Jangan ragukan kemampuan otakku untuk mengingatmu. Hanya tatkala ku tak menghirup aroma udara lagi, semua itu akan terjadi.
*****
Aku sadar, dan cukup tahu diri akan posisiku dihatimu. Hanya sebatas pelarian pengisi kekosongan. Tak mengapa, aku rela menjalaninya. Bukankah cinta sejati adalah cinta dimana kita bisa berucap, "Pergilah, aku turut bahagia untukmu." seraya tersenyum manis?
Memang kau tak pernah memintaku hadir, tapi aku yang datang sendiri. Entah darimana awalnya aku bertemu denganmu. Mungkin di sebuah pameran pothografi, hal yang amat kau sukai.
Kamu yang waktu itu datang sendirian tak sengaja menabrak aku yang ada dibelakangmu. Kejadian klasik memang, dari ketidaksengajaan tercipta perkenalan.
"Zandy Saputra, panggil saja Putra," sebutmu waktu itu. Dibarengi tangan kekarmu mengajakku berjabat.
Kuterima jabatmu dengan tak lupa menyebut namaku, "Venomena Nur Sya'bani."
Itulah awal perkenalan kita. Sudah sekitar 4 atau 5 tahun yang lalu. Persisnya kapan aku lupa. Sejak saat itu namamu selalu memenuhi otakku, sampai sekarang.
Kamu tak terlalu tinggi, bahkan untuk ukuran laki-laki kamu termasuk pendek. Dengan kulit sawo matang yang terlihat coklat terbakar matahari. Hidungmu mancung sempurna diperkuat dengan wajahmu yang berbentuk persegi. Kesan manis terlihat dari bibirmu yang sensual. Dan yang membuatku luluh adalah, matamu. Mata yang setajam elang jawa, hitam dan terkesan tegas.
Ini salah satu kelemahanku, selalu mudah terkesan dengan orang bermata tajam. Bagiku selaksa hidup di alam tak berpenghuni, bebas dan lepas, jika bersitatap dengan matamu. Mata hitam elangmu.
Mungkin selama ini aku telah salah mengartikan kedekatan kita. Saat itu aku begitu sakit hati ketika kau menceritakan tentang gadismu. Tetangga sebelah rumah yang telah mencuri hatimu akhir-akhir ini. Padahal diantara kita tak ada hubungan apa-apa. Namun dadaku begitu hebat bergemuruh meski kau hanya menyebut namanya.
"Yang kusuka dari dia adalah, dia mau menerimaku apa adanya, Ven." pujimu pada gadismu.
Hatiku panas terbakar cemburu. Apa aku kurang menerimamu? Semua kelakuanmu, ingat, semuanya! Aku tak pernah protes. Meskipun itu terkadang membuatku mengelus dada. Kamu benar-benar menguji kesabaranku habis-habisan. Lantas apa aku mendapatkan predikat itu? Orang yang menerimamu apa adanya? Tidak.
Ok, kenyataan aku tak semanis Via, gadismu yang berlesung pipit itu. Aku mengaku kalah kalau dalam hal ini. Jauh bila dibanding dengan semua wanita-wanitamu. Aku bukanlah apa-apa.
Lantas aku tak mengerti arti kata-katamu, "Bagiku yang terpenting adalah hati. Asal aku merasa nyaman menjalani suatu hubungan, maka aku akan mempertahankan itu."
Tak nyamankah kau bersamaku? Sepertinya tidak. Tapi entahlah, karena disela-sela sms mu terkadang kau bilang, "Mas kangen kamu, Nduk."
@@@
Aku pernah mengatakan padamu, lebih tepatnya sering. Bahwasanya kebahagiaanmu bagiku adalah segalanya. Kau tahu, bagaimana tersiksanya aku saat kau menangis di bahuku? Kala itu kau bilang, Via, gadis manis berlesung pipitmu itu menduakanmu. Hatiku tercabik-cabik ngilu melihatmu. Ingin rasanya aku mencari gadismu yang telah membuatmu seperti ini dan memberi dia pelajaran. Apa kau tak merasa? Aku teramat tersiksa tak bisa melakukannya untukmu. Ditambah lagi saat mendengar kau bilang, "Mas lelah berkomitmen, Nduk."
Please, Mas.
Jangan dulu lelah,
Jangan dulu patah,
Jangan dulu menyerah.
Selalu ada cinta di ujung jalan, menanti untuk ditemukan.
Bagi siapa saja yang tak pernah kehilangan harapan.
Bagi siapa saja yang mencoba untuk bertahan. (soulmate.com)
Well, terlalu naif jika aku berani bilang, "Ada aku disini, Mas. Yang siap menerimamu apa adanya." Bahkan terlalu tak tahu malu. Aku cukup tahu diri mengenai hal ini. Meskipun begitu, aku jamin, akulah orang pertama yang akan terluka saat kau terdiam dengan sakit hatimu.
Jangan diam membisu, aku mohon! Makilah aku, marahilah aku andai itu bisa membuatmu sedikit lega akan beban hidup. Karena aku tak mempunyai cukup kekuatan untuk memberi pelajaran kepada orang yang telah menipumu.
Yang bisa kulakukan hanyalah berdo'a. Satu hal sepele yang selalu kulakukan tanpa kau minta. Aku terus memohon pada yang Kuasa dengan segala ratap dan tangisku. Agar Dia selalu memberimu kebahagiaan. Karena kebahagiaanmu adalah kekuatanku dalam menjalani hidup. Kau harus tahu itu.
@@@
"Vena ada kabar bahagia," katamu suatu hari.
"Apa itu? Diterimakah lamaran pekerjaanmu di Bank kemarin?" tebakku.
"Bukan, tapi ini lebih membahagiakan daripada itu."
Deg! Sejenak jantung berhenti berdetak . Sepertinya aku sudah tahu arah pembicaraanmu kali ini. Hal yang membuatmu bahagia selain impianmu bekerja di sebuah bank.
"Dia menerimaku, Nduk. Dan kita resmi jadian," ucapmu kemudian.
Tiba-tiba saja aku malas menanggapinya, bukan karena aku tak peduli, tapi...
"Dia siapa?" pura-pura kubertanya.
"Masa lupa, itu lho anak baru di bagian pelayanan. Yang namanya hampir mirip dengan namaku," terangmu
Aku tak lupa, hanya saja pura-pura lupa. Sedikit banyak aku tahu lingkungan kerjamu. Bahkan anak baru yang kau maksud juga aku sudah paham.
"Yang mana, sih?" aku masih saja berpura-pura.
"Deni Zulfa saputri," jawabmu menyebut nama.
Dan tebakanku benar. Anak yang berbakat jadi model itu yang menjadi tambatan hatimu kini. Lagi-lagi aku kalah, telak malah. Dia hampir sempurna!
"Congratz, ya. Kapan M2M tanda jadiannya, nih?" kataku. "Siapapun dia aku turut berbahagia untukmu. Semoga kalian langgeng."
Bohong! Yang kukatakan barusan bukan dari hatiku. Taukah kamu? Aku menangis semalaman karenanya. Aku berteriak pada dingin dan gelapnya. Kau tahu apa alasannya? Jangan kau pikir aku menangis karena sedih, justru aku menangis karena bahagia.
Kini kau telah menemukan wanita yang bisa memberimu senyum. Aku bahagia jika kau senang, itu nyata. Meskipun semuanya terlihat seperti kata-kata bualan. Namun Tuhan menyaksikan ketulusanku.
Mungkin semalam aku sedikit tersedu begitu menyadari kalau bukan aku wanita itu. Kenyataan aku bukan siapa-siapamu, hanya seorang yang jadi batumu untuk tersandung dan kau pergi.
Kau harus tahu kalau aku senang jika kau bahagia. Dan aku marah karena dia yang membuatmu bahagia, bukan aku. Egois bukan? lantas kenapa? Ah, sudahlah.
@@@
And than, harapanku semakin tipis. Kau semakin jauh untuk kurengkuh. Dan apa dengan begitu aku pergi darimu? Jawabnya tak mungkin, setidaknya tak bisa. Selalu saja aku ingin kembali, melihatmu tersenyum lagi bersama binar mata elangmu. Duduk di hadapanmu, mendengar semua ceritamu serta keluh kesahmu. Mengikuti segala hal tentangmu meski hanya masalah kecil. Jika kau bersedih, maka akan kugenggam erat tanganmu sebagai wakil dari kata, "Tenanglah, semua akan baik-baik saja. Ada aku disini untukmu, Mas."
Selalu ingin kupersembahkan yang terbaik bagimu. Sebentar lagi ultahmu tiba, aku tak akan melewatkan moment penting itu. Kalau tidak, aku akan menyesal seumur hidupku.
Surprice kecil kurancang, memang bukan party mewah, hanya sebuah kado. Tentunya dengan kado itu, kuingin kau mengingatku selalu dan mungkin juga berpaling padaku. Licik? Bisa jadi.
Sebuah kamera terbaru untuk kebutuhanmu akan photografy yang sangat kau idamkan. Gadged terbaru itu lumayan susah payah kudapat. Berhari-hari aku memeras otak untuk menghasilkan tulisan bermutu dan dikirim ke media. Hasilnya sungguh diluar dugaan. Tuhan benar-benar memberiku kemudahan dalam hal ini, mungkin Dia tahu, semua ini tulus untukmu.
Pernah dengan begitu kau marah karena aku jadi jarang punya waktu berdua. Entah mengapa hatiku berbunga-bunga. Saat kudengar kau berucap, "Sudah lupa sama aku, ya? mentang-mentang ada orang selain aku yang memanggilmu 'Nduk', sekarang jadi menjauh."
Aku tersenyum? Jelas. Kutangkap ada kecemburuan dalam nada bicaramu, dan aku menyukainya.
"Mana mungkin aku lupa, semua tentangmu telah mendarah daging. Tak mungkin semudah itu aku menjauh," kataku menenangkanmu.
Dan saat waktunya tiba, dimana kau begitu berbinar membuka kado ultah dariku. Dari mulutmu terucap, "Nduk, makasih banyak ya. Mas selalu merepotkanmu."
Sama sekali tak merepotkan. Aku ikhlas melakukannya, apapun itu. Dan yang terjadi kemudian adalah kau mulai menganggapku ada. Yes!
@@@
Tak ada yang membuatku semangat hidup selain dekat denganmu. Bersama kita merajut impian-impian indah, yang tentunya menyangkut masa depan.
Dari sinilah nafsu mulai merajai cinta suciku untukmu. Aku ingin memilikimu seutuhnya, bukan hanya sedikit waktumu. Aku tak mau membagimu dengan yang lain, hanya ada aku dihatimu, harus!
Semakin lama kurasakan, aku kian tenggelam dalam keinginan-keinginan yang membuatku sesak nafas. Termakan cemburu, curiga tak berkesudahan, mulai merasa keharusan kau ada untukku, dan semua yang tak pantas aku tuntut darimu.
Seperti pagi ini, aku merasa jengkel yang kesekian kali. "Kenapa tak balas smsku? Juga tak angkat telfonku?" tanyaku penuh nada amarah.
"Mas sibuk, Nduk. Akhir-akhir ini Mas banyak kerjaan. Maafin Mas, ya," jawabmu memelas.
Aku menangkapnya, sinar kekecewaan dalam mata elangmu. Dan aku menyesalinya. Bukan ini yang kuharap darimu juga bukan segudang perhatianmu. Bukan pula kata-kata sayangmu yang kutunggu. Namun matamu, bila darinya memancarkan binar kebahagiaan, maka itulah yang kumau.
Aku sadar, aku terlalu dalam mengikatmu. Aku begitu terhanyut akan rasa ini. Kini kebimbangan menghiasinya, dan hanya ada dua pilihan. Kau akan menjadi milikku, atau kau akan meninggalkanku. Sehingga sebelum semua itu terjadi, aku harus berani melepasmu.
"Please, Vena. Jangan pergi! Aku tak tahu bagaimana rasanya jika kau tak ada, Nduk," ucapanmu yang membuatku merasa diatas angin.
"Aku tak kemana-mana, kok. Hanya ingin rehat. Kalau mau sering-seringlah main kerumah," pamitku padamu. "Jangan takut, Mas Adi pasti senang bila kau datang, suamiku ga pemarah kok." lanjutku.
Kau hanya terdiam dengan gurat mata yang tak dapat kuartikan.
"Dan juga, Gladys nanyain tuh. Katanya, Kok om Putra ga pernah main ke rumah lagi, Bunda? Sepertinya dia merindukan kamu." kataku.
Selesai.
Memory Jeet Veno_Mena Ayu.
Taiwan in Sofa kedamaian, 27112011. oleh Rahayoe Wulansari pada 27 November 2011 pukul 0:05
0 Suara:
Posting Komentar