Diberdayakan oleh Blogger.

Senin, 28 Mei 2012

Ampuni Aku, Lara

Jangan mati. Kau penentu nasibku Noki. Harapanku semua ada di dirimu, kumohon.

"Mau diapain tu hape jadulnya, Kak?" adikku yang ceriwis bin crigis itu ingin tahu. Aku diam saja.

"Udah jadi fosil mah buang aja, Kak. Lagian emang nggak malu apa nanti bila dijejerin sama android baru kakak?"

Sudah kubilang kan kalau adikku itu ceriwisnya minta amplop? Andai aku tak menjawab bakal ada pertanyaan lanjutan sampai entah berapa nantinya.

"Unik aja, Dik. Jaman sekarang handphone seperti Noki sudah jarang ditemukan. Siapa tahu bisa laku mahal kalau dijual. Kan barang langka," jawabku asal.

Bukan adikku jika puas hanya dengan jawabanku tadi. Anak super besar rasa ingin tahunya itu tak mungkin mau beranjak sebelum dia merasa yakin atas kebenaran jawabanku.

"Aneh, sepulang kakak membeli smartphone terbaru itu tiba-tiba saja kakak ingin Noki hidup. Apa bukan cuma alasan kakak saja?"

Aku mengerutkan kening, "Maksudnya?"

"Ya, di counter handphone itu kan ada cewek cantik yang kakak taksir, 'kan? Dari semenjak kita datang sampai akhirnya dapat hape baru untuk kakak, tu mata tak beralih dari cewek penjaga counter itu." sambil telunjuk mungilnya menunjuk mataku.

Ni anak selain ceriwis juga punya analisa yang tepat. Aku bungkam.

"Bisa saja itu akal-akalannya kakak agar bisa kembali lagi ke counter itu. Pura-puranya saja nyervice handphone. Tak tahunya ada udang di balik bakwan."

Aku tersenyum menanggapi gurauan si ceriwis. Sambil tanganku terus memencet-mencetNoki berharap bisa hidup.

"Sudah move on nih ceritanya? Sepeninggal Kak Mona sepertinya kakak susah membuka hati lagi."

Adikku benar-benar pemerhati sejati. Bagaimana dia tahu aku sampai sekarang pun tak bisa melupakan mantanku Mona?

"Anak kecil tahu apa?" celaku. Bukan berarti dengan begitu si ceriwis ini akan berhenti menganalisa ya? Sudah bisa kupastikan dia tambah gencar.

"Buktinya kakak pingin Noki hidup lagi. Fosil penyimpan seribu kenangan tentang kak Mona. Bukannya sudah dibanting semenjak Kak Mona mutusin kakak tiga tahun yang lalu? Aku yakin juga kakak alergi menyentuh Noki. Tapi sekarang?"

Hebat! Aku jadi tersadar, ternyata sudah lama juga aku terpuruk menyesali kepergian Mona dan menutup hatiku rapat-rapat untuk orang lain.

"Dasar ceriwis suka usil," cuma itu tanggapanku. Aku tak ingin adikku makin menguak kebenaran yang hakiki, bahwa aku masih mencintai Mona.

"Kakak pergi dulu, ya?" kuusap kepala adikku lembut.

Jalan yang paling tepat untuk menghindari interogasi si ceriwis, kabur darinya.

****

Aku harus mengakhiri rasa bersalahku yang menghantui hidupku sampai sekarang. Karenanya aku ingin kau hidup Noki, di dirimu ada nomor handphonenya.

"Masih belum berhasilkah kakakku?" tiba-tiba ceriwis sudah ada di sampingku.

Memandangku penuh muka selidik ketika di tanganku didapatinya menimang-nimangNoki. Nama yang kuberikan pada handphone jadul punyaku.

"Lara namanya," gumamku.

"Bukan karena dia mirip Kak Mona, 'kan? Kuamati sepintas senyum mereka sama."

Aku melirik malas pada adikku lantas menggedikkan bahu.

"Entahlah. Maybe yes maybe no," ucapku korban iklan.

Upz, kalau jawaban seperti itu pasti akan memancing keingintahuan si ceriwis. Ah, aku salah ucap.

"Dia ada hubungannya dengan Kak Mona, aku yakin itu." Si ceriwis manggut-manggut.

Benar saja dugaanku, dia mulai menganalisa dengan rahasia yang kusimpan. Ketakutanku mulai timbul andai saja adikku mengetahuinya.

"Berarti dia teman sekolah kakak dulu. Kenapa dia bisa tak mengenali kakak?"

Aku menghela nafas. Menyerah. Adikku memang masih duduk di bangku kelas VII, tapi jiwa keingintahuannya melonjak melebihi ibu-ibu komplek tukang ngrumpi. Pas jika si ceriwis jadi detective.

"Sepertinya dia anak kuper, mungkin kutu buku," tebak si ceriwis.

"Lara itu juara kelas, lugu dan pendiam. Dia anak yang sopan kebanggaan keluarganya." Sedikit kubeberkan tentang Lara.

"Bukan level Kak Mona. Dan kurasa bukan karena Lara telah mengganti posisi Kak Mona hingga kakak rela menyentuh Noki lagi."

Mama, kenapa bisa si ceriwis beda jauh denganku yang lebih memilih diam ketimbang tahu urusan orang lain? Kau beri makan apa dulu, Ma?

"Sepertinya kakak merasa bersalah pada Kak Lara."

"Aku hanya ingin tahu no handphonenya saja, Dik. Dan Noki yang mati ini menyimpannya."

Sontak adikku menepuk pundakku. Aku terkejut.

"Gampang itu mah!" katanya riang.
"Besok aku ke counter itu dan menanyakannya langsung. Jadi tak perlu repot-repot menyulap Noki untuk hidup kembali. Kasihan Noki jika dipaksa bekerja, dia kan korban keganasan lelaki patah hati."

Aku tersenyum kecil. Sialan. Si ceriwis memang benar-benar crigis.

"Betul juga idemu." Adikku sumringah. Merasa di atas angin kepandaiannya kuakui, meski memang sebenarnya ceriwis tak cuma pandai tapi jenius.

"Gratis 'kan?" tanyaku memastikan. Biasanya ceriwis meminta imbalan.

"Demi kakakku move on kali ini aku terpaksa ikhlas."

Hhh... dasar ceriwis. Aku geleng-geleng kepala.

****

"Dapat nggak?" tembakku langsung.

Muka adikku tampak murung, sepertinya telah terjadi sesuatu padanya.

"Ada apa? Jangan bermain tebak-tebak an ah, Kakak sedang nggak mood," kucoba cairkan suasana. Namun si ceriwis tetap saja bungkam malah sekarang matanya tajam menatapku.

"Kakak benar-benar tak punya hati," ucap ceriwis. Matanya tak beralih dariku.

"Tega-teganya Kakak pada kak Lara," lanjutnya.

Apa-apaan ini? Apa Lara sudah menceritakan kejadian iseng yang kulakukan dulu? sehingga adikku melotot padaku tanpa henti?

"Maksud kamu apa? Kakak nggak ngerti," kilahku.

Semoga saja si ceriwis tak menangkap ada kekhawatiran dari sorot mataku.

"Jahat." ceriwis serius.

Aku mulai ketakutan.

"Dik, kakak tak berniat seperti itu. Dulu kakak tak sengaja." tanganku berkeringat dingin.

"Ya kakak memang salah, maka dari itu kakak ingin minta maaf. Kakak nggak bermaksud menghancurkan masa depan kak Lara. Hanya saja dulu kakak sangat mencintai Kak Mona," terangku.

Si Ceriwis mengerutkan kening.

"Nggak ngerti maksud kakak," mukanya bingung.

"Lara pasti sudah menceritakan padamu," pancingku. Adikku menggeleng perlahan.

"Dia tak cerita apapun? Lantas kenapa kamu katakan kakak jahat?"

Adikku menghela nafas. "Seperti rencana kita kemarin, aku tadi ke counter itu pura-puranya mau nyervice Noki."

"Lalu?" kejarku.

"Ya, kakak tega."

Si ceriwis meletakkan Noki di hadapanku.

"Sebenarnya kak Lara mengenali kakak waktu itu, akan tetapi dia diam saja."

Deg deg deg. Suara di dalam dadaku berpacu bersama dengan itu wajahku memanas. Apakah adikku tahu kejadian waktu itu?

"Kakak harus segera minta maaf pada kak Lara, beberapa waktu lalu ibu kak Lara meninggal dunia."

"Innalillahi wa inna illaihi rojiun."

"Semenjak ayah kak Lara meninggal, ibu kak Lara sering sakit-sakitan. Dan akhirnya beliau pun dipanggil Tuhan. Sebagai teman harusnya kakak ikut berbela sungkawa waktu itu, tapi malah kakak pura-pura tak kenal saat bertemu."

"Jadi Lara sekarang yatim piatu?" aku tertunduk lemas.

Adikku bengong, "Kasihan kak Lara, dia harus banting tulang menghidupi adik-adiknya. Kakak tahu nggak kenapa ayah kak Lara meninggal? Apa beliau juga sakit?"

Sontak aku kaget. "Lara tak cerita padamu?"

Si Ceriwis menggeleng cepat.

****

Beberapa lembar daun akasia berserakan di tanah. Aku duduk termenung di bangku kayu bawah pohon akasia. Menunggu datangnya Lara di taman sekolah tempat almarhum ayah Lara dulu mengajar.

Angin memainkan anak rambutku yang sudah gondron. Aku nikmati desaunya memaksa daun-daun saling bergesekan mengalunkan melodi alam.

"Maaf terlambat," suara Lara mengejutkanku.

Senyum manisku menyambutnya lalu aku bergeser sedikit memberinya tempat untuk duduk.

"Kenapa memilih tempat ini?" tanya lara padaku.

Aku mengamatinya dengan ekor mataku. Tatapan Lara memandang cakrawala.

"Kamu masih ingat Mona?" awal kata yang kuucap. Sekedar sedikit mengingatkan akan masa SMA.

"Yang dulu jadi pacarmu itu, ya?" jawabnya.
"Aku ingat. Bagaimana kabarnya?"

Tanpa kaca mata minus yang dulu bertengger di hidungnya sebenarnya Lara manis. Seperti yang ceriwis bilang, luwes dalam segala hal.

"Maafkan aku." lirihku.

Lara menoleh memandangku, "Untuk tak menyapaku pertama kali bertemu di counter itu? Hahaha, santai saja lah. Rata-rata orang bilang aku banyak berubah."

Aku bersandar pada bangku kayu yang kami duduki.

"Untuk keisengan yang berakibat fatal pada hidupmu."

Lara beringsut menghadapku, "Aku tak mengerti. Apa karena dulu aku nekat menaruh kertas bertulis puisi cinta di buku pelajaranmu?"

Mataku terbelalak, kulucuti muka Lara mencari pertanda. Namun yang kudapatkan tatapan mata sungguh-sungguh.

"Jadi puisi itu milik kamu? Bukan Mona penulisnya? Lantas inisial R itu bukan Ramona?"

Lara terkikik geli "R dari Ribut. Nama panggilanku waktu masih kecil. Layaknya julukan itu aku dulunya biang ribut di keluarga."

Dia tertawa.

"Aku bersalah padamu, Lara. Ampuni aku." Aku tertunduk dalam.

"Sudahlah, itu semua masa lalu."

Kugenggam tangan Lara kuat-kuat, dia kebingungan.

"Aku yang menyebabkan ayahmu meninggal."

Lara menatapku semakin tajam. Memori kita berlari-lari berlomba pada peristiwa tiga tahun silam. Kejadian yang menggemparkan warga tentang seorang guru bunuh diri karena anak gadisnya yang juara kelas tak lulus ujian nasional.

"Aku yang menaruh kertas contekan di laci mejamu. Mona yang memintaku."

Seketika itu juga Lara menarik tangannya dari genggamanku. Wajahnya berpaling dariku dan mengeras.

"Aku pikir puisi itu Mona yang membuatnya. Ketika kuutarakan perasaanku dia mengajukan satu syarat," suaraku gemetar.

Lara masih bungkam.

"Dia yang menyuruhku meletakkan contekan itu, dan membuat pengawas memergokinya."

Aku berusaha meraih tangan Lara kembali namun dihempaskannya.

"Kamu tahu apa yang kurasa saat itu? Ketika aku harus keluar ruang ujian dan mendapatkan nilai nol? Kamu merasakan pedihnya? Kamu tahu bagaimana rasa kecewaku?"

Dia menelungkupkan kedua tangan ke mukanya. Bahunya terguncang hebat.

Kurengkuh Lara kepelukanku, "Maafkan aku, Lara. Ampuni aku."

Tamat.

Taiwan, 250512

0 Suara:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites