Namanya Limay, umur 92 tahun.
Di usianya yang sudah di ambang batas ini dia masih sehat dan segar bugar jika sedang mengomel. Tapi kalau untuk berjalan, makan, mandi atau ke WC, dia sudah tak mampu lagi, sudah tak bertenaga.Pantas rasanya julukan 'Mak Lampir' kuanugerahkan untuknya. Julukan yang diberikan oleh kami, para pekerja Indonesia di Taiwan, untuk majikan-majikan yang cerewet. Sama seperti Ama. Pagi, siang, sore, malam, yang dilakukannya hanya mengomel. Sepertinyasemua pekerjaanku tak pernah benar di matanya.
Begitu pula pagi ini. Seperti biasa, aku memasak sarapan untuk Limay yang biasa kusapa Ama. Kali ini dia ingin makan bubur dengan steam telur serta abon. Setelah siap saji, kudorong kursi rodanya ke meja makan. Perlahan-lahan Ama kusuapi. Belum sampai bubur itu ke dalam mulutnya, omelannya sudah keluar duluan.
"Kamu masak bubur kental sekali, seperti nasi saja! Mana bisa aku menelannya?"
"Maaf, Ama. Lain kali aku tambah air," jawabku mengalah.
Ini baru bubur yang dia protes, belum yang lain-lain.Bahkan cara berjalankusaat mendorong kursi rodanya pun bisa jadi bahan omelannya.Padahal itu karena aku letih dan juga berhati-hati.
"Hei! Cepat sedikit jalannya! Apa orang Indonesia cara berjalannya seperti ini? Lamban!"
Ya, Tuhan! Andai aku tidak takut dosa, sudah kudorong dengan cepat dan kubiarkan kursi rodanya menggelinding bebas di jalanan menurun.
@_@
Namaku Imah, umur 29 tahun.
Aku bekerja di Taiwan sudah enam bulan dengan job merawat Ama. Tinggal hanya berdua dengan Ama di apartemen.Ketiga anak laki-laki Ama adalah orang-orang super sibuk. Mereka memasrahkan segala urusan dan kebutuhan Ama ke tanganku.
"Imah, tolong jaga ibu saya baik-baik.Memang dia agak cerewet, tapi sebenarnyahatinya baik. Jangan diambil hati semua perkataannya. Kamu kerja di Taiwan kuncinya sabar," kata salah seorang majikanku suatu hari. Saat itu dia mendapat jatah untuk menjenguk ibunya.
Aku hanya mengangguk-angguk tanda mengerti. Andai aku bisa lancar bicara dalam bahasa mereka, pasti sudah kutangkis perkataan tuanku yang mengatakanAma sebenarnyabaik hati. Baik hati apanya? Orang dia mau membunuhkusetiap harinya. Membunuh pelan-pelan dengan segala kecerewetan dan omelannya.
"Imah, tolong garuk punggungku! Rasanya gatal sekali. Ini gara-gara terong yang kamu masak kemarin!"
"Bukannya Ama yang minta aku masak terong?"
"Mana mungkin! Aku sudah lama tidak makan terong, bikin kulit gatal."
"Tapi kenapa kemarin aku masak dimakan sampai habis?"
"Orang sudah dimasak mau gimana lagi? Dibuang sayang, belinya pakai uang. Sekarang musim panas, terong mahal."
Duh, aduh! Sudah tua, cerewet, sedikit pikun pula. Padahal kemarin dia yang menyuruhkumemasak terong, sekarang aku pula yang kena semprot. Mak, Imah tak betah hidup sama Mak Lampir! Imah pingin pulang...!
@_@
Aku menghubungi agenku hari ini, karena aku sudah benar-benar tak kuat menghadapikecerewetan Mak Lampir. Untuk hari ini saja aku sudah dua kali kena semprot. Pertama saat mencuci piring, Ama melihat banyak busa dari cairan pencuci piring yang kupakai.
"Imah, pakai cairan pencuci piring jangan terlalu banyak! Busa itu tidak bagus bagi tubuh!"
Itu yang pertama, dan omelan yang kedua saat aku mengepel lantai. Tak sengaja gagang pel menyentuh kaki kursi dan menimbulkan suara yang lumayan keras. Langsung Ama berteriak,"Imah! Kamu ngepel hati-hati sedikit! Ini kursi belinya di Cina, di Taiwan tak ada kursi sebagus ini! Dasar sembrono!"
Dan puncaknya saat Ama menyuruhkumembereskan lemari pakaiannya. Aku tak berani menyentuh apa-apa kalau bukan dia yang menyuruhku.
"Tolong sekalian ambilkan bungkusan warna hijau di dalam lemari bagian atas!"
"Bungkusanapa? Tidak ada disini," sahutku sambil mencari-cari.
"Tidak mungkin! Berpuluh-puluh tahun barang itu kusimpan disana, tidak mungkin hilang jika tidak ada orang yang mengambilnya!"
"Tapi benar, Ama, disini tidak ada barang apapun."
"Di bawah pakaianku,dari dulu aku menyimpannya disitu. Itu warisan dari ibuku. Kamu pasti mencurinya! Di rumah ini cuma kamu yang bebas kemana-mana."
Aku terkejut sekaligus emosi. Ini sudah keterlaluan. "Aku mencuri apa, Ama? Bahkan barang apa yang Ama maksud pun aku tidak tahu!"
Akhirnya aku menangis. Aku tak kuat akan perlakuan Ama kali ini, sakit hatiku dituduh mencuri. Padahal barang yang dimaksudnya itupun aku tak pernah melihat wujudnya. Sampai-sampai Ama memaksa menelepon anaknya yang ada di Taichung untuk datang.
Dan aku masih menangis saat agenku datang beberapa jam kemudian. Bagus, biar sekalian agenku melihat perlakuan Ama terhadapku. Jadi aku semakin punya alasan untuk minta berhenti dan dicarikan majikan baru.
Sebenarnyapermasalahannya sudah selesai beberapa waktu sebelum agenku datang, karena anak Ama sudah menemukan barang yang Ama maksud. Yang ternyata disimpan di dalam laci lemari, tempat yang tidak boleh kusentuh saat pencarian.Aku terkejut, ternyata barang yang ia maksud itu cuma tiga biji koin Cina kuno!
"Laushi,[*] saya minta ganti majikan," kataku sambil terisak. "Aku tak mau berlama-lama lagi di rumah ini. Kalau tidak bisa ganti majikan maka aku akan pulang saja!"
Sakit hatiku benar-benar sudah mencapai puncak. Aku tak peduli meski aku masih dalam masa potong gaji. Aku tak tahan lagi mengurus perempuan tua itu! Mak Lampir yang sangat menyebalkan!
Namun permintaanku tak digubris agenku, "Kamu bekerja di Taiwan harus sabar. Namanya orang tua memang suka lupa menaruh barang."
Aku dinasehatipanjang lebar dan kesimpulannya, aku tak bisa pergi begitu saja dari sini. Uuuh!
@_@
Meskipun aku sudah terbukti tak bersalah dalam peristiwa tiga koin Cina kuno tempo hari, Mak Lampir-ku itu tetap tak merubah pandangan dan perlakuannya terhadapku. Masih saja aku dianggap salah. Semua yang aku kerjakan tak lepas dari kritikan dan omelannya.
Saat di taman Da'an, tempat Ama biasa berjemur, aku bisa bertemu banyak teman Indonesia.Ngobrol meskipun hanya sebentar, sudah biasa kami lakukan. Selain melepas suntuk, kami juga bisa bergosip dan bertukar info. Entah soal majikan masing-masing, tentang organisasipara TKI Indonesia di Taiwan, atau sekedar ngobrol tentang artis Indonesia yang akan manggung di Taiwan
Ama untuk urusan satu ini tak begitu ambil pusing. Mungkin karena kami ngobrol dalam bahasa Indonesia,jadi dia tidak mengerti hingga alpa mengomel.
"Bener nantinya enak?" tanyaku pada Ranti temanku.
"Menurut yang sudah ngejalaninsih begitu. Kita bisa bebas ganti majikan kapan saja. Malah lebih dihargai, gaji juga lebih gede," Ranti menjelaskan dengan menggebu-gebu.
"Tapi aku takut. Kalau ketangkap gimana?"
"Asal punya uang 30.000 dolar buat bayar denda, bisa langsung pulang. Lagian nggak usah keluar rumah, pasti nggak ketangkep."
"Terus kalau nggak cocok sama majikan gimana?"
"Agen siap mencarikanpekerjaan.Pokoknya jangan takut nganggur!"
"Ya deh, nanti kupikir-pikir dulu."
"Semua terserah kamu, kalau kamu betah hidup tiga tahun bersama Mak Lampir-mu ini, ya mending jangan kabur."
Begitulah percakapanku dengan Ranti, teman sesama TKW di Taiwan. Memikirkankecerewetan Ama dan semua perlakuannya, timbul niatku untuk kabur saja. Kalau tidak, mungkin pulang ke Indonesia nanti aku sudah dalam keadaan depresi.
Malam itu kumantapkan sudah, aku akan kabur saja. Setelah kupastikankeadaan aman, kusempatkan menengok Ama di kamarnya. Perempuan tua itu tampak tertidur lelap di ranjang. Ah, tiba-tiba muncul perasaan ragu di hatiku, saat kuamati sosok tua itu. Keriput di wajahnya yang damai saat tidur membuatku merasa iba. Andai nanti dia bangun tapi tak mendapati aku ada disini, akan bagaimana nasibnya? Apa akan jatuh? Karena berjalan pun ia sudah tak mampu. Atau akan berteriak-teriak minta tolong? Bagaimana jika tak ada yang mendengarnya? Bayangan Ama sedang ketakutan membuatku benar-benar ragu. Akhirnya aku mengurungkan niat kabur hari ini. Mungkin memang harus bersabar dulu menghadapisemua ini.
@_@
Kesehatan Ama makin lama makin menurun. Tapi omelan khasnya tak sedikitpunada penurunan,tetap keras dan cadas. Kalau dia tidak protes malah terlihat aneh. Faktanya itulah yang terjadi akhir-akhir ini. Ama berubah jadi pendiam.
Pagi itu Ama mengeluh sakit perut. Dan aku mengabari majikan-majikanku bahwa Ama sakit. Mereka menyuruhkuuntuk membawa Ama ke Rumah Sakit. Tumben sekali Mak Lampir bisa sakit, atau karena sudah dekat waktunya? Hatiku masih sempat berkomentar nakal.
Pertanyaanku terjawab. Dokter menyuruhkumenghubungi majikanku,dan aku melakukannya tanpa banyak bertanya lagi. Tak berapa lama mereka sampai di Rumah Sakit dan langsung menemui dokter yang menangani Ama. Beberapa menit berlalu. Majikanku keluar dari ruangan dokter.
"Imah, Ama zhi diao le."
"Zhen de ma?"
"Sh a."
Aku kaget. Bingung. Tak tahu apakah harus menangis, sedih atau gembira mendengar ini. Yang jelas hatiku mendadak beteriak, "Yes, penderitaanku selesai!"
@_@
Hari-hari persemayaman jasad Ama, aku amatlah sibuk. Selama 10 hari aku bantu-bantu para tetangga memasak untuk biksu-biksu yang mendo'akanjasad Ama. Meskipun melelahkan, aku merasa senang melakukannya. Karena kini aku sudah terlepas dari kecerewetan Ama dan bisa segera ganti majikan. Semoga majikanku yang baru nanti akan lebih baik, harapku.
Sepuluh hari berlalu. Siang itu agen beserta penerjemahdatang ke rumah majikanku.Kupikir mungkin akan menjemputku untuk dibawa ke majikan yang baru. Tapi ternyata tidak. Kejadian selanjutnya malah membuat aku malu dan kelu.
"Imah, ada satu pesan Ama sebelum meninggal," kata majikanku.
Karena aku tidak begitu mengerti bahasa yang mereka gunakan, maka aku diam saja. Sampai penerjemahmenerjemahkannya untukku.
"Imah, kamu sangat beruntung.Ama ternyata sayang sekali padamu. Sebelum meninggal,dia menulis surat wasiat tentang pembagian harta warisan. Dan kamu termasuk di dalamnya. Ama memberimu sejumlah uang dan satu set perhiasan.Kata majikanmu semoga bermanfaat. Jadi kamu tak perlu lagi ganti majikan. Kamu bisa pulang Indonesia.Warisan dari Ama ini bisa untuk membuka usaha di kampung dan juga membeli rumah," penerjemahku menguraikan panjang lebar.
Aku terkejut, melongo tak percaya pada apa yang kudengar. Mataku tak berkedip saat menatap para majikanku,anak-anak Ama. Mereka semua menganggukmembenarkan. Aku menelan ludah dengan susah payah, menarik napas sedalam mungkin, sebelum akhirnya tergugu di tempat dudukku.
Beberapa hari yang lalu aku sempat bergembirakarena telah terlepas dari Ama, bahkan lega atas kematiannya. Tapi sekarang, tiba-tiba saja aku merasa sedih dan sangat malu. Ingin rasanya aku berlari mencari wajah keriput itu dan bersimpuh meminta maaf. Selama ini aku selalu menggerutudalam hati dan berpikiranburuk tentangnya. Sekarang baru aku sadar, ternyata benar kata majikanku,meski Ama cerewet tetapi hatinya baik.
"Bagaimana, Imah? Kamu tidak keberatan kan menerima pemberian Ama? Bagi Ama, kamu sangat berarti. Bayangkan jika tak ada kamu, siapa yang akan mengurus Ama? Jadi kamu layak mendapatkan tanda ungkapan terimakasih dari Ama," jelas penerjemahlagi panjang lebar. Dan kalimat itu membuatku kian sulit menahan air mata.
"Xie Xie Ni," kataku sambil menunduk.
Kuusap air mataku yang membanjir.Ama, maafkan Imah. Dan... terima kasih, Ama...!
Catatan:
-Laushi (guru) beberapa TKW memanggil agen dengan sebutan guru.
-Ama zhi diao le (Ama sudah meninggal)
-Zhen de ma? (Benarkah?)
-Sh (Ya)
-Xie Xie Ni (Terimakasih)
Tamat.
Taiwan, 200512
4 Suara:
pengalaman yang berat sob---semoga mendapat majikanyang baik hati ya? lam kenal selamat ikut kontes
ditunggu kunjungan sobat di blog ane, thanks
Subhanallah.. Luar biasa pengalamannya dan ceritanya.
Salam
http://masbowo.com
Mba mau ngelike saja ah, cia yio wo te hao pheng yio B-)
nice post semoga salah satu kandidat jawara yang diperhitungkan, tks
mampir balik ya Gan di blog ane
http://filmtitanic.blogdetik.com/
salam,
admin titanic
Posting Komentar