Pilih selain brownise, kue itu terlalu mudah dibuat. Alasan yang dikemukakan Om Fery padaku siang itu.
"Tapi Om, Rena ingin sekali mahir membuat brownise," rengekku.
"Brownise itu sudah membumi. Banyak orang yang sudah bisa membuatnya sendiri."
Om Fery benar-benar menolak mengajariku. Adik laki-laki ibuku itu usaha kue online nya cukup laris. Pastilah hal sepele jika hanya meluangkan waktu sebentar untuk membocorkan sedikit saja rahasia resep kue buatannya.
"Sudah kau pikirkan kue yang lain, Rena?" tanyanya mengejutkanku.
"Masih tetap brownise, Om," jawabku takut-takut.
Om Fery beranjak mengambil setumpuk buku resep di atas rak buku dan mengangsurkan padaku.
"Baca saja cara membuatnya di sini. Tak perlu aku turun tangan."
Lantas Om Fery berlalu.
Aku kesal. Belum pernah kutemui Om Fery seketus ini. Toh apa susahnya hanya mendampingiku membuat brownise? Kalau disuruh baca buku resep tak perlu aku susah-susah datang ke rumah eyang untuk berguru pada Om Fery.
"Huh! Peliiittt!"
*****
"Enak nggak, Eyang?"
Eyang Putri memejamkan mata, menikmati setiap gigitan kue brownise buatanku penuh penghayatan. Seperti iklan-iklan di tivi.
"Mantaab," puji Eyangku. Dua jempolnya teracung ke atas menilai eksperimenku.
Aku tersenyum riang, ternyata tanpa bantuan Om Fery pun aku mampu membuat brownise.
"Eyang boleh tanya sesuatu?"
Eyang Putriku mengangguk-angguk.
"Kenapa Om Fery pelit banget berbagi rahasia resepnya? Kemarin dia menolak mengajariku membuat brownise. Atau jangan-jangan dia nggak bisa membuatnya ya, Eyang?"
Eyangku menelan kue yang tersisa di mulut dan menjawab, "Begitukah? Jangankan hanya brownise, Ren. Beribu jenis kue, Om kamu paling jago membuatnya."
"Atau mungkin sedang capek ya Eyang?"
Wanita berambut hampir putih semua itu menggedikkan bahu.
"Om kamu jika sudah di dapur mana ada kata capek? Andai ada gempa pun dia tak akan perduli. Kalau sudah berkutat dengan tepung dan kawan-kawannya dia akan lupa diri."
Aku tersenyum geli. Tapi aneh, mengapa hanya brownise yang mudah pun tak mau dia mengajarkanku?
****
Pokoknya Om Fery harus mencicipi hasil buatanku. Supaya saat aku pulang nanti dan memberi surprice untuk Mama hasilnya tak mengecewakan.
"Ayo dong Om, dicicipin meski sedikit. Aku ingin komentar Om tentang brownise buatanku."
Adik laki-laki ibuku itu hanya melirik sekilas tanpa menyentuh atau bahkan memakannya.
"Kamu harusnya memilih dark chocolate agar warnanya tak pucat seperti ini dan juga kamu mengukusnya menggunakan api sedang, sehingga warna yang dihasilkan bukan karena gosong."
Aku mengangguk paham, "kalau rasanya, Om?"
"Membuat brownise bukan hanya rasa dan tampilan yang jadi tujuan utama. Buatlah dengan penuh cinta maka brownise buatanmu akan terasa lembut di lidah dan di hati,"
ulasnya.
"Aku ingin merasakan brownise buatan Om. Satu kali ini saja Om, please."
Dia mebisu.
****
Waktuku tak banyak lagi, aku harus bisa memaksa Om Fery membeberkan rahasianya padaku meski hanya sekali.
Kumasuki kamar Om Fery ketika dia tak ada. Dan aku menangkap keanehan di meja dekat ranjang tidurnya. Kusentuh bingkai foto itu perlahan.
"Dia yang membuatku tak bergairah lagi menyentuh brownise." Tiba-tiba Om Fery sudah berdiri di belakangku.
Aku belingsatan sendiri merasa tak enak hati.
"Maaf, Om. Tapi siapa wanita itu?"
Om Fery menghempaskan nafas, "Dia cinta yang memberiku warna di brownise ku. Berhari-hari aku berekserimen membuat brownise yang berbeda. Aku ingin memberi
kejutan di hari ultahnya. Akan tetapi dia membuat usahaku semua sia-sia."
"Apa dia menyakiti Om?"
"Tidak, dia tak pernah menyakitiku. Justru sebaliknya dia membuatku bangga."
Aku bingung, lalu apa alasan yang membuat Om Fery tak mau
lagi menyentuh brownise?
"Dia hanya sedikit berlaku curang. Mencuri resep andalanku dan mengklaim ke khayalak ramai jika itu hasil buatannya. Dan kini usaha kue online nya sangat maju."
Aku mengangguk mahfum.
Tamat.
Taiwan, 100512.
0 Suara:
Posting Komentar