Diberdayakan oleh Blogger.

Senin, 14 Mei 2012

Adhek

"Xie Xie," ucapku pada waiters yang melayaniku. 

Secangkir kopi cappucino panas telah terhidang di depanku. Coffeeshop tempat aku berada sekarang lumayan ramai. Di luar hujan gerimis, tak ayal jika tempat ini dipenuhi pengunjung yang ingin sekedar menghangatkan tubuh. 

Mataku menatap sekeliling, kuperhatikan satu per satu wajah-wajah penghias coffeeshop ini. Ada yang penuh tawa, ada yang datar-datar saja, ada pula yang bermuram durja. Semua berbeda, tapi aku yakin di balik wajah-wajah mereka pasti ada masalah yang membebani meskipun entah apa itu. 

Kuamati dengan seksama buku bersampul nila di tanganku. Kusapu permukaannya dengan lembut, tak pernah aku lelah membacanya. Kubuka halaman per halaman yang isinya hampir aku hafal. 

@_@ 

Agustus yang luka. 

Kamu tahu apa yang disampaikan langit senja yang merah dan pelangi yang muncul setelah hujan membuat bumi basah? 
Kamu tahu apa yang dipesankan langit malam penuh bintang dan semburat fajar sebelum pagi menjelang? 
Kamu tahu apa yang dikatakan langit siang yang biru dan gumpalan awan yang bergerak saat angin bergemuruh? 
Mereka semua bilang, aku cinta kamu, Abang. 

Sudah berhari-hari ku tak dengar kabarmu, Bang. Kau menghilang kemana? Ingin rasanya aku mencarimu. Tapi bahkan alamatmu pun tak ada. Satu nomor ponselmu yang kutahu, itu pun jarang sekali aktif. Sebenarnya ada ragu di hatiku akanmu, Bang. Namun semua terkalahkan oleh besarnya rasa cintaku. Hanya terdiam dalam penantian yang aku lakukan, berharap kau sedikit tergerak hati untuk sekedar SMS aku. 

Perubahan sikapmu semakin membuat kecurigaanku bertambah Bang. Bagaimana tidak? Awal mula kita kenalan dulu, lewat sebuah sms nyasar, kau masuk ke dalam hidupku. Menawarkan keindahan, memberi beraneka warna. Setiap hari ada saja kejutan-kejutan kecil darimu. 

Aku tersenyum jika mengingat itu, Bang. Setelah kau mengantarku sampai ke kampus, aku akan mencium tanganmu, dan kau akan mengacak rambutku dengan sayang. Kenangan yang manis bukan? Pernah suatu hari dengan tiba-tiba kau datang kerumah membawa sebuah boneka Teddy kesukaanku, setelah berhari-hari kau tenggelam dalam kesibukanmu. Hanya untuk meminta maaf karena sms ku tak pernah kau balas. Romantis sekali? 

Tapi itu semua tak kutemui lagi. Setahun semenjak kita resmi jadian, kau bilang harus pindah kerja ke tempat yang jauh dariku. Sungguh sedih jika harus berpisah darimu, Bang. Tapi aku tetap mendukungmu, ini semua demi karirmu. Meskipun kenyataannya dengan begitu kau menghilang dari hidupku. Tak ada kabar berita darimu untukku setelah itu, tak tahukan aku resah menunggumu, Bang? Tak tahukah kau hari-hariku dipenuhi bayang-bayangmu? Tahukah kau? 

@_@ 

Handphoneku berdering memberitahukan ada sms masuk, dari Lee, teman sejawatku. Dia memberitahukan ada job baru di pabrik roti. Kalau beruntung mungkin akan dipakai terus. Aku mulai merasa lelah beradaptasi. 

"Waiters, cai i pei kafei, please," teriaku pada pelayan. 

Kurapatkan jaketku untuk memberikan efek hangat pada tubuhku. Hujan di musim dingin menambah udara Taiwan makin menggigit. Sebenarnya malas aku keluar kontrakanku setelah semalam menyelesaikan shift malam. Tapi panggilan perut untuk di isi memaksaku meninggalkan persembunyianku yang hangat. 

Pelayan datang bersama secangkir kopi yang telah kupesan lagi. Sambil menunggu hujan reda karena aku lupa membawa payung, ku duduk sambil membuka-buka kembali buku bersampul nila yang selalu kubawa kemana-mana. Buku peninggalan satu-satunya dari orang yang telah kusakiti karena egoku. 

@_@ 

September tak selamanya ceria. 

Abangku datang! Rindu yang tertumpuk ini tak bisa kubendung lagi. Meskipun aku harus berbohong terhadap ayah untuk menemui abangku, tapi tetap kulakukan. Maaf ayah, anakmu ini telah tak kuasa menahan hati yang terajam rindu, kuharap ayah mengerti. 

September memang tak selamanya ceria. Baru beberapa hari yang lalu aku ketemu abangku, sekarang rindu ini telah tertumpuk lagi. Dan abangku tenggelam menghilang lagi. Ah, Abang, kau telah sukses mempermainkan perasaanku. Meskipun kebersamaan kita banyak sekali mencipta derita untukku yang bertubi-tubi, tapi aku tetap bertahan. 

Aku pernah bermimpi, Bang. Di dalam mimpiku itu Abang sms dengan menyebutkan dua nama wanita. Jangan-jangan itu anak dan istrimu, Bang? Tapi segera kuhilangkan dari pikirku. Kau tak mungkin menyakitiku kan, Bang? Kau orang paling baik yang pernah ada, dan aku yakin kau tak mungkin melakukan itu. Berbohong padaku bahwa sebenarnya kau telah berkeluarga. 

Sesuai dengan kata-katamu padaku, "Dek, kamu adalah bintang Abang. Tak akan mungkin Abang membiarkan wajahmu terhias air mata lagi." Sesaat setelah aku menangis tersedu karena kau tak menepati janji pertemuan kita lagi. 

Abang, aku ingin mencintaimu secara sederhana, seperti bahasa yang tak sempat disampaikan kayu kepada api yang menjadikannya tiada*. Aku ingin cinta ini tak menyusahkanmu, Bang. 

@_@ 

Gerimis tinggal menyisakan basah pada semua tempat. Aku beranjak pulang ke kontrakanku, sudah terlalu lama aku merenung di coffeeshop tadi. Sesuatu yang selalu kulakukan jika aku ingat Adek. Semua penyesalanku kini tiada guna, dan kata maaf juga belum sempat ku ucap. Yang ada hari-hariku dipenuhi perasaan bersalah yang teramat besar. 

Aku berjalan agak cepat di Yuan Duang Road. Ketika sampai pada perempatan depan, aku akan belok kanan menuju stasiun Taipei. Kali ini aku mau naik MRT saja biar cepat sampai. 

Di dalam MRT aku teringat Adek lagi. Tak bisa kubayangkan saat dia menahan sakit di kepalanya, dan dia hanya diam saja. Kekecewaannya terhadapku membuat dia 'down' hingga maag akut dan vertigo bersemayam di tubuhnya tanpa dihiraukan. 

"Dek. Maafkan, Abang," bisikku pada buku bersampul nila peninggalannya. "Andai Abang punya keberanian mengatakan dari awal, mungkin semua ini tak akan terjadi." 

Peristiwa di masa silam tentang 'Adek' seseorang yang telah kuremuk redamkan hatinya karena ulahku membuatku terpental ke bumi Formosa ini. Aku tak mungkin mampu hidup di daerah yang kesemuanya mengingatkan aku akan sosok 
Adek. Meskipun 8 tahun di Taiwan juga tak sedikitpun mengikis memoriku tentangnya. Hanya hidup dibalut penyesalan yang ada. Kubuka lagi buku bersampul nila milik Adek, kini aku harus 
menahan air mata jika membaca bagian ini. 


@_@ 


Januari yang hujan. 

Januari hujan sehari-hari. Begitu pula hidupku, sepertinya ingin cepat-cepat kuakhiri. Abangku, dia tak hanya menghilang tanpa 
kabar, tapi aku harus merelakannya pergi. Kabar yang menusuk itu datang setelah tahun baru. Satu minggu sesudah Abang mengajakku jalan-jalan. Aku senang sekali waktu itu, cincin yang dia sematkan di jari manisku membuatku makin mantap terhadap Abang. 

Kecurigaanku sirna sudah, aku percaya abangku sepenuhnya. Tapi tidak untuk sekarang, setelah akhirnya abangku mengaku bahwa firasatku benar, dia telah beristri. Kau tahu, Bang? Aku ingin marah saat itu, tapi tak kulakukan. Hanya airmata mewakili sakit hatiku terhadapmu. Kau memporak porandakan hatiku dengan kejam. Kau kenalkan aku kepada keluargamu, seolah-olah benar aku adalah calon 
pendampingmu. Dan dengan sempurna kalian menutupi 
keberadaannya, Kak Kristin dan Velyn istri beserta anakmu. 

Aku juga wanita, Bang. Dan aku tak mau menyakiti hati Kak Kristin lebih lagi. Meskipun alasanmu berbohong tentang Kak Kristin adalah karena hubunganmu dengannya tidak baik, bahkan di ambang kehancuran. Aku tetap tak mau, Bang. 

Kini pilihanku jatuh pada melepasmu pergi. Aku harus bisa hidup tanpamu, Bang. Selamat Tinggal abangku, terimakasih atas semua rasa yang telah kau beri di hidupku. 


@_@ 


Aku menutup buku bersampul nila di tanganku, aku tak kuasa lagi membaca lanjutannya. Meski aku telah tahu apa yang terjadi, namun mataku masih selalu meremang jika mengingatnya. 

Hari itu 8 tahun silam. 

"Mas Lukman cepat ke Rumah Sakit," teriak adikku. 

"Siapa yang sakit?" 

"Mbak Fitri." 

Mendengar namamu disebut, aku langsung menuju Rumah 
sakit yang disebutkan adikku. Sesampainya di sana, aku melihatmu terbujur lemah tak berdaya dengan muka pucat 
sempurna. Kata dokter kau menderita maag akut disertai 
vertigo. Aku heran, tak sedikitpun kau merintih, mengeluh, yang kau lakukan hanya diam. 

Aku bertanya pada Rani yang menungguimu waktu itu. "Sudah lama dia sakit begini, Ran?" 

"Sudah, Mas. Kira-kira semenjak tahun baru." 

"Kenapa tak dibawa berobat dari dulu? kenapa nunggu parah?" 

"Fitri tak pernah bercerita, Mas. Dia hanya diam saja. Fitri dibawa ke sini pun karena ditemukan orang pingsan di 
kuburan." 

"Kuburan?!" 

"Kuburan Ibu Mas Lukman." 

"Ngapain Fitri kesana?" 

"Entahlah, Mas. Dia jarang bicara akhir-akhir ini, hanya menangis yang dilakukannya setiap hari." 

Aku menghela nafas, sifatmu memang seperti itu, Dek. Kusentuh lembut kepalamu. Andai bisa, kuingin bertukar 
tempat denganmu. Biar aku yang merasakan semua ini, kau terlalu lembut untuk merasakan sakit akibat keegoisanku. Dek, bangunlah. Abang ingin minta maaf padamu, sungguh. 

Itulah terakhir kumelihatmu, Dek. Sebelum aku pergi, Rina 
memberikan buku bersampul nila ini, buku curahan hatimu. 
Setelah itu, aku terlalu sibuk mengurusi perceraianku dengan Kristin. Dia tak menerima pengakuanku tentang kita. Dia lebih memilih berpisah meskipun aku telah bersujud di kakinya. Aku kehilangan orang-orang yang aku sayang dalam hidupku perlahan-lahan. Ibuku, Kristin dan Velyn, dan kini Kamu. 

Kuseka air mata yang meremang di sudut mataku. Taiwan yang dingin menyambutku dengan ganas, hingga aku terpaksa menjadi kaburan karena tak ada yang bersahabat denganku di sini, bahkan alamnya pun ikut memusuhi. Karma ini aku dapat sekarang. 


@_@ 


Aku keluar dari stasiun saat tak kusadari ada 'Pakde' sedang berjaga-jaga di ujung jalan. 

Dug...dug. ..dug... jantungku 
berdegup tak beraturan. Padahal sudah sering aku mengalami hal ini, bertemu Pakde. Tapi entah kali ini ada perasaan takut teramat sangat. Keringat dingin mengucur di dahiku, jatuh ke 
pipi. 

"Maaf, tunggu sebentar. Kamu orang Indonesia?" 

"Iya, betul." 

"Bekerja di mana?" 

"Pabrik kaca." 

"ARC atau Paspor?" 

Aku mulai gelagapan. Bagaimana aku mempunyai semua itu? Setelah 8 tahun aku kabur dari majikan pertamaku di kapal fery 
miliknya, semua identitasku palsu. Aku terdiam karena tak bisa memberikan yang polisi minta. Dan inilah akhir riwayatku sebagai kaburan. Aku di bawa ke penjara Yinlan untuk ditampung kemudian dideportasi. 

Begitulah kehidupanku selama ini, jadi kaburan yang bekerja serabutan. Tak pernah tenang hidup di area bebas, selalu was-was dan takut. Kini di penjara ini aku tinggal menunggu waktu sidang yang entah kapan terlaksana. Karena saat tertangkap aku tak membawa banyak uang. Alhasil, aku pasrah karena untuk bayar denda dan beli tiket pulang ke Indonesia pun menunggu kebaikan Pemerintah RI. 

"Indonya mana, Mas?" tanya laki-laki yang bernasib sama 
sepertiku. Dipenjara dan siap dideportasi. 

"Palembang," jawabku. 

"Sudah lama kabur?" 

"8 tahun, kamu?" 

"Wah lama juga, ya? Aku mah ga bakat kabur, baru 2 minggu sudah ketemu pakde. Untung aku punya temen yang minta bantuan ke KDEI." 

"Terus?" 

"Ya besok aku sidang ke dua." 

"Aku ga tahu nasibku akan seperti apa?" 

"Besok pengacara yang dikirim orang KDEI datang kemari. Aku bilang sama dia biar bantu kamu, mau ga?" 

"Bener? pasti mau lah." 

Ada sedikit pencerahan tentang nasibku kemudian. Semoga pengacara yang dikirim KDEI itu bisa membantuku keluar dari 
penjara ini dan segera pulang. 

Keesokan paginya, temen dalam penjara yang ngobrol 
denganku kemarin memanggilku. "Hei!" 

"Ya." 

"Pengacaraku datang, aku sudah bilang ke beliau untuk bantu kamu, dan dia sekarang sedang berbincang dengan penjaga agar diperbolehkan menemuimu." 

"Sungguh? Terima kasih, ya." 

Tak lama kemudian namaku dipanggil. Dengan bahasa mandarin yang ala kadarnya, aku bisa menangkap maksud si penjaga penjara ini bila aku ada yang menjenguk. 

Kurapikan sedikit muka dan rambutku dan aku bergegas ke ruang yang telah disediakan. 

Ruangan itu mirip ruang tamu, dengan satu set sofa di 
tengahnya serta beberapa almari di pinggir-pinggir ruangan. 

Tempat ini terasa bagai kutub selatan di tubuhku. Bukan lantaran karena AC nya kurang panas, tetapi karena wanita berkacamata yang sedang membuka-buka file di map digenggamannya itu. Wanita itu meski menunduk aku bisa mengenalinya. Juga dari aroma tubuhnya yang sudah sangat kuhafal, setidaknya dulu. 

Wanita itu mendongak menyadari aku telah berdiri di 
depannya. Dengan telunjuknya dia membetulkan letak kacamatanya yang hampir melorot. Aku terkesima dan rasanya 
hampir tak percaya. 

"A... Adek." 


Tamat oey! 

Jeet Veno_Mena Ayu.

0 Suara:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites