Diberdayakan oleh Blogger.

Senin, 14 Mei 2012

Rahasia Kita






"Rumah yang bercat hijau depan itu, Mas," kataku. 

Aku menunjuk pada rumah mungil nan asri yang letaknya hanya tinggal beberapa blok dari tempat kami berhenti. 

"Kau yakin itu rumahnya?" tanya Mas Ery. Cowok manis dengan postur tinggi tegap itu mengarahkan motor yang dikendarainya ke rumah yang ku tunjuk. 

"Bulik bilang, setelah jembatan kecil tadi hanya tinggal beberapa rumah saja," ujarku. 

Aku menengok ke kanan dan ke kiri memastikan apakah ada rumah lain di sekitar sini yang bercat hijau.

"Sepertinya memang benar itu, Mas. Tak ada rumah lain lagi yang bercat hijau." lanjutku yakin. 

"Apa tidak coba kamu hubungi bulik kamu dulu untuk memastikannya? Mas takut kita nyasar kerumah orang nanti." 

"Nanti ga surprise dong, Mas." ucapku manja. Cowok yang kupanggil Mas Ery itu lantas tersenyum. 

"Iya juga, ya? Mas lupa," katanya. 

Aku masih sempat melirik lewat kaca spion menikmati senyum Mas Ery yang menggoda iman. Senyum yang kujadikan salah satu alasan mengapa aku mau saja ketika Mas Ery berniat menjadikan aku kekasih tujuh bulan yang lalu. Selain itu juga karna dia laki-laki yang dewasa meski umurnya terbilang masih cukup muda, 23tahun. Dan lagi karena dia pria yang ulet dalam bekerja. Bukti nyatanya, meski masih bisa dibilang bau kencur, namun Mas Ery adalah bisnisman muda yang sukses di kotaku. Sudah dua pabrik tahu yang memperkerjakan sedikitnya 50 karyawan yang rata-rata para pemuda pengangguran dikelolanya. Akan tetapi, meski sudah terbilang sukses, Mas Ery tetaplah rendah hati. Salah satu faktor lain yang menjadi bahan pertimbangan mengapa aku mau saja menerima lamarannya 3 bulan setelah kami pacaran 

"Kita berhenti di sini saja ya, Dek," Mas Ery berkata seraya memarkir motornya di bawah pohon jambu yang tumbuh di depan rumah bercat hijau tujuan kami. 

Aku turun dari motor dan Mas Ery bergegas membantuku melepaskan ikatan helm yang kukenakan. Hal kecil ini hanya menjadi contoh bentuk perhatian Mas Ery terhadapku. Yang membuat aku bertambah yakin, Mas Ery calon pemimpin keluarga yang kudambakan. Pekerjaan mapan, perhatian, dewasa, dan penuh tanggung jawab. 

Kedatanganku ke rumah bulikku adalah untuk mengabarkan hari bahagiaku dengan Mas Ery. Bulan depan kita akan melangsungkan pertunangan. Mas Ery tidak mau terlalu lama berpacaran. Dan dikarenakan rumah adik ibuku yang bungsu ini agak jauh tempatnya, maka aku dan Mas Ery menyempatkan datang berdua untuk berkunjung dan juga sekalian bersilaturohmi. Tidak seperti ke rumah keluargaku lainnya yang biasanya kudatangi sendiri. Kali ini Mas Ery menemaniku ke rumah bulik Anis. 

@@@ 

Aku memencet bel rumah mungil nan asri ini. Rumah model klasik bercat hijau dengan dihiasi beberapa pot tanaman di terasnya itu terlihat amat bersih. Tak sia-sia Bulik Anis menamainya Vila. Memang benar-benar laksana Vila. Baru berada di terasnya saja aku sudah merasa betah, serasa tak mau pulang. 

Dari jendela rumah terlihat bayangan orang berjalan mendekat, tak berapa lama pintu yang terbuat dari ukiran kayu jati itu terkuak. Muncul sosok lelaki paruh baya yang masih gagah tersenyum ramah kepada kami. 

"Mau cari siapa, ya?" Dia mengajukan pertanyaan sebelum sempat kami berucap. 

"Apa benar ini rumah Bulik Anis?" tanyaku ragu. Lelaki itu mengerutkan alis mengamati aku dan Mas Ery bergantian. 

"Ya, benar. Adek-adek ini siapa ya?" 

Alhamdulillah batinku. Kali ini ga nyasar ke rumah orang. Untuk selanjutnya aku tersenyum kepada lelaki yang sudah bisa kupastikan Om Febri. Meskipun agak sedikit berubah, namun tidak terlalu banyak. Masih sama seperti waktu aku melihatnya pertama kali, saat aku duduk di bangku kelas 3 SD dulu. Karena setelah ibuku meninggal, aku terpaksa tinggal bersama nenek dari pihak ayah. Dan itu yang membuat aku tak pernah datang mengunjungi bulikku satu-satunya ini. Komunikasi yang ada hanya melalui handphone. 

"Om Febri, ya? Aku Intan dan ini Mas Ery," kataku memancing ingatan omku. 

"Intan gembul?" seru Om Febri. Gembul adalah sebutan Om Febri untukku. Dulu waktu masih kecil, badanku memang termasuk gembul dibanding dengan teman sebayaku. 

"Bukan, Om. Sekarang Intan Zahra Puspita," sahutku manyun. 

"Walah, sudah besar rupanya, sudah tidak gembul lagi." Om Febri menggodaku. 

"Dan pastinya tambah cantik," tiba-tiba Mas Ery menimpali. 

Aku terperanggah dan kemudian tersipu. Sudah bisa dipastikan mukaku berubah jadi merah sewarna dengan mawar yang di tanam Bulek Anis di depan rumah. 

"Hahaha, betul. Mari-mari silahkan masuk," tanggapan omku kemudian, seraya membuka pintu lebih lebar memberi jalan pada kami untuk masuk. 

Beriringan aku dan Mas Ery menuju ruang tamu dan mengambil duduk di sofa yang telah di sediakan. Om Febri berbasa-basi sebentar dan kemudian pamit ke dalam memanggil istrinya. Tak berapa Bulik Anis keluar menemui kami yang telah duduk manis di ruang tamu. 

"Intan..." seru bulikku dan menghambur memelukku. Adik ibuku itu masih tetap saja anggun. Tak ada yang berubah sama sekali, tetap terlihat muda seperti terakhir kali aku melihatnya. 

"Bulik... Intan kangen," kataku di pelukannya. "Bulik tak banyak berubah, tetap cantik dan sexy," lanjutku seraya melepaskan pelukannya. 

Bulik Anis menyentuh pipiku, 'Kamu juga tambah cantik, sayang." 

Aku hanya tersenyum menanggapinya, kemudian aku teringat Mas Ery. 

"Oya, Bulik, kenalkan ini Mas Ery, calonku." 

Bulik Anis menatap Mas Ery lama, begitupun sebaliknya. Mereka terlibat dalam baku tatap yang tak dapat diartikan. 

"Ka... ka..kamu?" Bulik Anis berkata terbata menunjuk Mas Ery. Yang bersangkutan hanya diam dan menunduk. 

"Loh, Bulik sudah kenal Mas Ery?" tanyaku keheranan. "Wah kebetulan kalau begitu, aku tak perlu memperkenalkan lagi. Bulan depan kami akan tunangan, Bulik." Sekalian saja aku memberitahu kabar bahagia ini. 

Bulik Anis tersenyum kecut, dan yang terjadi selanjutnya adalah kekakuan. Kebisuan mewarnai ruang tamu ini. Meskipun Om Febri datang dan mencairkan suasana, tapi aku masih merasakannya. Keanehan ini menyisakan tanya. 

@@@ 

Pikiranku selalu diliputi pertanyaan demi pertanyaan. Sepulang dari rumah Bulik Anis, perilaku Mas Ery mendadak berubah. Dia jadi pendiam dan terlihat sering melamun. Namun ketika kutanya perihal keanehannya, dia selalu mengelak. Seperti ada yang disembunyikan dariku. 

Siang ini pun Mas Ery terlihat muram. Sengaja aku mengajaknya makan siang bersama di warung bakso langganan kami. Mas Ery tak banyak bercerita seperti biasanya. Dia memakan baksonya pun dengan tak berselera. 

"Mas sakit?" tanyaku membuyarkan lamunannya. 

Dia hanya menggeleng. 

"Kok makannya tak berselera gitu?" Aku meletakkan sendokku. 

"Mas berubah semenjak pulang dari rumah bulik, sepertinya ada yang mas sembunyikan." tembakku. 

Kali ini Mas Ery melirikku, tapi masih tetap diam. 

"Sebenarnya ada apa diantara kalian?" langsung saja aku mengajukan dugaanku. 

Mas Ery terperanjat mendengar pertanyaanku. Dia melihat jam tangannya dan berujar, "Aku harus kembali bekerja lagi, Dek. Aku antar kau pulang, ya?" 

Selalu saja mengelak. Hatiku semakin diliputi pertanyaan, what's wrong? Namun karena Mas Ery sudah beranjak berdiri, maka tak urung aku mengikutinya jua. 

Di kasir Mas Ery membayar bakso yang kami makan. Tak sengaja dia menjatuhkan sesuatu dari dalam dompetnya. Aku berinisiatif membantu mengambil barang itu untuknya. Dan kemudian aku terkejut dibuatnya. 

"Ini..." kataku tercekat heran. 

Mas Ery terperanjat melihat barang di tanganku. 

"Kenapa ada foto Bulik Anis di dompetmu, Mas?" Pikiranku tak menentu. Mengingat keanehan yang ditunjukkan Mas Ery sepulang dari rumah Bulek Anis, aku menyimpulkan pada satu hal. Telah terjadi sesuatu antara mereka. 

"Kau hutang penjelasan padaku, Mas." 

Calon tunanganku itu terdiam. Dia lantas menyeret tanganku menuju ke tempat parkir. 

"Katakan padaku satu hal, dan aku akan ikut denganmu." 

"Tidak disini, Dek." Mas Ery berucap dengan tegas dan menatapku tajam. Aku seperti kerbau dicocok hidungnya melihat tatapan mata calon tunanganku itu. Lantas aku mengikutinya tanpa kata. 

@@@ 

Ruangan ber AC ini terasa pengap bagiku. Aku begitu resah menanti kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Di suatu restoran ala perancis ini kami janji bertemu. Aku, Mas Ery dan Bulik Anis. Aku tak ingin mendengar hanya dari sepihak saja. Aku ingin mengetahui kenyataan yang terjadi dari mereka berdua. Dan di detik-detik penantian ini aku mulai gundah, andai saja benar ketakutan yang aku rasakan, harus bagaimana aku menyikapinya? 

Bulik Anis datang lima belas menit setelah aku dan Mas Ery berkutat dalam diam. Istri Om Febri itu berjalan begitu anggun ke arah kami. Cantik memang, tak ayal semua orang tak percaya jika bulikku itu sudah memiliki buah hati, Arjuna, yang sudah duduk di bangku SLTP. Bulik Anis tersenyum pada kami berdua. 

"Maaf ya terlambat. Kalian pasti sudah lama menunggu." 

Aku tersenyum kaku menanggapinya. Baru kali ini aku risih melihat keakraban yang bulik tunjukkan. Tidak sebelum aku tahu dia pernah dekat dengan Mas Ery. 

Bulik Anis mengambil duduk diseberang meja, sedang Mas Ery terpukur di sebelah kananku. 

"Katanya ada yang mau kalian bicarakan, apa itu?" Bulik Anis memandang kami bergantian. 

Aku duduk bersandar kursi. Kualihkan pandanganku ke lain tempat. Aku tak ingin bulikku bisa membaca pikiranku hanya dengan melihat mataku. 

"Kenapa diam saja?" tanyanya lagi. Entah mengapa aku semakin tak suka dengan sikap keibuannya. 

"Sepertinya ini masalah serius." 

Huuf, aku menghela nafas. Aku masih bertahan terdiam menunggu mereka mau angkat bicara. Tapi tak cuma Mas Ery yang tetap membisu, Bulik Anis pun ikut terdiam dalam kebingungan atau mungkin lebih tepatnya pura-pura bingung. 

@@@ 

Beberapa menit berlalu tanpa kata. 

"Well, karena tak ada yang memulai, sepertinya aku yang harus membuka suara," ucapku. "Aku menemukan ini, Bulik. Dan aku minta penjelasan." 

Adik ibuku itu terperangah, mungkin dia berpikir dari mana aku mendapatkannya? Foto Bulikku sedang bersama Mas Ery, calon tunanganku. 

"Aku mendapatkannya terjatuh dari dompet Mas Ery." 

Bulik Anis memberanikan diri memandangku dan kemudian berganti menatap Mas Ery minta dukungan. 

"Ini tak seperti yang kau kira, Intan. Diantara kita tak terjadi apa-apa, setidaknya hal yang serius." 

"Menurut bulik tak serius, tapi tidak untuk aku," ucapku serius. 

"Sudah kubilang ini semua hanya masa lalu yang ga penting, Dek," Mas Ery buka suara setelah sekian lama tertunduk dalam diam. 

"Lantas mengapa foto ini masih kau simpan kalau semuanya tak penting?" tanyaku sedikit berteriak. 

Calon tunanganku tak menjawab pertannyaanku. Dia membuang pandang dariku. 

"Aku yang memintanya, Intan. Hanya untuk kenang-kenangan," bulikku menimpali. 

"Kenang-kenangan yang membuatku sakit, begitukah maksud kalian?" 

"Bukan begitu, Intan. Ini semua tak seperti yang kau pikirkan," kata Bulikku membela diri. 

"Tolong katakan sejujurnya, Bulik. Sejauh mana kalian telah membohongiku?" 

"Aku tak bohong, Dek." Mas Ery mendesis tak terima. "Kejadian ini terjadi sebelum aku kenal kamu, saat Mami masih di Taiwan." 

Aku kaget. Mami? Oh, jadi panggilan sayangnya Mami? 

"Mami," dengungku. 

"Intan, dengar Bulik bicara. Akan Bulik ceritakan semua dari awal sampai akhir," Bulik Anis menengahi. 

"Itu yang kuminta dari kalian," kataku sinis. "Dan aku mohon jujur, jangan ada yang ditutupi. Meskipun itu menyakitkan." 

"Baiklah, Intan, akan Bulik ceritakan semuanya. Pertama Bulik kenal Ery lewat Fb. Awal mula kami hanya saling coment dan bercanda. Terus terang kami merasa cocok dan saling tukar nomor handphone." Bulik Anis mulai bercerita. 

"Lantas?" kejarku. 

"Tak terjadi apa-apa, Dek. Saat itu Mas hanya ingin membuktikan tentang kode rahasia yang bisa membuat telfon ke luar negri menjadi gratis meski berjam-jam lamanya," timpal Mas Ery. 

"Iya, kami hanya bercanda. Tak membicarakan hal yang aneh-aneh. Paling cuma Ery curhat tentang cewek yang ditaksirnya." Bulik Anis menambahi. "Apa cewek itu Intan ponakanku, Ery?" tanya Bulik pada Mas Ery. 

Yang ditanya hanya mengangguk mengiyakan. 

"Dan foto ini?" cecarku. 

"Itu foto setelah Bulik pulang," kata Bulik Anis menjelaskan. 

"Gini lho, Dek. Sebenarnya kami sudah ga pernah berhubungan lagi semenjak lama, tapi waktu Mas iseng buka fb, di situ Mami sedang Ol," Mas Ery menjelaskan padaku. 

"Dan janjian ketemuan?" tanyaku masih dengan nada sinis. 

"Bulik yang menyapa dahulu, Intan. Awalnya tanya kabar. Tapi setelah mengetahui Bulik sudah pulang ke Indonesia, maka kami sepakat ketemuan," Bulikku menambahi. 

"Jangan cemburu gitu dong, Dek. Kami bertemu juga tidak melakulan hal yang buruk. Hanya makan bersama dan foto-foto. Itu salah satunya," lanjut Mas Ery. 

"Betul, Intan." Bulik Anis mengamini. 

Kutatap Bulik Anis bergantian dengan Mas Ery. Ada kejujuran terpancar di mata mereka. 

"Baiklah, kali ini aku percaya kalian," kataku pada akhirnya. 

"Alhamdulillah," ucap Mas Ery dan Bulik Anis hampir bersamaan. 

"Tapi aku mohon, Intan," kata Bulikku selanjutnya. "Tolong jangan sampai Om Febri tahu, bisa ribet urusannya. Ini rahasia kita, ya?" pinta bulikku. 

"Ha??????!!!" 

TAMAT 




Taiwan in Sofa kedamaian. 
06122011. 
Jeet Veno_Mena Ayu

0 Suara:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites