Diberdayakan oleh Blogger.

Senin, 14 Mei 2012

BARDAN











Senyummu licik, wajahmu bengis! 

Hah! Kau benar-benar biadab. 

Batinku mengamuk memandang foto Bardan. Entah rasanya benci ini mencuat sampai ke ubun-ubun meski hanya 
memandang fotonya. 

Tetapi kenapa aku tak bisa melupakannya? 


**** 


Kututup telingaku rapat-rapat kali ini. Aku tak mau mendengar lagi. Pertengkaranku dengan Bardan yang kesekian kalinya. 
" Dasar wanita tak tau diuntung, kamu itu bisanya cuma apa? Apa-apa juga tak becus kok mau sok menggurui," maki Bardan padaku. 

Alkohol yang tercium dari mulutnya membuatku ingin muntah. 

"Ingat kamu itu siapa? Orang kere tetaplah kere!" Lanjut Bardan lagi. 

"Cukuup!!" teriakku. 

Aku sudah tak kuat akan penghinaan Bardan kali ini. Dan dia hanya tertawa. 

"Hahaha, kau sudah tau aku suka mabuk dari dulu. Kenapa 
baru sekarang kau protes, hah? Berlagak sok suci menyuruhku sholat. Semprul!" teriak Bardan di telingaku. 

Dadaku penuh sesak. Nafasku memburu, air mataku jatuh tak terhenti. Aku benar-benar marah malam ini. 

"Tapi apa aku tak boleh mengingatkan kau untuk berubah?" 

"Halah! Sok suci kamu!" 

Air mataku semakin deras. Pertengkaran yang kesekian kalinya ini membuatku hilang kesabaran. 

"OK! kalau kau tak mau berubah, silahkan sesukamu sekarang. Terserah, mau mabuk kek, mau mati kek. Aku tak perduli," teriakku tak kalah sengit. Aku benar-benar sudah muak. 

Bardan meracau tak jelas. Mulutnya yang berbau alkohol itu terus mengumpat tak henti-hentinya seperti dukun merapal mantra. Kututup telingaku dengan ke dua tanganku, dalam hatiku berbisik. Tuhan, ampuni aku. 

Keesokan harinya. 

"Dik, kepalaku pusing sekali." Bardan berucap sambil duduk di sofa sebelahku. Aku hanya diam saja. Hatiku masih sakit 
rasanya. 

"Dik, bikinkan aku susu." Bardan memberi perintah padaku. 

Aku tak bergeming. 

"Dik..." Di guncang-guncangnya badanku, mungkin dia pikir aku 
patung. Dan aku pun menangis. 

"Aku minta cerai," kataku kemudian 

Bardan terkejut dan alisnya mengeryit, sepertinya dia tak 
menyangka aku mengatakan ini. Aku yang selama ini hanya 
diam saja atas semua kelakuannya, tiba-tiba berani minta cerai. 

"Maksud kamu?" tanya bardan padaku. 

"Aku minta cerai, apa kurang jelas?" tantangku. 

Bardan hanya melengos. Dihembuskannya nafas kuat-kuat, mungkin tujuanya untuk membuang sumpek. 

"Kenapa kau tiba-tiba bilang seperti itu, Dik?" tanyanya 
melembut. 

Tetapi tak mempengaruhi hatiku yang sudah benar-benar muak. 

"Aku sudah capek, Mas. Mana janjimu? Dulu kau bilang akan 
berhenti mabuk jika sudah menikah, tapi mana?" Buruku 
padanya. Bardan hanya terdiam. 

"Aku memang bukan wanita berada, derajat kita juga tak sebanding." Aku menarik nafas memberi jeda pada protesku. 

"Semua orang punya masa lalu, dan kau dulu berjanji akan menerimaku apa adanya. Tapi sekarang? kau selalu mencelaku sebagai senjata mengunci mulutku karna memintamu berhenti minum. Padahal selama ini aku selalu bersabar atas lakumu, tapi sepertinya apa yang kulakukan selalu saja salah di matamu." berondongku. Kata-kataku 
sepertinya tak ada titik komanya. 

"Apa aku salah jika menginginkanmu untuk berubah? Kamu suamiku dan aku ber hak mengingatkanmu."

"Sudahlah, Dik. Maafkan aku soal semalam, aku lepas kontrol. Aku tau aku salah, maafkan aku, ya." kata Bardan kemudian. 

Aku tak menjawab, hanya terdiam mematung sambil tak henti-hentinya tanganku mengusap air mata. 

"Dik, maafkan aku. Please," mohon Bardan padaku. Jari 
tangannya dikatupkan seperti bentuk menyembah kepadaku. 

Oh, Tuhan! aku harus bagaimana? akankah ku terus hidup dalam keadaan seperti ini? Bertahan dalam rumah tanggaku, mungkin Bardan bisa berubah. Atau aku harus 
meninggalkannya biar dia tau rasa, aku juga ingin bahagia. 

Kupandangi Bardan dengan mataku yang kabur akan air. Aku beranjak ke dapur dan membuatkannya susu. 

"Hehehe, terima kasih istriku tersayang. Nanti sore kita makan di luar, ya. Sudah lama kita tak makan bersama." Bardan merayuku kali ini. 

Aku hanya tersenyum kecut. 


*** 


Malam itu kupandangi Bardan kesekian kalinya. Aku puas-puaskan memandangi wajah coklatnya yang sedang tertidur pulas. Ada gurat-gurat kelelahan di sana. Di sebelahku telah tertata rapi dalam koper baju-baju ku dan beberapa barang-barangku. 

"Maafkan aku, Mas. Aku harus pergi. Mungkin dengan begini 
kita bisa saling intropeksi diri," bisikku pada dengkur Bardan yang pulas. 

Kubalikkan badan meninggalkan kamarku. Kamar saksi bisu tentang kisahku. Aku berjalan pelan-pelan menarik koperku. 

"Selamat tinggal, Mas. Aku pamit" ucapku setelah kututup pintu rumahku. 

TAMAT.

0 Suara:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites