Diberdayakan oleh Blogger.

Senin, 21 Mei 2012

JIE-JIE * MIU






Jie Miu menatap nanar padaku. Mata ebony nya melotot, mulutnya terkatup rapat. Gigi gerahamnya saling beradu terlihat dari kulit pipinya yang sedikit mengeras. Tangan kirinya yang tak lumpuh menggenggam kursi roda kuat-kuat.


"Satu suap lagi, Jie. Nanti kamu sakit," bujukku.
Jie Miu tetap berada pada sikapnya. Entah salah apa lagi aku kali ini.

"Kamu jahat! Pergi kau dari hidupku!"
Tiba-tiba Jie Miu berteriak kasar. Dia memang temperamen, aku sudah terbiasa menghadapinya setiap hari. Tapi hari ini terpancing juga emosiku.

"Baiklah kalau begitu. Telepon agen sekarang dan aku
pulang," teriakku tak kalah garang.
Peduli amat dia majikanku. Aku sudah terlanjur sakit hati. Kenyang diperlakukan semena-mena setiap hari.

"Aku sudah tak betah di sini, memangnya kau pikir hanya kamu saja yang butuh pembantu?"
Bahasa mandarinku masih kurang meski sudah hampir setahun aku tinggal di Taiwan.. Biasanya aku hanya menangis jika dibentak-bentakoleh Jie Miu, wanita paruh baya yang aku rawat. Kali ini lain, kutumpahkan semua emosiku.

"Apapun yang kulakukan selalu kau protes. Silahkan urus dirimu sendiri kalau bisa." Kata-kataku berlomba keluar dengan air mata.
Aku terisak di samping kursi roda Jie Miu.
****


"Dulu dia tak begini, Is. Meski sering marah-marah tapi jarang sekali membentakku. Tapi semenjak aku punya handphone dia semakin galak." Aku mengadu pada Isti temanku.
Di pagi seperti biasa, Isti menemani anjing majikannya jalan-jalan, dan aku membawa Jie Miu menghirup udara segar. Isti pasti menyempatkan ngobrol denganku meski sekejap.

"Mungkin dia ga suka melihat handphone mu yang canggih itu," goda Isti.
Aku tersenyum kecut.

"Kenapa mesti ga suka? Toh aku membelinya juga memakai uangku sendiri, bukan fasilitas dari dia. Hen jikuai."(1)

"Yang sabar, untung saja dia tak mengamuk,"
Aku diam bergelut dengan pikiranku sendiri. Pekerjaanku tak pernah terbengkelai, tapi tetap saja Jie Miu protes.

"Atau mungkin dia kesepian karena kau tinggal bermain handphone," lanjut Isti kemudian setelah sesaat lamanya terdiam.

"Entahlah, Is. Pokoknya aku mau minta pindah majikan saja."

"Ya terserah kamu, yang penting jangan kabur."

Mungkin jika terdesak terpaksa aku memilih jalan pintas, dari pada hidup dengan Jie Miu. Seperti di neraka.
****


Perlakuan Jie Miu semakin membingungkanku. Terkadang dia teramat lembut, terkadang juga dia teramat kasar. Layaknya siang ini ketika agen ku datang, dia menangis meratap-ratap.

"Aku tak mau dirawat oleh orang lain, aku mau Sovi saja," rengeknya kepada Nyonya dan Tuanku.

Apa dia lupa? Kemarin hampir saja tanganku melepuh jika aku tak menghindar. Ketika dengan ganasnya dia menampar nampan berisi sup panas yang kubawa.

"Aku muak melihatmu wanita jalang," teriaknya kala itu.
Padahal sebelumnya dia tenang-tenang saja. Barang yang ternyata membuatnya marah pun sudah kusembunyikan. Handphoneku.

"Aku minta maaf Sovi, tapi jangan lah kau pulang," ucapnya di sela isak tangis.
Di depan agen dan orang tuanya.
Melihat perubahan sikapnya agenpun membujukku untuk lebih bersabar.

 Aku tak mampu berkata lagi, hanya bisik kelu kuucapkan ketika agen hendak berpamitan.
"Tak ada masalah lagi bukan? Bersabarlah sedikit."

"Baiklah," ucapku. Tanpa senyum, tanpa semangat.
****


Jie Miu berulah lagi. Kali ini tak mengamuk melainkan
membuat berantakan seisi almari.

"Kamu mencari apa?" seruku.

Jie Miu tak mengindahkanku.Aku hanya mematung melihat tingkahnya.

"Ketemu!" teriaknya kemudian.
Sebuah kardus terbungkus kain ada di tangannya.

"Mau kau apakan benda itu?" Aku penasaran.
Dibukanya perlahan pembungkus itu. Jie Miu mulai terisak. Tangannya gemetar.

"Barang ini penghancur hidupku. Karenanya aku jadi begini. Aku benci semua ini."
Muka Jie Miu pucat pasi. Timbul iba di hatiku. Kupeluk
majikanku itu untuk memberi kekuatan.

"Buang barang itu. Bakar. Aku tak mau melihatnya lagi."

"Baiklah, tapi kau harus tenang dulu. Akan kusingkirkan penghancur hidupmu ini tapi jangan menangis lagi," rayuku.
Bergegas aku menyingkirkan kotak itu dari hadapannya, sebelumnya kubuka dahulu untuk melihat isinya. Aku penasaran dan terkejut. Seperangkat handphone yang masih
baru ada di dalamnya.
****

Kutimang-timanghandphone Jie Miu. Sayang juga jika barang yang masih bagus ini harus dibuang.

"Kalau aku kirim ke Indonesia pasti Jie Miu tak tahu," batinku.
Tetapi niatku itu urung. Terkalahkan rasa penasaran.

Kudekati Nyonyaku pelan-pelan dan kuangsurkan handphone Jie Miu.
Nyonyaku terkejut,
 "Dari mana kau dapat barang ini?"

Aku ceritakan saja Jie Miu memintlu memusnahkannya tapi tak kulakukan.
"Benda ini kenangan buruk Miu."

"Kenapa bisa begitu, Nyonya?"
Majikan perempuanku itu berdiri, berjalan ke samping
jendela dan mulai bercerita.

"Dulu Miu gadis yang cantik dan cerdas. Miu baru saja
menikah dan hidup bahagia bersama suaminya. Tapi
bencana datang bersamaan dengan barang itu ada."
Nyonyaku berjalan mendekatiku.

"Maka dari itu dia tak menyukai kau membeli handphone. Dia trauma."

"Maaf, Nyonya tapi mengapa harus handphone?"

"Kala itu Miu sedang menyetir dan ada panggikan masuk di handphonenya yang menyebabkan dia tak konsentrasi lagi. Tak dapat dielakkan kecelakaanpun terjadi, dan kau tahu sendiri Miu jadi gadis lumpuh."

"Lantas suaminya?" kejarku.
Mata Nyonyaku terlihat merebakkan air mata.

"Dia meninggalkan Miu karena malu mempunyai istri cacat."
Hening.

*Kakak perempuan
1. sangat aneh.



TAMAT
Taiwan, 110512.
oleh Rahayu Wulansari

0 Suara:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites