Diberdayakan oleh Blogger.

Sabtu, 12 Mei 2012

JANJI UNTUK ASTIKA

"Bunda, Gladis kangen."

Tak sengaja kudengar rintihan putriku. Gadis kecil berumur 7 tahun itu sedang terpaku menatap foto Bundanya, Istriku.

"Andi jahat sama Gladis, Bunda. Andi bilang, katanya Gladis ga punya Bunda lagi. Karena Ayah mau cari Mama baru. Gladis ga mau Mama baru, Gladis mau Bunda!"

Begitu lirih isakan dari putri kecilku hingga membuat hatiku tersayat kala mendengarnya. Ingin ku masuk dan memeluk anakku tapi aku tak kuasa. Yang kulakukan hanyalah berdiri mematung di balik tembok dengan gigi geraham yang saling mengadu. Buah hatiku itu tak tahu apa-apa, namun harus merasakan akibatnya.

Ah, ini semua karena ego!

Tanganku mengepal dan kutinju tembok di hadapanku. Bagaimana aku bisa bertahan dan terus diam saja melihat buah hatiku menangis?

"Pulanglah, Astika!"

Lalu teringat kembali pertengkaran malam itu.

"Aku ingin kau berubah!" jerit Astika masih sama seperti yang sudah-sudah.

"Aku sudah berusaha sekuat tenaga! Ini semua ga mudah, tahu!"

"Semua tergantung niatmu, Mas. Mau sampai kapan kau begini?"

Aku mendengus kesal. Lama-lama cerewet juga istriku. Banyak tuntutan.

"Kau sekarang terlalu banyak menuntut. Lihatlah, siapa dirimu? Ga usah sok alim!"

Astika mulai menangis.

"Huh! Nangis lagi. Muak aku!"

"Salahkah aku menginginkanmu berubah, Mas? Berhentilah minum alkohol, itu tak baik untuk kesehatan. Malu mas sama tetangga!"

Jiah, sejak kapan Astika peduli akan kesehatan? Seperti kader posyandu saja. Dan juga dia bilang apa? Tetangga?

"Halah peduli amat sama tetangga! Toh aku beli umben pakai uangku sendiri. Aku juga minum di rumahku sendiri. Yang penting aku tak mengganggu mereka, kenapa musti mikir omongan mereka?" kilahku.

Astika semakin terisak.

"Heh, sudahlah! Sumpek aku melihatmu bisanya cuma menangis saja. Bikin tak betah di rumah!" bentakku.

Sukses cari alasan untuk cepat berlalu. Malas terus berdebat dengan Astika, bikin puyeng!

Dan kukira semua berlalu seperti yang sudah-sudah. Astika akan baik lagi padaku, menganggap hal ini tak terjadi. Namun aku salah, ketika kusadari Astika tak kutemukan di rumah paginya begitu aku pulang.

"Kalau kamu mau merubah semua kelakuan burukmu, aku pun akan pulang. Tapi kalau tidak, jangan harap aku mau kembali ke rumah. Silahkan saja bertahan dengan egomu, kuyakin kau akan menyesal!" ancamnya lewat telfon kala itu.

Aku tersinggung? Jelas! Aku kepala rumah tangga. Tak seharusnya seorang istri mengatur untuk begini begitu. Uang belanja lancar itu sudah cukup. Dan ini sampai berani angkat kaki dari rumah, Istri macam apa dia?

Menyesal? Heh, jangan harap! Aku hanya kasihan pada putriku, setiap hari menangis menatap foto Bundanya. Padahal di depanku gadis kecilku itu tak berkata apa-apa. Sepandai itukah anakku menyimpan kepedihannya? Atau karena aku yang terlalu tak punya waktu untuk putriku satu-satunya?

"Astika, pulanglah! Kumohon!"


@@@


"Sms dari siapa, Say?" tanya Ine. Gadis hitam manis yang kini tengah dekat denganku, atau lebih tepatnya aku pacari.

"Dari Mbak Wiwin," jawabku acuh.

Tanpa kusangka, Ine merebut handphone yang aku pegang lantas secepat kilat dia mengetik balasan sms untuk Mbak Wiwin.

"Aku ga suka kau terlu dekat dengan janda genit itu!" runtuknya.

Aku tersentak. Sejak kapan dia berhak mengatur aku boleh dekat dengan siapa saja? Dia bukan istriku, kita hanya dekat karena mau sama mau.

"Hey, apa hak mu melarangku? Astika yang sah istriku saja ga pernah protes!"

Benar! Bahkan meskipun Astika tahu aku dekat dengan Mbak Wiwin lebih dari sekedar teman. Pun begitu dia tak pernah marah, juga tak berani mengecek handphoneku.

"Karena istrimu itu bodoh! Mau-maunya diinjak-injak!"

"Jaga mulutmu!"

"Kenyataan, 'kan?"

Tidak! Astika tidak bodoh. Dia hanya menjaga perasaanku. Aku tahu dia teramat tersakiti akan semua perilakuku. Namun dia hanya diam saja. Menyimpan semua sakit akibat perbuatanku di dalam hati. Aku tahu pasti itu, karena terkadang di tengah malam kumendengar isak tangisnya dalam sujud panjang. Dan terselip diantaranya do'a tulus untukku, Suaminya.


"Pilih aku atau janda genit itu!" ucap Ine kemudian.

"Loh? Kenapa jadi begini? Bukankah kita memang tak ada apa-apa? Untuk apa aku harus memilih?"

Ine mendelik marah ke arahku. Matanya yang bundar itu seperti mau keluar.

"Maksudmu?"

"Terserah aku mau sama siapa saja, tho?"

Ine mendengus kesal.

"Lantas kau anggap apa aku selama ini? Peneman tidurmu saja saat istrimu minggat dari rumah?" makinya penuh murka.

Aku tak pernah memaksa dia mau tidur denganku. Kenapa sekarang menuntut untuk dipilih? Memangnya dia siapa?

"Dapat untung apa jika aku memilih, hah?"

Ine mendesis.

"Kau benar-benar lelaki egois! Aku tak habis pikir, pakai ilmu pelet apa sehingga istrimu itu bisa betah hidup serumah selama bertahun-tahun dengan lelaki macam kau!"

"Lancang bicaramu! Aku tak pernah memakai ilmu pelet!" Aku terpancing emosi juga.

Berani-beraninya Ine mengatakan aku mengguna-gunai Istriku. Aku dan Astika itu saling mencintai, sehingga kita bisa melewati semua bahtera rumah tangga sampai bertahun-tahun

Mendadak ragu muncul di hatiku, apakah benar begitu? Kenyataan sekarang Astika pergi dariku. Mungkinkah dia sudah tak cinta lagi padaku?

Gusti, baru aku menyadari ternyata hanya Astika yang bisa mengerti aku. Dengan semua perilaku burukku. Tanpa banyak protes, tanpa segudang tuntutan. Dia hanya menginginkan aku menjadi orang baik-baik dengan cara taubat dari sifat jahiliyah. Apa itu salah, Tuhan? Namun ego mengajarkan aku untuk menyakitinya lagi.

"Astika, maafkan aku."


@@@


Hari ini perasaanku benar-benar tak enak. Ada orang tak dikenal berjalan mondar mandir di depan rumah. Dilihat dari pawakannya, ada kemungkinan dia polisi, atau bisa jadi reserse. Matanya tak pernah lepas dari rumahku. Aku terus mengamatinya dengan perasaan was-was. Mau apa dia terus-terusan mengintai rumahku? Sesekali nampak dia menelfon dengan telepon genggamnya entah menghubungi siapa dan bicara apa. Sudah barang tentu aku tak bisa jelas mendengarnya.

Keringat dingin membasahi wajah dan leherku. Jantungku begitu cepat berpacu. Bagaimana tidak? Semalam aku mendapat kabar dari Junot tentang penggrebekan bandar narkoba wanita yang selama ini dicari.

"Kamu jadi DPO, Hen," ucap Junot padaku lewat telfon.

Begitu mendengarnya aku langsung lemas seketika.

"Kenapa aku? Aku tak ikut mengedarkannya, cuma make aja. Pun itu bareng-bareng lo juga kan, Not?"

"Iya, tapi Wiwin tak tahan gertakan polisi. Dia bilang kamu yang terdekat dengannya."

Shit! Janda itu semakin menyusahkanku saja. Dulu dia yang merayuku memakai barang haram itu. Aku begitu susah lepas darinya. Dia melilitku seperti ular. Dan sekarang? Setelah dia ketangkap polisi pun bisa ularnya masih kurasakan. Aku jadi kena getahnya.

Masih kuingat jelas nasehat Astika tentang Mbak Wiwin waktu itu. Saat aku curhat bahwa antara aku dan Mbak Wiwin cuma sekedar teman bisnis. Padahal aku yakin Astika tahu hubunganku lebih dari yang kuceritakan. Namun Astika menyembunyikan kesakitan hatinya di balik senyum hangatnya untukku.

"Mas, kalaupun kau memang berniat baik dengan menjalani bisnis bersama dengan Mbak Wiwin, aku yakin Tuhan melancarkan jalanmu. Jangan takut karena Mbak Wiwin itu janda dan seperti yang kau bilang suka menggoda. Asal niatmu baik, pasti dimudahkan Tuhan."

Astika, kau begitu pintar menjaga hatiku.

"Aku percaya padamu, imamku." kata-kata Astika yang membuat bibirku kelu.

Beginikah imam yang kau ikuti, Astika? Pantaskah aku kau hormati? Sebagai kepala keluarga, aku tak pernah mau peduli cukup atau tidaknya nafkah yang kuberi untukmu. Meski begitu kau pun tak pernah mengeluh kekurangan.

Aku tahu kau menginkan aku sembuh dari sifat burukku. Minum alkohol, mabuk narkoba, bermain perempuan, judi dan semua perbuatan maksiatku. Hanya itu yang kau tuntut dariku, Astika. Dan itu semua juga demi kebaikanku. Entah mengapa aku tak bisa, atau tak mau menuruti satu permintaanmu. Hanya satu, Astika. Lantas sekarang, belum terlambatkah jika aku kembali ke jalan-Nya?

Oh, Tuhan! Masihkah Engkau mau mendengar rintihanku? Terlalu banyak dosa yang kuperbuat. Dan apa kata mereka jika seorang Hendra bertaubat? Pastilah nyinyir.

Seketika kuingat ucap Astika, "Hidup di dunia itu hanya sementara. Yang hakiki justru hidup setelah mati. Di sana nanti tak ada yang bisa menolong kecuali perbuatan baik diri sendiri."

"Astika, aku membutuhkanmu. Kembalilah!"


@@@


Aku harus berubah. Semua ini kulakukan untuk kebaikanku. Jikalau terus menerus aku bertindak tak bermoral, mungkin nasibku tak akan jauh seperti Mbak Wiwin, naas di penjara. Aku tak mau itu terjadi. Terlebih lagi aku tak mau kehilangan Astika lebih lama. Cukup dengan tak tahu kabar keberadaannya sampai sekarang pun sudah membuat aku hampir mati lemas. Jujur kuakui, ternyata aku mencintainya dan juga membutuhkannya. Tak ada orang yang mau menerimaku selapang dada Astika. Tidak Ine, Wiwin, teman-temanku bahkan keluarga besarku. Mereka hanya pura-pura mau mendukungku meski aku tahu tak ada yang tulus seperti Astika. Hanya istriku itu yang tanpa pamrih melakukannya untukku.

"Astika, aku pasti berubah. Demi kebaikan kita bersama terutama kebaikanku. Aku tak akan menyakitimu lebih lagi. Kembalilah, Astika! Akan kupastikan aku bisa menjadi imam yang kau harapkan."

Akan kutinggalkan maksiat yang melumuri hidupku selama ini. Tak perduli cemo'oh teman-temanku saat aku menolak ajakan mereka.

"Hahaha, bener mau tobat lu, Hen? Ga nyesel, lu?" cela Junot ketika aku absen dari pesta miras di rumahnya.

Kenapa aku harus menyesal? Semua kebaikan juga aku sendiri yang merasakan, bukan mereka, bukan orang lain. Toh andai aku celaka pun orang lain tak akan ada yang peduli. Malah yang ada hanya tersenyum mengejek seraya berseru, "Rasakan akibatnya. Itulah ganjaran yang harus diterima manusia bejat seperti Hendra!"

Manusia bisanya cuma mencibir dengan mulut nyinyir. Tobatkupun tak jauh dari gunjingan miring yang ketika mendengar membuat hatiku semakin ciut. "Hendra tobat itu takut digebreg sama polisi dan bernasib mengenaskan seperti gundiknya, Wiwin. Nanti kalau polisi sudah tenang tak menjadikan Hendra DPO lagi, dia juga akan balik seperti semula. Tak mungkin dia sungguh-sungguh berbah. Itu hanya pura-pura saja!"

Biarlah orang mau bilang apa. Yang ada dan yang kuyakini dalam hati adalah, aku harus tobat. Aku tak mau terus menerus terpuruk dalam jurang syaiton. Akan kubuktikan pada mereka bahwa Hendra bisa menjadi manusia berakhlaq.

Ini hanya sedikit halanganku untuk maju. Aku percaya Tuhan Maha Kuasa. Pastilah nanti aku diberi kemudahan dalam setiap jalan jika aku tetap berpegang tegung terhadap-Nya. Tuhan tak pernah tidur.

Ucapan sinis Ine pun akan selalu kujadikan semangat. "Kamu mau insyaf, Say? Semoga betah, ya! Aku yakin dalam waktu beberapa hari lagi kau akan mencariku. Lelaki macam kau mana betah hidup kesepian?"

Tidak! Aku tak mungkin kesepian. Ada Allah yang siap mendengar keluh kesahku, bahkan Dia lebih kekal dari siapapun. Dan lagi, aku akan menanti Astika kembali ke pelukanku. Karena hanya dia yang tak pernah merendahkanku meski aku manusia rendah. Walaupun Astika tak melihat kalau aku sudah berubah, tapi aku yakin hatinya merasakan semua ini. Cinta lah yang menbuat ikatan batin antara kita begitu kuat.

"Astika, akan kupastikan kau tak menemukanku yang dulu. Hendra yang lalu telah mati, berganti dengan Hendra yang siap menjadi imammu dan akan menuntunmu ke jalan yang diridhoi Allah seperti harapanmu. Meski termat susah aku akan bisa dan berusaha sekuat tenaga. Janjiku Astika, kan kubawa engkau menuju kebahagiaan yang kau impikan."

Kebahagiaan pasti akan bisa kurengkuh meskipun tanpa barang-barang yang selama ini memberiku kenikmatan semu. Karena kebahagiaan yang sesungguhnya bagiku adalah tatkala aku melihat orang-orang yang aku sayangi bahagia karena perubahanku.


Tamat.
By
Rahayoe Wulansari

0 Suara:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites