Girl on
the window, aku menjulukinya seperti itu. Gadis yang kuperkirakan seumuran
denganku itu selalu berdiri di balik jendela setiap aku berangkat kuliah.
Rambutnya ikal sebahu dengan warna coklat. Matanya bulat namun tatapannya kosong,
dengan bibir pucat terukir tipis di bawah hidungnya yang mancung.
Layaknya
pagi yang lain, pagi ini pun kulihat gadis itu berdiri di balik jendela. Baju
tidur warna hitamnya menarik perhatianku. Setelah kuingat-ingat, setiap kali
aku melihat gadis itu dia pasti mengenakan baju warna hitam.
"Jangan
menatapnya," bisik Randu, teman satu kostku.
"Jangan
sampai bersitatap dengannya, atau kau akan mendapati hari sial," lanjut
Randu.
Aku ingin
bertanya, namun isyarat mata Randu mengurungkan niatku.
Setelah
sampai di halte tempat biasa kami menunggu mobil jemputan kampus, aku baru
berani bertanya.
"Aku
penasaran pada gadis itu. Aku menjulukinya girl on the window," paparku.
Randu tak merasa heran. Dia mulai membuka komik doraemon kesayangannya.
"Kenapa
kau bilang tadi akan sial?" lagi aku tanya. Rasa ingin tahuku begitu
besar.
Randu
menutup komik bawaannya. "Namanya Husna. Asma'ul Husna. Menurut cerita dia
peramal yang handal."
Aku
terkesiap. Untuk nama seindah itu berprofesi sebagai peramal? Mustahil.
"Namun
dia menjadi gila, sesaat setelah mengetahui ajalnya tak berapa lama lagi."
Mataku
membulat tak percaya. "Kau bercanda," tangkisku.
Namun
Randu mengedikan bahu, " Terserah mau percaya atau tidak. Menurut cerita
yang kudengar seperti itu."
Aku terdiam.
Hatiku menangkal apa yang kudengar. Tak mungkin gadis secantik Husna jadi
peramal dan sekarang gila. Ini tak masuk akal.
****
Masih
sama. Aktivitas Husna tak jauh berbeda. Berdiri di belakang jendela dengan
tatapan yang tetap kosong. Agak sedikit beda hari ini karena baju hitam
berenda-renda yang dipakainya dilengkapi dengan kain panjang penutup kepala
warna hitam senada. Mungkin itu jilbab, batinku.
Husna
terlihat lebih manis jika seluruh auratnya tertutup seperti sekarang. Meski
masih agak pucat, tapi menarik bagiku.
"Astaghfirullahaladzim,"
cepat-cepat kupindahkan pandanganku dari wajahnya.
Bukan
karena takut menemui hari sial seperti yang Randu bilang, namun aku tak mau
menikmati wajah lawan jenis yang bukan mahromku.
Jujur,
terkadang ada rasa takut jika harus melewati jalan samping kost ku ini sendiri.
Suka merinding ketika tanpa sengaja kudapati Husna tertawa cekikikan, atau saat
tak kutemui dia berdiri di balik jendela dan lamat-lamat kudengar suara jeritan
histeris.
"Dia
lagi kumat," biasanya Randu akan berucap seperti itu.
"Husna
sedang diruwat dan yang menjerit itu setan yang ada di dalam tubuhnya."
Komentar asal Randu.
Aku tak
pernah begitu saja percaya ucapannya. Pemuda kocak teman kost ku itu memang
suka berkelakar.
Sebenarnya
ada jalan lain selain jalan samping kost ku ini. namun aku jarang sekali
melewatinya. Selain karena rutenya memutar dan akan lebih jauh untuk mencapai
halte tempat biasa aku menanti bus jemputan kampus, tapi juga jalan alternatif
lain itu banyak sekali preman yang suka mangkal malak anak kuliahan seperti
aku. Bukan berarti takut, tapi cari aman saja.
Dan juga,
aku jadi lebih tahu kebiasaan-kebiasaan rutin Husna, girl on the window penarik
perhatianku.
Seperti
hari ini, aku tahu jadwal Husna untuk diteraphy. Lebih enak kusebut begitu
daripada diruwat seperti kata Randu. Ada seorang Ustadz dilihat dari pakaiannya
serta sorban di kepalanya akan selalu datang ke rumah Husna. Sudah kuhafal luar
kepala Ustadz itu akan menanti bus di halte yang sama denganku.
"Baru
dari rumah Mbak Husna ya, Ust?" kuberanikan diri bertanya.
Ustadz
itu memandang sebentar ke arahku dan kemudian tersenyum ramah. Tak lama
berselang, obrolan akrab telah terjalin di antara kita. Dari beliaulah kutahu
Husna tidak gila.
"Mbak
Husna suka sekali mendengar lantunan ayat suci. Itu akan mengingatkan pada
tunangannya," tutur Pak Ustadz itu.
Aku yakin
sekali Husna tidak gila. Hanya sedikit terganggu jiwanya karena kata Pak
Ustadz, tunangannya pergi pas di acara lamaran yang diadakan.
"Dia
sedang mengalami NADIR dalam hidupnya," lanjut Pak Ustadz.
Aku
mengangguk-angguk. Masuk akal memang.
****
Sore yang
cerah aku tak ada kegiatan. Tak ayal mendadak aku ingin menulis. Memang
laki-laki teman sefakultasku jarang yang masih memiliki diary sepertiku. Ah,
apa salahnya? Meski terlihat seperti hobby perempuan, yang penting aku suka.
Cukup itu saja.
Dari
ujung gang depan kost ku samar-samar kutangkap dua orang berjalan mendekat ke
arahku. Baju hitam itu. Aku tak asing pada baju hitam itu. Baju yang sama
seperti milik Husna.
Saat
sudah agak dekat baru kuyakini tebakanku benar. Dia Husna bersama wanita paruh
baya, mungkin beliau adalah ibunya. Ini pertama kalinya aku melihat Husna bukan
melalui bingkai jendela, namun melalui tatapan langsung. Husna benar-benar
memukau.
Aku
tersenyum mengangguk sebagai bentuk ramah tamah. Bukan senyum balasan malah
yang ada amukan mengerikan.
"Pergi
kau dari hidupku! Penipu!" Terang saja aku kaget. Husna merebut buku yang
sedang kupegang, merobek kertas di dalamnya dan membuangnya begitu saja.
"Eh,
maaf. Maafkan anakku, Nak." Ibu Husna berucap tak enak hati. Aku tersenyum
menanggapi. Kukatakan aku tak mempermasalahkan hal ini.
Dan
merekapun pergi. Tak sengaja kutangkap sinar ketakutan dan trauma yang mendalam
dari mata Husna.
"Rumor
yang beredar, dulu Husna bisa menuliskan kematian," terang Bapak kostku.
Seketika itu juga setelah Husna dan ibunya menghilang aku bercerita tentang apa
yang baru saja terjadi.
Alisku
mengeryit, "Berarti benar kalau Husna peramal?"
"Konon
dia mendapatkan buku ajaib itu dari seorang peri. Apapun yang ditulis Husna
pada buku itu, maka esoknya hal tersebut akan terjadi."
"Seperti
sihir," bisikku lirih.
"Entahlah,
aku sebenarnya tak percaya. Sebelum..."
"Sebelum
apa, Pak?" kejarku.
"Sebelum
akhirnya aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Husna menjerit seperti
kesetanan tepat di hari pertunanganmya."
Aku tak
berkomentar. Aku sedikit berpikir, kalau memang Husna yang menuliskan kegagalan
pertunangannya sendiri, mengapa ia harus gila? Ini janggal.
****
Penasaranku
pada Husna semakin menjadi-jadi lantas berubah menjadi simpatik. Seharusnya ia
bisa belajar IKHLAS.
Aku
berusaha sekuat tenaga untuk bisa bertemu dengan Husna lagi. Aku ingin
berbicara dengannya. Aku bersaha membujuk ibunya untuk mengijinkanku bertemu
Husna dan IKHTIARku berhasil. Meski dengan wanti-wanti yang tak berkesudahan,
ibu Husna memberikan aku waktu untuk melihat Husna.
"Kalau
Husna mulai tak suka, kamu segera menjauh saja," pesan ibu Husna.
Aku
mengangguk. Lantas aku mengikuti langkah wanita paruh baya itu menuju teras
belakang rumahnya. Tempat favorit Husna begitulah keterangan yang dipaparkan
Ibu Husna.
Aku
melihatnya. Aku menyaksikan Husna sedang asyik memberi makan pada ikan di kolam
kecil di hadapannya. Aku melihatnya. Dia tetap memakai baju warna hitam. Husna
tetap diam meski dia menyadari aku ada di sebelahnya.
"Maafkan
atas kejadian kemarin, Nak." Teguran ibu Husna mengagetkanku. Aku
mengangguk takzim.
"Kamu
percaya apa yang orang-orang itu bilang tentang Husna?" tanya Ibu Husna
lagi, aku menggeleng.
"Aku
yang salah, Nak. Dan aku menyesal karena keegoisanku Husna mengalami hal
ini," lanjutnya.
Dalam
hatiku terkejut, tapi aku berusaha menguasai keadaan. Kutunggu Ibu Husna
melanjutkan penjelasannya.
"Aku
yang mengarang cerita tentang Husna dan buku itu. Aku malu karena pertunangan
Husna harus gagal karena kekurangan Husna. Tapi aku tak pernah berpikir jika
akibatnya anakku jadi begini." Ada sendu di bola mata Ibu Husna. Ada
penyesalan yang dalam pada setiap kata-katanya.
"Calon
tunangan Husna tak mau jika ia mendapati calon istri yang mengidap epilepsi.
Dia tak datang, tak pernah datang. Di saat yang bersamaan di hari pertunangan
itu, penyakit Husna kambuh disaksikan tamu undangan."
Aku
memperhatikan dengan seksama. Kuamati Husna yang tetap asyik dengan
ikan-ikannya.
"Aku
yang menulis di buku itu. Aku yang menyebarkan berita bahwa Husna bisa
menuliskan kematian. Aku yang menyebabkan Husna gila, Nak. Dan aku
menyesal."
Aku
terharu. Tak tahu kata-kata apa yang tepat untuk memberi kekuatan pada Ibu
Husna.
"Bu,
bolehkah aku mengkhitbah Husna?" tanyaku lirih.
Ibu Husna
memangdangku tak percaya. Dan akupun menunduk. Aku tak tahu kata yang tepat
untuk menenangkan mereka. Hanya kata itu yang aku ucapkan. Cukup kata itu.
Tamat.
Taiwan,
18.07.12
0 Suara:
Posting Komentar