan bibir pucat terukir tipis di bawah hidungnya yang mancung.

Layaknya pagi yang lain, pagi ini pun kulihat gadis itu berdiri di balik jendela. Baju tidur warna hitamnya menarik perhatianku. Setelah kuingat-ingat, setiap kali aku melihat gadis itu dia pasti mengenakan baju warna hitam.

"Jangan menatapnya," bisik Randu, teman satu kostku.
"Jangan sampai bersitatap dengannya, atau kau akan mendapati hari sial," lanjut Randu.

Aku ingin bertanya, namun isyarat mata Randu mengurungkan niatku.

Setelah sampai di halte tempat biasa kami menunggu mobil jemputan kampus, aku baru berani bertanya.

"Aku penasaran pada gadis itu. Aku menjulukinya girl on the window," paparku. Randu tak merasa heran. Dia mulai membuka komik doraemon kesayangannya.

"Kenapa kau bilang tadi akan sial?" lagi aku tanya. Rasa ingin tahuku begitu besar.

Randu menutup komik bawaannya. "Namanya Husna. Asma'ul Husna. Menurut cerita dia peramal yang handal."

Aku terkesiap. Untuk nama seindah itu berprofesi sebagai peramal? Mustahil.

"Namun dia menjadi gila, sesaat setelah mengetahui ajalnya tak berapa lama lagi."

Mataku membulat tak percaya. "Kau bercanda," tangkisku.

Namun Randu mengedikan bahu, " Terserah mau percaya atau tidak. Menurut cerita yang kudengar seperti itu."

Aku terdiam. Hatiku menangkal apa yang kudengar. Tak mungkin gadis secantik Husna jadi peramal dan sekarang gila. Ini tak masuk akal.


****


Masih sama. Aktivitas Husna tak jauh berbeda. Berdiri di belakang jendela dengan tatapan yang tetap kosong. Agak sedikit beda hari ini karena baju hitam berenda-renda yang dipakainya dilengkapi dengan kain panjang penutup kepala warna hitam senada. Mungkin itu jilbab, batinku.

Husna terlihat lebih manis jika seluruh auratnya tertutup seperti sekarang. Meski masih agak pucat, tapi menarik bagiku.

"Astaghfirullahaladzim," cepat-cepat kupindahkan pandanganku dari wajahnya.

Bukan karena takut menemui hari sial seperti yang Randu bilang, namun aku tak mau menikmati wajah lawan jenis yang bukan mahromku.

Jujur, terkadang ada rasa takut jika harus melewati jalan samping kost ku ini sendiri. Suka merinding ketika tanpa sengaja kudapati Husna tertawa cekikikan, atau saat tak kutemui dia berdiri di balik jendela dan lamat-lamat kudengar suara jeritan histeris.

"Dia lagi kumat," biasanya Randu akan berucap seperti itu.
"Husna sedang diruwat dan yang menjerit itu setan yang ada di dalam tubuhnya." Komentar asal Randu.

Aku tak pernah begitu saja percaya ucapannya. Pemuda kocak teman kost ku itu memang suka berkelakar.

Sebenarnya ada jalan lain selain jalan samping kost ku ini. namun aku jarang sekali melewatinya. Selain karena rutenya memutar dan akan lebih jauh untuk mencapai halte tempat biasa aku menanti bus jemputan kampus, tapi juga jalan alternatif lain itu banyak sekali preman yang suka mangkal malak anak kuliahan seperti aku. Bukan berarti takut, tapi cari aman saja.

Dan juga, aku jadi lebih tahu kebiasaan-kebiasaan rutin Husna, girl on the window penarik perhatianku.

Seperti hari ini, aku tahu jadwal Husna untuk diteraphy. Lebih enak kusebut begitu daripada diruwat seperti kata Randu. Ada seorang Ustadz dilihat dari pakaiannya serta sorban di kepalanya akan selalu datang ke rumah Husna. Sudah kuhafal luar kepala Ustadz itu akan menanti bus di halte yang sama denganku.

"Baru dari rumah Mbak Husna ya, Ust?" kuberanikan diri bertanya.

Ustadz itu memandang sebentar ke arahku dan kemudian tersenyum ramah. Tak lama berselang, obrolan akrab telah terjalin di antara kita. Dari beliaulah kutahu Husna tidak gila.

"Mbak Husna suka sekali mendengar lantunan ayat suci. Itu akan mengingatkan pada tunangannya," tutur Pak Ustadz itu.

Aku yakin sekali Husna tidak gila. Hanya sedikit terganggu jiwanya karena kata Pak Ustadz, tunangannya pergi pas di acara lamaran yang diadakan.

"Dia sedang mengalami NADIR dalam hidupnya," lanjut Pak Ustadz.

Aku mengangguk-angguk. Masuk akal memang.


****


Sore yang cerah aku tak ada kegiatan. Tak ayal mendadak aku ingin menulis. Memang laki-laki teman sefakultasku jarang yang masih memiliki diary sepertiku. Ah, apa salahnya? Meski terlihat seperti hobby perempuan, yang penting aku suka. Cukup itu saja.

Dari ujung gang depan kost ku samar-samar kutangkap dua orang berjalan mendekat ke arahku. Baju hitam itu. Aku tak asing pada baju hitam itu. Baju yang sama seperti milik Husna.

Saat sudah agak dekat baru kuyakini tebakanku benar. Dia Husna bersama wanita paruh baya, mungkin beliau adalah ibunya. Ini pertama kalinya aku melihat Husna bukan melalui bingkai jendela, namun melalui tatapan langsung. Husna benar-benar memukau.

Aku tersenyum mengangguk sebagai bentuk ramah tamah. Bukan senyum balasan malah yang ada amukan mengerikan.

"Pergi kau dari hidupku! Penipu!" Terang saja aku kaget. Husna merebut buku yang sedang kupegang, merobek kertas di dalamnya dan membuangnya begitu saja.

"Eh, maaf. Maafkan anakku, Nak." Ibu Husna berucap tak enak hati. Aku tersenyum menanggapi. Kukatakan aku tak mempermasalahkan hal ini.

Dan merekapun pergi. Tak sengaja kutangkap sinar ketakutan dan trauma yang mendalam dari mata Husna.

"Rumor yang beredar, dulu Husna bisa menuliskan kematian," terang Bapak kostku. Seketika itu juga setelah Husna dan ibunya menghilang aku bercerita tentang apa yang baru saja terjadi.

Alisku mengeryit, "Berarti benar kalau Husna peramal?"

"Konon dia mendapatkan buku ajaib itu dari seorang peri. Apapun yang ditulis Husna pada buku itu, maka esoknya hal tersebut akan terjadi."

"Seperti sihir," bisikku lirih.

"Entahlah, aku sebenarnya tak percaya. Sebelum..."

"Sebelum apa, Pak?" kejarku.

"Sebelum akhirnya aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Husna menjerit seperti kesetanan tepat di hari pertunanganmya."

Aku tak berkomentar. Aku sedikit berpikir, kalau memang Husna yang menuliskan kegagalan pertunangannya sendiri, mengapa ia harus gila? Ini janggal.


****


Penasaranku pada Husna semakin menjadi-jadi lantas berubah menjadi simpatik. Seharusnya ia bisa belajar IKHLAS.

Aku berusaha sekuat tenaga untuk bisa bertemu dengan Husna lagi. Aku ingin berbicara dengannya. Aku bersaha membujuk ibunya untuk mengijinkanku bertemu Husna dan IKHTIARku berhasil. Meski dengan wanti-wanti yang tak berkesudahan, ibu Husna memberikan aku waktu untuk melihat Husna.

"Kalau Husna mulai tak suka, kamu segera menjauh saja," pesan ibu Husna.

Aku mengangguk. Lantas aku mengikuti langkah wanita paruh baya itu menuju teras belakang rumahnya. Tempat favorit Husna begitulah keterangan yang dipaparkan Ibu Husna.

Aku melihatnya. Aku menyaksikan Husna sedang asyik memberi makan pada ikan di kolam kecil di hadapannya. Aku melihatnya. Dia tetap memakai baju warna hitam. Husna tetap diam meski dia menyadari aku ada di sebelahnya.

"Maafkan atas kejadian kemarin, Nak." Teguran ibu Husna mengagetkanku. Aku mengangguk takzim.

"Kamu percaya apa yang orang-orang itu bilang tentang Husna?" tanya Ibu Husna lagi, aku menggeleng.
"Aku yang salah, Nak. Dan aku menyesal karena keegoisanku Husna mengalami hal ini," lanjutnya.

Dalam hatiku terkejut, tapi aku berusaha menguasai keadaan. Kutunggu Ibu Husna melanjutkan penjelasannya.

"Aku yang mengarang cerita tentang Husna dan buku itu. Aku malu karena pertunangan Husna harus gagal karena kekurangan Husna. Tapi aku tak pernah berpikir jika akibatnya anakku jadi begini." Ada sendu di bola mata Ibu Husna. Ada penyesalan yang dalam pada setiap kata-katanya.

"Calon tunangan Husna tak mau jika ia mendapati calon istri yang mengidap epilepsi. Dia tak datang, tak pernah datang. Di saat yang bersamaan di hari pertunangan itu, penyakit Husna kambuh disaksikan tamu undangan."

Aku memperhatikan dengan seksama. Kuamati Husna yang tetap asyik dengan ikan-ikannya.

"Aku yang menulis di buku itu. Aku yang menyebarkan berita bahwa Husna bisa menuliskan kematian. Aku yang menyebabkan Husna gila, Nak. Dan aku menyesal."

Aku terharu. Tak tahu kata-kata apa yang tepat untuk memberi kekuatan pada Ibu Husna.

"Bu, bolehkah aku mengkhitbah Husna?" tanyaku lirih.

Ibu Husna memangdangku tak percaya. Dan akupun menunduk. Aku tak tahu kata yang tepat untuk menenangkan mereka. Hanya kata itu yang aku ucapkan. Cukup kata itu.


Tamat.
Taiwan, 18.07.12

0 Suara:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites