Diberdayakan oleh Blogger.

Sabtu, 12 Mei 2012

GARIS TANGAN TUHAN




"...Mom, please tell him, I'm here..." 


What? Imposible! Nggak akan mungkin aku lakukan. Apa kau pikir itu hal mudah? Memberitahukan kepada semua orang keberadaanmu? Lalu bagaimana masa depanku? 

Ringan sekali kau bilang itu, karena kau tak merasakannya. Telingamu tak akan pernah mendengar nyinyirnya orang bicara. Matamu tak akan melihat secara langsung muka orang yang memandangku dengan jijiknya. Dan hatimu tak akan merasakan sakitnya dihakimi tanpa bisa membela diri. 

Ini salah siapa? Oke, salahku karena tak bisa menjaga hal ini terjadi. Sekarang lihat, pakianku rapat, sholat tak pernah alpha, mengaji pun rutin. Solehah, itu sudah melekat sebagai image-ku, tapi ini masih saja terjadi padaku. Aku tak mengundang syahwat mereka, bahkan aku menghindarinya. Kenyataannya masih saja hal ini menimpaku. Dan kau lihat, wanita-wanita yang membuka aurat itu, yang memamerkan tubuhnya setiap waktu, yang sholat pun tak pernah bahkan tak kenal huruf hijaiyah. Kenapa bukan mereka saja? Adilkah? 

Malam itu aku pulang mengaji, menimba ilmu Tuhan. Belum terlalu malam untuk ukuranku, sekitar jam 8 petang. Dan kejadian naas itu terjadi. Aku dihadang 2 orang preman yang sedang mabuk alkohol. Mereka dengan ganasnya merenggut kesucianku, seperti hewan melahap mangsanya. Asal kau tahu, aku tidak diam saja saat itu. Aku meronta, menjerit sekuat tenaga, meminta pertolongan pada siapa saja. Namun tak ada yang peduli. Bahkan para biadab itu meninggalkanku begitu saja tanpa sehelai benangpun di lorong gang sempit. 

Dan kemudian aku hanya bisa menangis tersedu. Aku sudah tak mampu lagi berteriak, tak bisa berbuat apa-apa lagi. Yang kulakukan hanya memeluk lututku untuk menghalau dinginnya malam, sambil mengumpulkan sisa-sisa tenagaku untuk bangkit. Untukku berdiri lagi dan berjalan meninggalkan lorong biadab ini. Dan selanjutnya, aku harus melangkah menghadapi garis takdir Tuhan di kemudian waktu. Serta meninggalkan semua kelu yang baru saja kurasakan. 

@_@ 

Kemudian setelah hari itu, aku tak pernah tenang menghadapi semuanya. Aku gelisah, aku rapuh, aku galau, kau tahu kenapa? Aku trauma. Setiap malam aku dihinggapi mimpi buruk, mimpi yang sama, perasaan yang sama. Aku takut kalau itu terjadi lagi dan lagi. Bahkan untuk keluar kamar pun aku tak mampu. Bukan aku tak punya tenaga, namun aku tak bisa. Dalam pikiranku, biadab-biadab macam mereka pasti banyak berkeliaran di semua tempat. Tak perduli di tempat yang ramai, atau pun sepi. Di tempat yang aman maupun rawan. Makhluk bengis itu selalu ada dan tak kan pernah hilang. Namun semuanya telah terjadi padaku, aku harus berani menghadapinya sendiri. Meskipun kalau boleh jujur, aku butuh perlindungan. 

Dan kau hadir setelahnya. Saat aku begitu kalut menghadapi trauma. Kau tumbuh dengan sempurna dan nyata. Mungkin bagi sebagian orang kau buah cinta, tapi aku? Pantaskah kau kusebut begitu? Dan tanpa belas kasihan kau memberiku beban yang lebih berat lagi. Mempertahankanmu, membiarkanmu mengenal dunia yang kutahu itu adalah hak mu. Ini semua tidak mudah. 


@_@ 


Baiklah, kau perlu tahu ini. Saat ayah dan ibuku tahu aku mengalami perubahan, mereka menanyakan apa yang terjadi padaku, dan aku ceritakan semuanya. Berikutnya aku jadi merasa bersalah. Ayahku marah besar, dan ibuku menangis tersedu. Di wajahnya tersirat kemarahan dan bercampur kekecewaan yang entah ditujukan kepada siapa. Mungkin juga ditujukan untukku. Aku anak gadis satu-satunya. Di pundakku lah harapan meraka nantinya diletakkan. Dan kini semua sirna dalam sekejab. Tak ada lagi yang bisa mereka banggakan dariku, tak ada sesuatu yang bisa mereka harapkan dariku . Tak ada sama sekali. Apa dengan begitu aku harus diam saja? Hatiku pedih karenanya. 

Keadilan. Untuk hal ini juga kau perlu mengerti. Orang tuaku melapor ke pihak berwajib minta kasusku diusut tuntas. Setidaknya manusia berwatak hewan yang telah mengotoriku itu bisa diberi ganjaran setimpal. Katakan saja lima atau sepuluh atau mungkin hanya tiga tahun penjara. Namun, oknum yang diharapkan menjadi tempat perlindungan itu meminta hal yang teramat mengecewakan. Mereka minta barang bukti, hasil visum yang mengatakan semua ini terjadi karena paksaan, bukan suka sama suka. Jelas saja aku tak punya barang bukti. Tak ada saksi mata waktu hari naas itu terjadi. 

Oya, penegak keadilan itu menyayangkan tindakanku yang tak segera melapor setelah kejadian. 

Gila! Para pelindung masyarakat itu berpikir, seharusnya setelah biadab-biadab itu puas menggagahi aku, maka aku harus segera mengumpulkan barang bukti berupa sperma pelaku. Entah dilap pake tissu atau kain atau apapun. Kemudian pergi ke kantor polisi dan melapor kepada petugas yang jaga bahwa, 

Pak, saya baru saja diperkosa! Ini buktinya. 

Bukan seperti tindakan bodoh yang kulakukan, menangis memeluk lutut mengumpulkan sisa-sisa kekuatan untuk mencoba bangkit dan bertahan. 

Lain ceritanya kalau aku mati kala itu dan meninggalkan surat wasiat bahwa aku korban pemerkosaan. 


@_@ 


Banyak faktor mengapa aku menginginkanmu pergi, sebagai contoh : 

Pertama masa depanku. Umurku masih belia, belum genap 17 tahun. Dan aku masih mengenyam pendidikan di bangku SMA. Andai kau kupertahankan, bagaimana dengan sekolahku? Bisa jadi aku berjuang mengeluarkanmu sedang teman-temanku berjuang mengerjakan UNAS. Setelah mereka lulus, akan dihiasi kebahagiaan dan berlomba-lomba meraih universitas impian. Sedangkan aku? Akan berkutat dengan popok dan ASI eksklusif. 

Yang kedua. Jauh sebelum yang pertama terjadi. Andai aku menikah untuk menutupi adanya dirimu. Yang jadi pertanyaan adalah, adakah orang yang mau menerima keadaanku? Dengan kejamnya dunia saat ini, orang yang mau menikahiku pun minta bayaran uang. 

Lantas yang ketiga. Andai opsi yang kedua dibalik. Aku tidak menikah dan nekat membesarkanmu sendiri. Apa kata orang nantinya? Cap buruk pasti akan menempel di kehidupan kita selamanya. Ingat! Selamanya. Tidak hanya saat kau masih dalam perut atau saat kau sudah lahir, namun ketika kau telah tumbuh besar pun cap buruk itu akan terus ada. Anak haram, akan selalu melekat di dirimu. Tak ngeri kah kau mendengarnya? 

Oke, yang keempat. Mempertahankanmu itu tidak mudah. Mengandungmu selama 9 bulan itu melelahkan. Melahirkanmu ke dunia itu menyakitkan. Taruhannya nyawa. Dan membesarkanmu itu yang paling sulit. Tidak hanya memberi makan, tapi memberimu kehrdupan yang layak. Lantas mendidikmu kepandaian dan menjadikanmu pribadi yang baik itu juga teramat susah. Kau tahu? Semuanya nanti dimintai pertanggung jawaban oleh sang pencipta manusia. 

Dan masih banyak alasan-alasan lain yang melatar belakangi keinganku agar kau tak ada di hidupku. Yang tak mungkin kujabarkan satu per satu di sini. 

Sekarang dengan mudahnya kau bilang, "Aku mohon, Bunda. Biarkan aku ada." 

Baiklah jika kau memaksa. Sebutkan satu alasan, cukup satu saja mengapa aku harus mempertahankanmu. Dimulai dari sekarang. 


@_@ 


Sore itu aku berada di alun-alun kota. Suasana tak begitu ramai, pas sekali untuk orang-orang yang ingin ketenangan sepertiku. Aku duduk di bangku bagian pinggir alun-alun. Tak jauh dari tempatku berada, ada seorang wanita. Aku lihat dari wajahnya kisaran umur 35 tahunan. Wanita itu duduk termenung dengan mata menerawang entah kemana. Dan untuk selanjutnya kulihat wanita itu mulai menitikkan air mata. Entah mengapa aku jadi terharu melihatnya, maka kuberanikan diri mendekatinya dan menawarkan tissu yang kubawa. 

"Mbak kenapa menangis?" 

Dia menatapku sekilas dan menerima tissu yang kuulurkan. 

"Terimakasih," jawabnya singkat. 

Kubiarkan dia tenang dan puas menumpahkan air mata. Aku hanya terdiam di sebelahnya. Tak berapa lama setelah tangisnya reda, wanita itu mulai bertutur kepadaku. 

"Aku dicerai suamiku, Dik." Katanya memulai cerita. "Aku bukan wanita sempurna." 

"Mbak itu cantik, diluar sana banyak orang yang mau menerima Mbak apa adanya, itu pasti." Aku mencoba menghibur. 

Aku tak tahu apa kata-kata yang tepat untuk membesarkan hatinya, aku sendiri juga sedang galau. 

"Kecantikan itu tak ada arti," kata wanita itu. 

Aku mengerti perasaannya, dia sekarang sedang merasa teramat putus asa. Aku bisa maklum karena aku juga sedang mengalami hal yang sama, meski berbeda kasus. 

"Semua orang punya kekurangan dan kelebihan, aku yakin Mbak bisa melewati ini semua." 

Sebenarnya aku tak yakin pada kata-kataku sendiri. Apa aku juga bisa melewati semua? 

"Kau tahu kenapa suamiku menceraikanku?" Wanita itu bertanya padaku. Tentu saja aku mengggeleng. 

"Tidak." 

"Aku bisa mencapai segalanya, Dik. Karirku cemerlang, uang tak jadi masalah dalam keluarga kami. Aku juga wanita setia, begitupun suamiku. Tapi..." Wanita itu terdiam, dia tak melanjutkan kata-katanya. 

"Tapi apa, Mbak?" aku mulai penasaran. 

"Tapi aku bukan wanita sempurna. Aku tak bisa memberikan suamiku keturunan. Aku tak bisa hamil," katanya. 

Semuanya terdengar begitu mengejutkan bagiku. Wanita itu tak bisa hamil? Mandulkah? 

"Andai bisa bertukar tempat, aku ingin berada di tempat itu. Di dalam diri wanita yang bisa hamil. Karena itu adalah hal yang menyempurnakan kita sebagai wanita." Dia melanjutkan ucapannya lagi. 

Dari sini aku sudah tidak bisa berpikir jernih. Mataku mulai meremang. 

"Kau tahu? semua harta, jabatan, bagiku tak ada arti. Aku hanya ingin bisa hamil, bisa melahirkan dan mempunyai keturunan untuk aset di masa tua. Aku ingin punya anak. Bisa menggendongnya, memeluk tubuh mungilnya." Wanita itu masih terus bercerita. 

Aku sudah tak sanggup lagi mendengarnya. Air mataku mulai menetes. 

"Bisa mendengar tangisnya, mengajaknya bercanda. Aku merindukan hal itu, Dik. Aku ingin di dalam perutku ini ada bayi tumbuh," lanjutnya lagi. 

Tidak! Aku menggeleng kuat. Aku tak kuasa mendengarnya lagi. Rasa bersalahku muncul bersamaan dengan tanganku meraba perutku yang masih rata. 

"Please forgive me, honey. Kita hadapi semua bersama, ya. Bunda pasti melindungimu," bisikku pada dirimu. 

Selesai. 

Taiwan in Sofa kedamaian. 
29112011. 
Jeet Veno_Mena Ayu.

0 Suara:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites