Seperti kata Emak. Namun kali ini aku tak menurutinya.
"Tak usah kau risaukan tentang jodoh. Semua sudah ada yang mengatur, Nduk."
Seperti kata Emak. Di selepas maghrib selesai mengaji. Beliau selalu menceritakan padaku tentang teladan para sufi. Tapi aku tak mencontohnya.
Ketika aku semakin terlena, jauh terjerumus pada nafsu dunia. Seperti kata Emak, semakin lama kita hidup di dunia maka akan semakin pahit terasa.
Dia, lelaki gagah rupawan. Mapan dan dewasa. Sikapnya penuh kasih, sehingga tatkala dia bilang, "Jadilah ibu dari anak-anaku, Nie. Hatiku memilih kau lah makmum yang kelak pasti akan membahagiakanku."
Aku langsung berbinar dan mengangguk mantap.
Namun seperti kata Emak. "Bukan maksud hati membuatmu sedih, Nduk. Tapi, Emak merasa dia tak baik untukmu."
Ah, aku marah. Aku tak terima. Aku kecewa.
"Kurang apa lagi dia, Mak? Seperti yang Emak wanti-wanti. Jangan lupa bibit, bebet dan bobot nya dalam memilih jodoh. Arul orang baik, saleh, kerjaan mapan. Apa yang salah?"
Muka Emak mendadak bingung, "Memang Nak Arul itu sempurna, tapi Emak merasa ada yang lain di dirinya. Seperti..."
"Seperti apa Mak? Lihat, umurku sudah bukan remaja lagi. Teman-temanku bahkan anaknya sudah masuk SD. Kenapa begitu susah mendapat restumu, Emak?"
Beliau diam. Ada yang membulir dari kelopak keriputnya. Membuatku merasa tak enak hati.
Seketika itu juga aku bersimpuh di pangkuan beliau. "Maafkan Nie, Mak. Tapi kumohon, kali ini restui Nie."
Tangan kasar Emak mengusap lembut kepalaku. Tanpa kata restu yang kuminta. Diam membisu.
****
Seperti senja yang hampir tenggelam, seperti itu pula cintanya padaku. Warna merah keemasan ditelan cakrawala berganti dengan gelap gulita.
"Andai kita menikah nanti, kau akan ikut denganku atau tinggal dengan emakmu?" pertanyaan Arul yang harus kujawab.
Aku bingung, kesemuanya berat. Aku ingin berbakti kepada satu-satunya keluarga yang kupunya.
Kembali kuteringat, seperti kata Emak. "Kau tahu Nduk? Kedudukan ibu itu tiga kali lebih tinggi daripada ayah. Oleh sebab itu surga selalu ada di bawah kaki ibu."
Emak, aku sayang dia. Meskipun aku belum bisa membahagiakannya.
"Aku milih tinggal bersama Emak. Kasihan beliau tak punya siapa-siapa selain aku."
Arul mengangguk kecil, "Kamu anak yang berbakti." Hanya itu yang terucap. Tak ada yang lain.
Tak jua salam perpisahan. Hanya selembar kertas bercoretkan takdir.
"Aku kecewa padamu, Nie. Sungguh kecewa. Aku kira, sekian lama kita menjalin hubungan kau akan percaya dan mau berkorban untukku. Tapi kenyataannya, kau tak mau bersamaku."
Aku teriak. Ini tak adil. Bahkan hukuman ini aku terima tanpa aku bisa membela. Arul meninggalkanku tanpa mau mendengar alasan mengapa aku memilih emakku. Hatiku berontak namun kata-kata ini tersumbat di tenggorokan.
"Ini tak adil! Aku telah melawan emakku demi kamu, dan sekarang?" teriakku pada bayangan yang telah berlalu.
****
Buku bersampul jingga itu tergeletak di meja. Di samping raga kurus tak bertenaga. Rebah di atas balai-balai dingin penuh kekecewaan.
Di tengah-tengah buku bersampul jingga itu ada fakta penyebab segalanya.
"Ka... kau hamil?" Muka Emak pucat tak berdaya.
Aku menangis. Aku telah berkutat dengan dosa dan ini akibatnya melawan emak.
"Kau tahu Arul itu siapa, Nie?"
Aku menggeleng lemah. Dan emak menyodorkan selembar foto hitam putih.
"Dia kakakmu."
Aku tak percaya. Aku tak mau percaya. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Hal seperti ini hanya terjadi di sinetron televisi.
Seperti kata Emak.
"Aku telah berdosa. Dan ini karmaku."
"Nie yang berdosa, Mak. Tak pernah mendengar petuahmu."
Emak lunglai, luruh ke lantai. Matanya sembab karena air mata. Jiwanya perih terbias di parut wajahnya yang tersiksa.
"Ayah dari Arul adalah bapakmu, Nie"
Aku ternganga tak percaya.
"Tidak, ini tak mungkin."
"Emak pernah mengasuh Arul waktu bayi. Kala itu, ibu Arul sedang berada di luar negri jadi TKI. Tak lama setelahnya kau tumbuh. Di rahim emak."
Aku menutup telinga. Menggeleng sekuat tenaga. Ini pasti lelucon. Ya, hanya sandiwara.
"Emak tak ingin menghancurkan rumah tangga mereka. Maka emak lebih memilih pergi membesarkanmu sendiri."
Teriakku tak jua mengusir dosa ini. Hingga kini aku terperangkap pada tubuh tak berdayaku. Karena ketika aku ingin melepas takdir pedih yang menimpaku, sebuah sepeda motor menghantam tubuhku.
"Emak jangan menangis lagi. Maafkan Nie, Mak." kataku dalam hati. Pada orang yang setia merawatku sampai saat ini.
Ingin kusapu air mata yang mengalir di pipinya. Menetes membasahi buku bersampul jingga.
TAMAT.
Taiwan, 28.05.12
0 Suara:
Posting Komentar