"Mamah ada kunang-kunang!" teriak anakku dengan kerasnya.
Aku yang sedang membaca majalah di ruang tengah terpaksa menghentikan kegiatanku untuk sebentar menoleh ke putra tunggalku Iwan.
"Mana, Mamah nggak lihat ada kunang-kunang." kataku kepada putraku.
"Ini, Mah. Lihat di sebelah sini, kunang-kunangnya mau terbang." Iwan berkata dengan riangnya.
Aku beranjak mendekati dimana anakku berdiri, kuikuti jari kecilnya yang menunjuk ke suatu arah, benar saja di sana terlihat kelap kelip dari kunang-kunang.
Aku tersenyum kearah Iwan, "Bagus ya kelap kelip."
Kuacak rambut anak semata wayangku itu dengan sayang, dan aku kembali melanjutkan membacaku.
Tak sengaja kudengar Iwan bergumam. "Berarti sebentar lagi ada paket dari Papah."
Alisku mengeryit mendengar gumaman anakku itu. "Dari mana Iwan tahu kalau akan ada paket dari Papah? Apa Papah bilang sama Iwan?" tanyaku untuk menutupi penasaranku.
"Kata Ana temen Iwan, kalau ada kunang-kunang masuk rumah di siang hari berarti akan ada kiriman paket, Mah." Anakku menjawab dengan polosnya.
"Begitukah?"
"Iya, Mah. Ana saja sering mendapati kiriman paket dari kakaknya yang bekerja di Luar Negri bila di rumahnya ada kunang-kunang."
"Tapi itu bukan pertanda, Wan." Kataku. Aku tak ingin anakku salah persepsi.
Kulihat Iwan tak terlalu peduli dengan omonganku. Bocah umur 7 tahun itu semakin asyik mengamati kunang-kunang yang hinggap tak jauh dari tempatnya berdiri.
Sejurus kemudian Iwan, anakku berseru. "Mah, Iwan mau main ke rumah Ana sebentar boleh, ya."
Aku mengangguk sambil berpesan. "Jangan terlalu lama bermain, ya. Nanti sore kamu kan harus mengaji."
Anakku yang lucu itu mengangguk dan berlari ke luar menuju ke rumah Ana teman sepermainannya.
"Dan jangan nakal, ya." teriakku. Berharap masih terdengar bersama langkah-langkah kecil Iwan.
Aku menghela nafas. Ada-ada saja pikiran anak-anak. Masa kunang-kunang berhubungan dengan paket. Batinku sambil geleng-geleng kepala. "Hhhmm namanya juga anak-anak."
Aku meneruskan kembali membacaku. Tak berapa lama kemudian aku mendengar langkah-langkah kecil mendekat. Rupanya Iwan anakku sudah pulang dari rumah Ana.
"Kok cepat sekali sudah pulang, Wan." Tanyaku pada anakku.
Iwan hanya diam tak menjawab pertanyaanku. Mukanya cemberut menahan kesal.
"Loh, kok cemberut. Berantem lagi sama Ana?" tanyaku khawatir. Meski pertengkaran kecil anak-anak itu sudah terbiasa, tapi aku merasa tak enak hati terhadap ibunya Ana.
Iwan, anakku menggeleng kuat-kuat. Mulutnya semakin manyun.
"Lantas kenapa kamu cemberut begitu?"
Anakku itu menghela nafas. Tangannya disedekapkan di dada. Lagaknya sudah seperti orang dewasa saja. Kemudian dia berujar. "Kunang-kunangnya salah alamat, Mah."
Aku tersenyum melihat ekpresi anakku kali ini. "Lah kok bisa?" tanyaku.
"Iya, Mah. Kunang-kunangnya tidak bisa membedakan angka 6 dan angka 9." Ujarnya lagi.
Aku heran dan bertanya, "Kenapa bisa begitu?"
Lagi-lagi Iwan menghela nafas. "Kunang-kunangnya masuk ke rumah kita yang no 6, sedang paket yang datang masuk ke rumah Ana yang no 9. Kunang-kunangnya salah alamat, Mah." katanya diiringi wajah polosnya.
Aku hanya geleng-geleng kepala mendengar penuturan anakku Iwan. Anak kecil ada-ada saja.
4 Suara:
hkhkhk...keren,lucu!:-D:-D
Xie-xie ^_^
yang barunya mna aj yu?
Di liat aja di tulisanku.
Posting Komentar