Seharusnya Nenek ada di sini. Di samping jendela ruang tamu, memandang lepas ke langit jingga yang mempersembahkan senja. Dia selalu saja begitu, teduh memandang cakrawala dengan senyum tua yang tetap menawan. Tak lupa dari bibir keriputnya terkadang lirih terdengar senandung lagu mocopat * dandang gula* atau asmaradhana*.
Namun tidak dengan sanding kala* kali ini. Nenek tak lagi berlaku lembut seperti biasanya. Bersenandung lagu jawa pas menjelang maghrib dengan ditemani secangkir kopi pekat dan cerutu klembak menyan*. Sore ini Nenek duduk manis di depan televisi menyaksikan dengan khidmat drama korea yang sedang booming akhir-akhir ini. Wanita yang melahirkan ibuku itu menatap takjub tak berkedip ke layar kaca berukuran 21 inchi di ruang keluarga. Bahkan kopi pekat yang telah kupindahkan ke sampingnya pun tak disentuh sama sekali. Ini suatu hal ganjil mengingat Nenek tak pernah bosan akan kebiasaannya menikmati senja. Langit sore berwarna jingga dihiasi awan seputih kafan.
"Nek, kopinya diunjuk*," tegurku.
Tak kusangka beliau meminta suatu hal yang di luar kebiasaannya. "Tolong buatkan aku teh tubruk* dengan dua sendok teh gula."
Kusebut tak masuk akal. Dari dulu nenek selalu menolak jika kubuatkan teh. Beliau lebih suka kopi pekat dengan gula aren* peneman cerutu klembak menyan nya.
"Tumben, Nek," komentarku.
Nenek menyunggingkan sebaris senyum di bibir tuanya dan mata merona berbinar. Kupikir Nenek sedang bernostalgia dengan secangkir teh tubruk di masa lalu. Kudengar dari cerita ibu, kakek gemar sekali ngunjuk teh di pagi hari.
Tanpa banyak kata lagi, kupergi ke dapur memenuhi permintaan nenekku. Keheranan yang sempat menyeruak kutepis begitu saja. Mungkin Nenek ingin hal berbeda kali ini, batinku.
"Ini teh nya, Nek." ujarku seraya menaruh cangkir di samping Nenek.
"Itu namanya siapa, Nduk*?" tanya beliau kemudian. Tangan keriputnya menunjuk seorang aktor drama korea yang sedang tayang di televisi.
"Kirana kurang tahu, Nek. Jujur saja Kirana ga suka drama korea," ulasku.
Nenekku hanya mengangguk maklum. Meskipun ada sedikit kekecewaan dalam anggukannya, namun bibirnya tetap terlukis senyum mengembang dengan mata penuh sorot terpesona.
"Mirip," lirihnya.
Mirip? Dengan kakek kah?
"Mirip siapa, Nek?" Aku mengajukan pertanyaan tetapi hanya dijawab dengan senyuman tertahan oleh nenekku.
Aku hanya bisa menggeleng perlahan melihat ulah nenekku kali ini. Akankah beliau sedang mengenang seseorang? Atau hanya ingin mencari suasana baru saja? Aku tak tahu.
****
Delapan puluh lima tahun yang lalu beliau ada di dunia ini, Ibu dari ibuku. Tumbuh sebagai kembang desa yang cantik, cerdas dan cekatan. Tak ayal para jejaka banyak sekali yang menaruh hati pada nenekku, begitulah sedikit kisah di masa silam yang pernah kudengar. Pantas saja, meski sudah 3/4 abad lebih umur beliau, namun sisa-sisa kecantikan itu masih terpencar di wajahnya. Bentuk serta warna kulitnya yang terlihat terawat sempurna meski sekarang telah dihiasi kerut, adalah suatu bukti bahwa nenek dulu rajin merawatnya.
Banyak cinta yang menanti untuk dibalas sang dewi pujaan, ternyata kesederhanaan kakek lah yang memenangkan hati si kembang desa. Nenek pernah bertutur, tak pernah sekalipun kakek merayu untuk mendapatkan cinta nenek dahulu. Tak seperti pemuda lain yang mengobral janji setiap hari, kakek hanya berani memandang nenek dari jauh dan akan berlari sembunyi jika nenek menyadarinya.
Kesetiaan terpegang teguh sampai maut memisahkan. Nenek dan kakek seperti contoh mimi lan mintuno* buatku. Mereka tetap seiya sekata menyusuri bahtera rumah tangga hingga nyawa terlepas dari raga, saling mendukung dan saling membantu. Meskipun kakek telah lama tiada, nenek masih saja setia dengan kebiasaan yang telah mereka lakukan berpuluh-puluh tahun yang lalu. Pergi ke ladang merawat beberapa tanaman palawija, makan bersama di bawah pohon pisang sambil melepas lelah, dan ketika senja hampir tercipta berdua menyusuri pematang pulang ke peraduan sambil menikmati eloknya langit jingga.
Padahal sudah sering sekali Ibu menegur nenek, "Jangan terlalu lelah di ladang, Nenek itu sudah sepuh,* sudah saatnya istirahat."
Namun tak pernah diindahkan oleh nenek. Beliau tetap saja pergi ke ladang. Meskipun di sana nenek hanya duduk menyaksikan pemandangan burung-burung terbang dan hijaunya alam. Tak seperti dahulu ketika kakek masih hidup, mereka berdua mencangkul atau sekedar menyiangi tanaman.
"Nenek bisa merasakan kehadirannya di sini, menumpahkan rindu yang selama ini terpendam tanpa harus tahu kenyataan Kakek telah berkalang tanah," begitu jawaban nenekku saat aku menanyakan alasan mengapa ia sangat suka menghabiskan waktu di ladang.
Aku memakluminya, karena sejatinya wanita tak mudah berpindah ke lain hati seperti mudahnya membalikkan telapak tangan. Butuh waktu yang lama untuk bisa menyingkirkan posisi belahan jiwa dari hati.
Bahkan hari ini, ada setangkai mawar terjuntai di dalam vas bunga mungil di samping ranjang nenek. Aku berpikir, mungkin kakek dulu diam-diam menyukai bunga mawar, sehingga nenek berlaku begitu sekarang.
"Wah, cantik sekali bunganya, Nek?" Iseng aku bertanya.
Beliau hanya senyum dikulum, "Dia suka memberiku bunga mawar jika kita bertemu."
"Hhmm, romantis juga ya, Nek?"
"Lelaki pemberani,"
Salut aku akan keberanian kakek yang membuat nenekku mengenangnya sampai sedalam sekarang. Pastilah sangat berkesan.
****
Ada kemungkinan aku terlalu paranoid akan perilaku nenek. Di lain sisi aku bisa memaklumi jikalau dia sedang bernostalgia, namun di sisi lain aku teringat istilah jawa nganeh-anehi yaitu berlaku aneh sebagai pertanda akan meninggal dunia. Perilaku nenek sungguh di luar kebiasaan.
Layaknya pagi ini, beliau memakai kebaya kuning gading, dengan kain jarik* terbaiknya serta sedang berpatut di depan cermin berhias diri. Hanya senyum kekhawatiran yang bisa kulukis, "Jangan-jangan nenek akan..."
Apa lagi ketika tak sengaja kutangkap percakapan ibu dan nenek di kamar.
"Cantik sekali mau kemana, Nek? Bajunya juga bagus, kok aku belum pernah melihatnya?" goda ibuku.
Nenek terus saja merapikan sanggul di rambut ubannya. Meskipun sudah teramat sulit melakukannya karena rambut yang nenek miliki sudah tak sebanyak dahulu, beliau tetap berusaha membuat sanggul itu jadi sempurna.
"Hhm, bunga mawarnya juga harum. Aku tak pernah tahu kalau Kakek pencinta bunga mawar, Nek?" tanya ibuku lagi.
"Dia lelaki yang baik, selalu penuh kejutan," ujar nenekku.
Ibu berlalu dari kamar nenek untuk melanjutkan pekerjaan. Tetapi tidak denganku, ini sudah terlalu tak biasa. Firasatku ada yang lain dari nenek kali ini, semoga saja ketakutanku tak terjadi. Kenyataan yang baru saja kudengar, bukan kakek pecinta mawar itu.
"Nenek mau kemana?" tanya yang kuajukan ketika kulihat nenek telah selesai berdandan dan bergegas akan pergi.
"Mau ke ladang, Nduk," ucapnya sambil lalu.
"Ke ladang pakai baju bagus begitu?" Tegurku lagi.
Nenekku terdiam dan tetap berlalu pergi. Sebenarnya aku ingin mengikutinya untuk memastikan nenek tak melakukan hal yang rawan, namun kuurungkan niatku ketika kusadari nenek benar-benar pergi ke ladang. Karena hanya ada satu jalan ke tanah pekarangan belakang rumah yang biasa digunakan nenek untuk berkebun.
Meskipun umur nenek sudah hampir penuh se abad, tetapi ingatan beliau tak ada yang terganggu, tak seperti kebanyakan orang tua lain yang menjadi pikun. Oleh karena itu aku yakin sekali nenek tak salah mengambil baju dan tahu betul apa yang dilakukannya.
Semoga nenek baik-baik saja, batinku.
Meskipun hati tetap tak tenang karena senandung yang terucap dari bibir nenek tak lagi asmaradhana namun semacam lagu dangdut jaman dahulu. Terlalu drastis berubah.
****
Pergi ke ladang, cerutu klembak menyan, kopi pahit, bersenandung lagu jawa, sekarang ini tak pernah nenek lakukan. Beliau lebih sering asyik di depan televisi jika drama korea itu tayang. Lantas dengan seksama mengikuti tiap episodenya tanpa terlewat. Setelah selesai, nenek akan pergi ke kamar mematut di depan cermin dengan melontar senyum penuh arti kepada bunga mawar yang setiap hari diganti.
Aku pernah membicarakan kepada ibu tentang keanehan nenek, namun beliau menjawab itu hal yang wajar mengingat usia nenek sudah udzur.
"Sudah jadi hal yang lumrah, Kirana. Orang kalau sudah tua akan kembali lagi seperti anak-anak," begitu kata ibuku.
"Tapi Bu, ini lain. Kirana takut Nenek. ..." sengaja kugantung kalimatku. Aku tak ingin dicap sembrono* karena mengatakan nenek berlaku nganeh-anehi
"Sudahlah, Nduk, lebih baik kamu teruskan saja belajarmu. Maklumi saja tingkah Nenek," kata yang diucapkan ibu untuk mengalihkan perhatianku.
Sungguh aku tak khawatir jika nenek berlaku seperti hari-hari biasa. Andaikan beliau sedang mengingat seseorang di masa lalu pun aku bisa mengerti, melihat kesetiaan yang nenek tunjukkan selama ini. Semua bertambah mengkhawatirkanku ketika suatu hari nenek meminta padaku sebuah gambar sang aktor drama korea yang ada di majalah bawaanku.
"Untuk apa gambar ini, Nek?" ujarku heran. Tetapi tetap saja kuberikan kepadanya gambar itu. Aku takut beliau akan tersinggung.
Setelahnya kutahu gambar aktor drama korea itu ditempel rapi di almari nenek bersanding dengan selembar foto hitam putih. Kuamati dengan seksama, namun di dalamnya tak begitu jelas foto siapa. Aku penasaran. Diam-diam kubawa selembar foto hitam putih itu kehadapan Ayah.
"Apa ini foto kakek, Yah?" langsung saja kuajukan pertanyaan begitu sampai di depan ayah.
Lelaki tulang punggung keluargaku itu mengerutkan dahi, mengamati dengan jelas foto yang kuulurkan.
"Dapat dari mana foto ini, Kirana?"
"Dari almari Nenek," kataku jujur.
"Tak jelas ini foto siapa, tetapi Ayah yakin bukan Kakek."
"Perkiraan Kirana, lelaki ini yang dulu suka memberi Nenek bunga mawar, dan akhir-akhir ini muncul di memori ingatan Nenek. Terlalu aneh karena terkadang Nenek menitikkan air mata."
Ayah mengelus rambutku dengan sayang, "Sudah, jangan terlalu kau risaukan, Kirana. Mungkin itu cuma suatu kebetulan."
Semua orang menganggap kelakuan nenek itu sudah biasa tapi tidak denganku. Aku merasa takut dan agak penasaran tentang hal yang bisa membuat nenek tersedu seraya berucap, "Aku terlambat datang kala itu, dia menyadarinya. Mawar-mawar itu buktinya dan aku takut."
Takut? Kepada siapa?
Sungguh aku tak bisa mengatakan ini hal yang wajar dilakukan oleh orang setua nenek. Terlalu dalam untuk dianggap hal sepele.
****
Tak puas rasanya dengan jawaban yang diberi Ayah dan Ibu. Tentang lelaki bernama Atmo, yang pernah disebut nenek ketika aku menanyakan tentang foto itu.
"Atmo? Paman kurang tahu, Kirana," jawaban yang sama diutarakan pamanku ketika kutanya menyangkut orang di masa lalu nenek.
Aku pikir anak bungsu nenek ini tahu cerita tentang Atmo. Nenek bilang, "Si Kumis dulu Nenek menjulukinya."
"Apa Kakek punya kumis, Paman?"
Adik ibuku itu tertawa. "Kamu ini ada-ada saja, Kirana. Kakekmu tidak pernah memelihara kumis setahu Paman. Apa Atmo itu berkumis?"
Aku mengangguk mantap. "Perkiraanku begitu."
Hanya gelengkan kepala heran ketika kukatakan kepada paman akan firasatku dan segala macam keanehan tingkah nenek. "Percaya saja sama Allah. Jodoh, mati, rejeki itu sudah ada yang mengatur. Mungkin saja Nenek benar-benar bernostalgia," tutur paman.
Lagi-lagi aku harus menelan kecewa karena tak ada yang mengidahkan firasatku, juga karena tak ada yang tahu siapa Atmo itu. Padahal aku yakin ini ada hubungannya dengan mawar-mawar yang kian bertambah jumlahnya.
"Sudahlah, Kirana, jangan berpikir yang bukan-bukan. Selalu berdo'a saja, agar apa yang kamu pikirkan tak terjadi," tegur pamanku.
Ada benarnya juga. Kemungkinan aku yang terlalu berlebihan menyikapi perilaku nenek. Bukan apa-apa, hanya saja aku trauma pada kehilangan, meskipun hal itu pasti akan terjadi.
"Anggap saja Nenek mulai berlaku seperti orang tua lain yang sudah pikun," lanjut pamanku.
Aku mengangguk kecil, "Yah, meskipun seharusnya tak sedrastis ini perubahannya." batinku.
"Iya, Paman. Mungkin Kirana terlalu berlebihan,"kata yang akhirnya kuucap. Walaupun dalam hati masih terus saja was-was.
Ya, Allah. Lindungilah Nenekku.
****
Fajar mulai merekah melahirkan semburat merah di ufuk timur. Sang Raja hari menampakkan diri keluar dari persembunyiannya. Ketika udara masih berbau embun basah, aku menyaksikan nenek seperti terburu-buru ingin pergi. Lengkap dengan sanggul hampir sempurna di rambut ubannya, baju kebaya berenda hitam, serta kain jarik yang telah diwiron* di bagian ujung. Mustahil jika beliau hanya ingin ke ladang.
"Nenek mau kemana? Sekarang masih terlalu pagi untuk ke ladang," cegahku.
Beliau hanya memandangku sekilas, "Nenek mau minta maaf."
Penuturan yang singkat seketika membuatku tersentak.
"Minta maaf sama siapa, Nek? Apa nenek telah berbuat salah?" kejarku. Perasaanku yang sudah agak tenang kemarin kini bergejolak lagi.
"Semoga dia mau memaafkanku." Dan Nenek pun berlalu.
Kali ini aku tak mungkin menganggap ini hal wajar. Dari pancaran bola matanya, beliau nampak serius dengan apa yang diucapkan. Dan tak mungkin pula aku bisa tenang, menganggap nenek bertingkah kekanak-kanakan karena faktor usia.
Tanpa pikir panjang lagi aku mengikuti beliau dari belakang. Siapakah gerangan yang membuat nenekku begitu resah ingin segera minta maaf? Laju langkahnya menuju ke suatu tempat yang sudah ku hafal. Makam keluarga besar kami.
Di tempat yang sunyi dan cukup luas itu, kulihat nenek berjongkok pada pusara tanpa nama. Sedikit menaburkan bunga dan berdo'a dalam hati.
Aku mengamati dari jauh. Sebenarnya makam siapa itu? Bahkan Ayah dan Ibu juga tak mengetahui siapa yang dimakamkan di situ.
Nenek berdiri kemudian setelah mengusap lembut patok tanpa nama penanda makam itu. Dahulu patok itu menjadi bahan pertanyaanku kepada ayah, "Kok patoknya jelek, Yah. Seperti bukan keluarga kita," ucapku lugu.
Aku yang waktu itu masih duduk di bangku sekolah dasar penasaran, mengapa makam ini tak ditaburi bunga seperti yang lain? Bahkan keadaannya juga mengenaskan.
Dan sekarang nenek menyambangi makam itu. Meski hanya sebentar lalu beranjak dan melangkah menuju makam kakek.
Perlahan aku mendekati nenek yang kini sedang menangis di samping makam suaminya. Lirih kudengar beliau bertutur, "Maafkan aku, Kek. Aku mengingatnya lagi. Mawar itu tak bisa gugur dari dalam hati. Tapi aku janji ini yang terakhir, aku tak akan menemuinya lagi."
"Nek?" Panggilku.
Beliau mendongak dan agak sedikit terkejut mendapati aku telah berada di hadapannya.
"Kenapa Kirana ada di sini?"
Aku berjongkok di depan pusara kakek, "Tadi Kirana mengikuti nenek. Kenapa nenek bilang ingin minta maaf? Kepada siapa?"
"Kepada kakekmu," jawab nenek singkat.
"Makam tak bernama itu sebenarnya punya siapa, Nek? Baru kali ini Kirana melihat makam itu ditaburi bunga. Biasanya juga tidak pernah. Apa yang dimakamkan di situ masih keluarga kita, Nek?"
Nenekku terdiam sejenak lantas berujar, "Itu makam Atmo."
Bersama dengan menitiknya butiran bening dari sudut mata nenek, beliau melanjutkan penjelasannya.
"Atmo dan Kakek dulu adalah sahabat baik. Tapi nenek melakukan kesalahan. Mawar-mawar itu saksinya. Tanpa bisa dihindari, telah bersemi di hati nenek cinta terlarang untuk Atmo, Si Kumis."
"Lantas apa Kakek marah?" tanyaku.
"Tidak, Kakek tidak marah. Dia hanya sedikit curiga pada mawar-mawar itu. Hingga ajal menjemput Nenek tak berterus terang padanya. Dan itu membuat Nenek merasa bersalah karena telah mengkhianati cinta suci kami."
Hening tercipta kemudian.
"Maafkan aku, Kek."
Aku berdiri lantas kupeluk nenekku yang bergetar menahan isak. "Nenek, Kirana yakin Kakek sangat mencintai Nenek. Dan Kakek akan memaafkan Nenek bahkan sebelum Nenek minta maaf. Karena Kakek adalah orang tersabar dan terbaik yang pernah Kirana kenal."
Cinta suci itu bukan yang tanpa adanya onak dalam perjalanan menuju sakinah. Tapi justru cinta suci adalah yang bisa saling mengerti dan menggenggam erat jemari pasangan yang melukai diri dengan onak itu baik sengaja ataupun tidak.
Yang bertanda *
-mocopat : lagu bahasa jawa
-dandang gula : salah satu judul mocopat
-asmaradhana : salah satu judul mocopat
-sandhing kala : waktu mendekati maghrib
-klembak menyan : bahan pembuat rokok
-diunjuk : diminum
-teh tubruk : teh yang diseduh bersama daunnya tanpa disaring
-gula aren : gula jawa dari sari pati aren
-nduk : panggilan untuk anak perempuan jawa
-mimi lan mintuno : Hewan laut yang slalu hidup barsama tidak pernah terpisahkan. Dan bila ingin memakannya pun harus keduanya kalau tidak akan beracun. Mimi lan mintuno ini sering digunakan sebagai simbol kesetiaan dan kerukunan dalam budaya Jawa.
-sepuh : tua
-jarik : kain panjang yang digunakan sebagai pengganti rok
-sembrono : kurang ajar
-diwiron : dilipat di bagian ujung untuk memberi kesan manis
TAMAT.
Jeet Veno_Mena Ayu.
0 Suara:
Posting Komentar