Hari kepulanganku hampir tiba. Sebentar lagi aku akan mudik meninggalkan pengapnya ibukota. Istirahat sebentar dari rutinitas yang padat yang terkadang terasa membosankan dan membuat penat.
Aku bekerja pada sebuah Weeding Organizer milik seorang artis kawakan di Jakarta. Beberapa bulan ini, team WO kami begitu sibuk mengurusi persiapan pernikahan beberapa insan ternama. Dan setelah semua selesai, aku mendapat hak cuti beberapa minggu. Aku ingin pulang ke kota asalku, Magelang, kotanya Borobudur.
Kerinduanku terasa sudah sampai di ubun-ubun terhadap rumahku. Aku begitu tak sabar ingin cepat sampai di perumahan tempat tinggalku. Selain keluarga yang begitu kucinta, ada juga seorang yang ingin sekali kumelihatnya. Dia orang yang selama ini merajai hatiku. Dia adalah tetanggaku, sudah kuanggap seperti kakakku, sahabatku, pelindungku, dan aku berharap dia yang nantinya akan menjadi... Ah, tidak. Mas Aji itu sudah beristri.
Pagi-pagi buta aku sudah sampai di Perum PUJT Wates, Magelang. Kelelahanku akibat berkendaraan menguap seketika melihat raut muka bahagia keluargaku. Mereka mengaku terkejut melihat kepulanganku. Memang aku sengaja tidak memberi kabar, biar jadi surprise.
"Bu, gudeg Taman Bada'an masih jualan ndak, tho? Aku pingin sarapan gudeg," kataku pada Ibuku pagi itu.
"Yo masih lah, Nduk. Kalau kamu pingin sarapan gudeg, biar nanti Ibu suruh Angger adikmu pergi membeli." jawab ibuku.
"Ndak usah, Bu. Biar aku beli sendiri saja sekalian jalan-jalan." Aku menolak tawaran Ibu.
"Kamu ndak capek?"
"Ndak kok , Bu."
Gimana aku bisa capek? Seingatku kalau tidak berubah, jam-jam segini Mas Aji pasti sedang olahraga jogging di area Taman Bada'an. Dan setelah itu dia pasti mampir ke warung gudeg untuk membeli sarapan. Kalau beruntung aku bisa bertemu Mas Aji disana. Aku sudah kangen sekali pada Mas ku itu.
Kupercepat langkahku di trotoar jalan, warung gudeg tujuanku sudah nampak. Kulangkahkan kakiku lebar-lebar agar cepat sampai. Dan Dewi fortuna sepertinya berpihak padaku, karena ternyata benar, aku bertemu Mas Aji di sana. Namun yang membuatku agak sedikit kecewa Mas Aji sedang bersama-sama Mbak Eni, istriya.
Aku pura-pura tak melihat Mas Aji yang berdiri di depanku. Sedang Mbak Eni berdiri tak jauh dari suaminya. Dengan cueknya aku memesan nasi gudeg untuk dibungkus dibawa pulang. Mas Aji menoleh kebelakang begitu mendengar teriakanku yang lantang. Air mukanya nampak terkejut tak percaya melihat aku yang berdiri dibelakangnya.
"Lina, kapan pulang cah ayu? Walah, kok tambah manis saja dirimu," sapa Mas Aji yang membuatku tersipu.
Aku bisa merasakan pipiku meremang karena panas. Degup jantungku tak beraturan lagi begitu mendengar suara orang yang selama ini kurindu.
"Baru tadi pagi, Mas," jawabku tersipu. Dalam hatiku berharap semoga mukaku tak bertambah merona karna senyum itu. Senyum khas Mas Aji yang selalu memukauku.
"Dik, ini Lina, masih ingat tidak?" Mas Aji memberitahu istrinya yang sedari tadi berdiri diam disisinya.
"Lina putrane Pak Heri?" Mbak Eni bertanya pada suaminya. "Lha kok tambah cantik saja, kapan pulang, cah ayu?" lanjutnya bertanya padaku.
"Tadi pagi, Mbak. Ini langsung kemari, kangen pingin makan gudheg. Mbak Eni gimana kabar?"
"Alhamdulillah sehat, tambah cantik saja, jadi pangling aku. Tak kiro tadi cewek mana gitu," goda Mbak Eni. Dia berkata seraya membetulkan letak jilbabnya.
Aku hanya tersenyum menanggapinya. Dari dulu Mbak Eni ga berubah. Tetap lemah lembut dan bersahaja. Itu salah satu alasan mengapa aku begitu segan padanya. Dia benar-benar menggambarkan muslimah sejati, yang membuat aku rela melepaskan Mas Aji dan merestui hubungan mereka. Ups stop! Apa-apaan aku ini? Mas Aji kan bukan siapa-siapa aku.
@@@
Aku memang menyukai Mas Aji dari dulu. Sepertinya aku mengidap Electracomplex, karena pantasnya Mas Aji itu menjadi ayahku. Eh, jangan ayah, terlalu tua. Mas Aji itu lebih pantas jadi Om ku karena umur kita terpaut lumayan jauh, kurang lebih sekitar 15 tahun. Namun bukankah cinta tidak kenal siapa dan tak pandang usia? Itu sebabnya aku tetap saja menyayangi sosok tetanggaku itu. Meskipun kenyataannya sekarang dia telah beristri, rasa cintaku tak berkurang sedikitpun. Oke, sekarang aku ganti bukan cinta, melainkan kagum mungkin lebih tepat.
Dari mana mulaya rasa ini tumbuh juga aku tak tahu, yang kuingat Mas Aji di mataku adalah sosok pelindung yang kudamba. Rumah kami hanya berjarak dua blok saja. Dulu, setiap sore selalu kami habiskan bermain badminton berdua di lapangan komplek. Terkadang bersepeda keliling alun-alun. Jikalau pagi, jogging bersama di Taman Bada'an. Atau kalu tidak, hanya sekedar bercanda di Studio foto milik Mas Aji. Dan masih banyak lagi kegiatan yang selalu kami lewati bersama.
Dari kebersamaan itulah muncul rasa yang tak seharusnya, yang semakin tumbuh subur hari demi hari, bahkan sampai sekarang.
Aku ingat saat aku masih ABG, kala itu Mas Aji yang membuka usaha jasa photografy dan video shooting mengajarkan padaku cara-cara menjadi editor foto yang handal. Membuat foto yang mulanya biasa saja jadi terlihat sempurna. Itu awal mula aku jadi menyukai photografy, karena Mas Aji bergerak di bidang yang sama.
"Kamu itu fotogenik, Lin. Dalam pose apapun kamu terlihat ayu kalau diabadikan dalam kamera," kata Mas Aji kepadaku.
Aku yang waktu itu sedang naksir berat dengannya seolah-olah merasa terbang melayang dipuji seperti itu.
"Jadi kalau aslinya ga ayu ya, Mas?" tanyaku pura-pura lugu. Aku ingin tahu pendapat Mas Aji tentangku.
"Yo ayu, banget malah. Beruntung lelaki yang jadi pacarmu nanti," jawabnya. "Lina udah punya cowok belum hayo?"
"Aku belum punya koibito,Mas. Takut nanti dukani Ibu."
"Apa itu koibito?"
"Bahasa jepang, Mas. Artinya sweat heart."
"Ealah, ada-ada saja kamu, Lin."
"Aku berharap Mas Aji yang jadi koibitoku."
"Hahaha, dasar anak sekarang. Paling bisa nggodain orang tua."
Mas Aji berlalu sambil mengacak rambutku dengan sayang. Hmm, aku serius Mas. Bagiku kaulah koibitoku, dan akan kubuktikan aku menyayangimu tidak main-main.
@@@
Cinta terkadang tak ada logika tak masuk dinalar tapi nyata adanya. Aku jatuh sakit hampir satu bulan lamanya ketika kuketahui Mas Aji sudah mengkhitbah teman masa SMA nya. Mbak Eni, wanita kalem berjilbab itu yang dipilih Mas Aji menjadi pendamping hidupnya.
Hancur hatiku saat itu, bahkan aku sempat pingsan saat Mas Aji begitu bersemangat menceritakan rencana pernikahannya. Tetap kujaga agar tak ada satupun yang tahu tentang rasaku ini, bahkan Mas Aji sekalipun. Biarlah cinta ini hanya milikku sendiri dan akan kubawa sampai kumati.
Keluar masuk rumah sakit menjadi langgananku waktu itu, kenyataanya dokter paling hebat sekalipun tak mengetahui persis penyakitku. Hingga suatu hari keajaiban datang padaku, Mas Aji dan Mbak Eni menjengukku di rumah sakit.
"Gimana perasaanmu sekarang, Lin. Mana yang sakit?" tanya Mas Aji kepadaku.
Aku tak menjawab pertanyaannya, yang ada aku malah menangis. Yang sakit hatiku, Mas. Dan semua ini karena kau! Terlihat begitu berani tapi kata-kata itu tak pernah terwujud, hanya tersekat di tenggorokan.
Giliran berikutnya Mbak Eni yang mendekati ranjangku.
"Lina yang sabar, ya. Tuhan kasih ujian ke umatnya itu karena Tuhan sayang hambanya," ucap Mbak Eni. Tangannya mengelus lembut pipiku.
Demi Tuhan aku ingin marah kepadanya, ingin memaki dia. Kau yang merebut koibitoku! Dan saat aku melihat wajahnya yang teduh, senyumnya yang lembut mendadak hatiku berubah. Aku tak mungkin membencinya, dia tidak bersalah. Kemudian yang ada aku tersenyum kepadanya seraya berujar. "Terimakasih banyak ya, Mbak Eni."
Akhirnya aku mau berdamai dengan keadaan. Sedikit demi sedikit aku bangkit dan kemudian sembuh dari sakit.
Namun meskipun begitu, aku masih tetap mencintai Mas Aji sampai kapanpun, tak akan berubah.
@@@
Aku berencana main kerumah Mas Aji hari ini, sepertinya kalau tak membawa sesuatu rasanya canggung. Maka aku memasak sayur yang kutahu kesukaan Mas Aji. Sayur tahu dicampur dengan daun kucai. Begitu sayur matang, aku mengantarkannya sendiri ke rumah Mas Aji.
"Assalamualaikum," Aku mengucap salam di depan pintu rumah koibitoku.
"Wa'alaikumsalam, " jawab seseorang dari dalam rumah. Dari suaranya pastilah Mbak Eni.
Tak berapa lama Mbak Eni membuka pintu, dia tersenyum manis saat mengetahui aku yang datang.
"Lina, sini masuk," katanya seraya membuka pintu lebih lebar.
Aku masuk dan langsung menyodorkan rantang berisi sayur kepada Mbak Eni. "Aku disuruh Ibu memberikan ini," kataku berbohong. Tak mungkin aku bilang kalau itu aku yang memasaknya.
"Wah jadi repot segala, makasih, ya," ucap Mbak Eni seraya menerima rantang pemberianku.
"Kok sepi Mas Aji kemana, Mbak?" aku berbasa-basi menanyakan keberadaan pujaanku.
"Di studio, Lin. Biasa sibuk dengan dunianya. Kamu cari saja ke studio. Aku tinggal ke dalam dulu ya," ujar Mbak Eni.
Aku hanya mengangguk meng-iya-kan perkataan Mbak Eni. Lantas aku pun pergi ke ruangan sebelah tempat di mana Mas Aji berada. Studio yang dulunya digubah dari garasi. Aku bisa betah berada di dalamnya ber jam-jam. Membantu meng-edit foto atau sekedar menonton Mas Aji sibuk dengan pekerjaan rutinnya.
Aku masuk ke ruangan yang lumayan luas itu. Dan kudapati Mas Aji sedang tertidur di kursi dekat meja komputer. Aku lihat komputer itu masih menyala melakukan proses capture. Suatu proses pemindahan rekaman vidio ke komputer untuk kemudian di edit. Kebiasaan Mas Aji dari dulu tak pernah berubah, apabila sedang proses capture pasti ditinggal istirahat. Karena proses ini memang memakan waktu yang lumayan lama. Kemudian proses selanjutnya adalah burning atau pembakaran. Pematangan vidio yang sudah diedit untuk dipindah ke kaset CD.
Aku suka saat Mas Aji tertidur seperti sekarang. Aku jadi bebas mengamati wajahnya dengan seksama. Wajah itu kini telah dihiasi sediki kerut-kerut usia. Aku merasa koibitoku terlihat amat kelelahan.
Ingin sekali aku menyentuh lembut wajahnya, hidungnya, matanya yang sedang terpejam, alisnya yang tebal, dan turun ke bibirnya.
Disaat jemariku menyusuri bibir Mas Aji, aku merasakan ada yang menyentuh lembut tanganku. Dan tak beberapa lama mata itu terbuka. Mas Aji memandangku dan berkata, "Lina..."
Aku membalas tatapan Mas Aji, dari mataku sepertinya keluar kata-kata, "Mas, aku kangen kamu."
Dan Mas Aji pun menjawab, "Aku juga kangen, Lina. Semakin dewasa kamu semakin cantik."
Aku tersenyum manis sekali. Senyum paling istimewa yang kupunya kupersembahkan untuk orang yang istimewa pula. Mataku terpejam menikmati sensasi ini, dimana kemudian Mas Aji menyentuh pipiku dengan lembut, menepuknya dengan sayang, pelan, pelan, dan lama-lama agak keras, hingga akhirnya aku terpaksa membuka mata karenanya. Kemudian aku tersentak kaget.
"Lin, kenapa kamu melamun disini, tho?" tanya Mbak Eni.
Mukaku langsung memerah menahan malu.
Tamat.
Taiwan in Sofa kedamaian,
28112011.
Jeet Veno_Mena Ayu.
0 Suara:
Posting Komentar