"Hadeehh, megono lagi?" keluh Ardan pagi itu.
Ibu Ardan hanya tersenyum mendengar ucapan anak semata wayangnya, lantas beliau menjawab dari dapur. "Coba aja dulu, Dan. Megono Mbak Murni itu terkenal enak."
Ardan cuma bisa termangu di depan meja makan, "Liat saja sudah ga nafsu, Bu. Paling rasanya sama seperti megono-megono lain."
"Belum dicoba kok sudah bilang ga nafsu," sahut ibunya lagi.
Ardan mengurungkan niatnya sarapan pagi ini. Dia memang tidak suka makan nasi megono dari dulu. Dalam benaknya berpikir nasi megono itu aneh rasanya. Campuran sayur dan parutan kelapa yang dikukus bersama nasi itu terasa asing di lidahnya. Apalagi ditambah aroma bunga kecombrang sebagai penyedap rasanya, membuat Ardan tak pernah mau menyentuh nasi megono seenak apapun. Namun entah mengapa di meja makan selalu terhidang nasi megono setiap pagi.
Protes pun diutarakan Ardan ketika lagi-lagi ditemukan sepiring nasi megono di meja makan.
"Bu, kenapa ada nasi megono lagi? Ibu kan tahu aku ga suka nasi aneh ini!"
Dengan lembut ibu Ardan menjawab, "Ga baik menolak pemberian orang, Dan. Mbak Murni tetangga kita yang baik hati itu yang memberikan kepada kita."
"Tapi ibu kan bisa menolak. Atau dibuang saja, Bu."
"Hus! Ga boleh membuang-buang makanan, (ora ilok) *"
Ardan hanya bisa bersungut kesal terhadap jawaban ibunya. Dengan melihat nasi megono saja sudah membuatnya kehilangan selera makan, apalagi harus memakannya? Tak pernah terlintas dalam benak Ardan sedikitpun.
Lagi pula Ardan agak tak menyukai Mbak Murni, janda beranak satu penjual megono tetangganya. Orang-orang sering sekali membicarakan ulah janda itu setiap harinya, itu pulan yang membuat Ardan risih jika harus menyentuh nasi megono pemberiannya. Kabar yang beredar, Mbak Murni memakai jasa paranormal dalam berjualan sehingga dagangannya laris.
"Jadi ga mau sarapan lagi, Dan?" tanya ibu Ardan kemudian.
"Ga lah, Bu. Takut kena jampi-jampi. Nanti Ardan beli roti saja," ulasnya.
"Hus! Kata siapa kena jampi-jampi? Ga baik berburuk sangka seperti itu, Dan." Ibu Ardan memperingatkan anaknnya. Dalam hal omongan orang, memang Ibu Ardan tak mudah percaya begitu saja.
"Hehehe. Iya, Bu, maaf," seloroh Ardan pada akhirnya. Kalau dia tak segera mengakhiri percakapan ini, ada kemungkinan akan terjadi ceramah panjang dari Ibu Ardan tentang omongan orang tersebut. Dari dulu Ibu memang yang paling tak percaya tentang gosip miring Mbak Murni.
***
Setiap pagi sepiring nasi megono hangat pasti sudah terhidang di meja makan. Lengkap dengan tempe kemul atau perkedel kentang sebagai lauknya. Meskipun ibu Ardan meyakinkan bahwa Ardan akan ketagihan jika mau sedikit saja mencicipi nasi megono itu, namun Ardan tak pernah tertarik. Terkadang jika ada kesempatan, tanpa sepengetahuan ibunya Ardan selalu membuang nasi megono itu ke tempat sampah. Walaupun di hati terbesit rasa sayang namun Ardan tetap melakukannya juga.
Pernah suatu hari tanpa sengaja ada yang menegur Ardan ketika dia menuang sepiring nasi megono ke tempat pembuangan.
"Kenapa nasinya dibuang, Mas? Ga sayang apa?" tanya seorang gadis manis berlesung pipit yang lewat di samping rumah Ardan.
Ardan tersenyum keki menjawabnya, "Habisnya ga enak mbak. Aku ga doyan nasi megono."
Gadis itu tersenyum ramah dan berkata, " Tapi kan ga harus dibuang, Mas. Mungkin ibu Mas berkenan (ndahar)*"
Dalam hati Ardan membenarkan ucapan gadis itu, namun karena sudah terlanjur membuangnya Ardan pun membuat alasan yang dirasa masuk akal.
"Ibu saya bosan tiap hari makan nasi megono terus," jawab Ardan asal.
"Padahal nasi megono kan enak, Mas. Apalagi dimakan dengan tempe kemul sebagai lauk," lanjut gadis itu.
Ardan tersenyum sinis, "Tetap saja ga enak, Mbak. Dilihat dari wujudnya saja sudah tak menggiurkan, kotor begini."
Gadis berlesung pipit itu geleng-geleng kepala melihat tingkah Ardan. Dia pun berlalu setelah sebelumnya berpamitan kepada Ardan.
"Ya, sudah, Mas. Kalau memang ga doyan. Tapi lain kali jangan dibuang, sayang selali," ucap gadis itu pada akhirnya.
Percakapan yang singkat itu membekas di ingatan Ardan. Dia begitu penasaran akan keberadaan gadis yang belum pernah dijumpainya selama ini. Dalam benaknya terbesit tanya, "Siapakah dia? Mengapa aku tak pernah melihatnya?"
***
Pagi yang cerah terdengar pintu depan rumah Ardan ada yang mengetuk, dia pun bergegas menuju ke ruang depan untuk membuka pintu. Betapa terkejutnya Ardan ketika mendapati orang yang berada di hadapannya adalah gadis manis berlesung pipit tempo hari. Dia berdiri di depan Ardan dengan membawa piring.
"Mas, aku disuruh ibu memberikan nasi ini untuk ibu Mas Ardan," katanya seraya menyerahkan sepiring penuh nasi megono.
Ardan tak bisa berkata apa-apa mengingat apa yang telah diucapkannya waktu itu.
"Kali ini ibu memasak agak lain agar ibu Mas Ardan ga bosan," imbuhnya.
Ardan semakin dibuat tak berkutik dengan ucapan gadis berlesung pipit itu yang tak lain adalah Siti anak gadis Mbak Murni.
(Kenapa aku tak bisa mengenalinya waktu itu?) runtuk Ardan pada dirinya sendiri.
"Eh, terima kasih ya." kata yang akhirnya keluar dari bibir Ardan. Dia benar-benar merasa tak enak hati.
"Sama-sama, Mas," jawab Siti lembut.
Ardan masih berdiri mematung di depan rumah meski Siti sudah lama berlalu. Dia terlalu terpesona akan kharisma senyum siti bersama dua dekik di pipinya itu.
"Cantik juga dia, ya,"gumam Ardan. Sampai dia tidak sadar jika ibunya telah berdiri di sebelahnya sejak tadi.
"Siapa yang cantik, Dan?" tanya ibu Ardan.
Ardan sontak terkejut mendengar pertanyaan ibunya. Dia reflek mengelus dadanya karena kaget.
"Ibu bikin Ardan jantungan saja," ucapnya seraya memberikan sepiring megono pemberian Siti barusan. "Ini dari Mbak Murni, Bu," lanjutnya.
Ibu Ardan menerima piring dari tangan anaknya, "Sarapan dulu, yuk," ajaknya kepada Ardan.
Lelaki tinggi besar itu mengikuti ibunya masuk ke dalam rumah. Bersama-sama mereka sarapan nasi megono pemberian Mbak Murni. Ibu Ardan merasa heran anaknya mau makan nasi megono pagi ini.
"Loh, kamu sudah doyan megono tho, Dan?" goda ibunya.
"Hehehe, laper, Bu."
****
Semenjak kejadian itu, Ardan berubah mulai menyukai megono. Awal mula dia masih agak asing dengan nasi yang berasa agak sedikit pedas itu, tapi lama kelamaan Ardan jadi terbiasa makan juga. Sepiring nasi megono hangat ditambah gorengan tempe kemul atau sekedar tempe bacem menjadi sarapan rutinnya.
Itu semua dikarenakan ada suatu getar-getar aneh yang timbul di hati Ardan tiap kali dia melihat senyum Siti. Lengkungan manis dengan dekik di kedua pipinya itu membuat Ardan rela merubah pola pikirnya terhadap megono yang selama ini dianggap memusnahkan selera makannya.
Setiap pagi Ardan selalu menanti kedatangan Siti untuk mengantarkan megono ke rumahnya. Ini merupakan hal terindah bagi Ardan. Karena dengan begitu dia bisa menikmati senyum manis Siti yang selama ini telah membiusnya.
"Aku jadi ketagihan megono buatan ibumu, nih," kata Ardan menggombal. Seperti hari yang lain, Siti mengantarkan nasi megono ke rumah Ardan pagi ini.
Siti terkikik geli mendengar penuturan Ardan. "Katanya dulu megono itu aneh, Mas. Kenapa sekarang berubah?"
Ardan keki. Masih teringt jelas peristiwa pembuangan nasi megono di depan muka Siti waktu itu.
"Hehehe, sekarang lain," elak Ardan. "Kemana aja selama ini kamu? Tak pernah terlihat di rumah." Ardan mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Mentut ilmu, Mas. Di ibukota," terang Siti singkat.
Pikiran buruk yang selama ini bersarang di otak Ardan musnah sudah berganti rasa salut. Hanya dari berjualan nasi megono setiap harinya, janda yang sering digosipkan miring itu mampu menyekolahkan anaknya sampai tingkat sarjana. (Benar-benar hebat) puji Ardan dalam hati.
Tanpa terasa getaran hebat di dalam dada Ardan semakin membuncah. Segala sesuatu di diri Siti yang telah membuat dia mengakui betapa wanita ini memang mempesona.
****
Tekad Ardan sudah bulat. Dia harus mengatakan kepada Siti tentang yang menerjang kalbunya selama ini. Tentang malam-malamnya yang dipenuhi dua dekik pipi. Tentang hari-harinya yang sewarna pelangi. Tak lain karena hadirnya sesosok nama, Siti.
Seperti yang sudah-sudah, Siti datang ke rumah Ardan membawa sepiring megono. Di ambang pintu Ardan telah siap dengan kata-kata yang dihapalkannya semalam suntuk agar ketika waktunya tiba, Ardan tak salah ucap.
"Mungkin aku telah menyinggungmu dengan pembuangan nasi megono kala itu, tapi jujur kuakui aku terlalu bodoh jika terus-terusan membuang megono itu lagi. Karena aku tak ingin kamu semakin jauh dariku. Maukah kamu membawakan sepiring cinta untukku? Lebih dari sekedar hangatnya megono ibumu." Ardan kembali menghafal kata-kata yang dipersiapkan untuk Siti.
Debaran jantung Ardan berlomba dengan detik jam yang berputar. Perlahan rasa cemas muncul ketika menyadari pemilik senyum mempesona itu tak kunjung datang juga. Hingga pada akhirnya muncullah sosok yang dinanti Ardan. Senyum merekah di hati Ardan.
"Selamat pagi, Mas. Nih megono special buat Mas," sapaan akrab Siti membuat Ardan semakin yakin bahwa dia tak ingin kehilangan senyum itu.
"Kali ini lain karena aku yang masak," lanjut Siti lagi.
Ardan tersenyum dan bersiap akan mengutarakan cintanya. Belum sempat Ardan berucap, Siti sudah menyajikan hal yang lebih mengejutkan lagi. Dari tangannya diulurkan selembar surat. Bukan surat cinta menyambut rasa yang telah bercokol di hati Ardan, tetapi selembar surat undangan.
"Oya, Mas. Datang ke pernikahanku ya, Nanti kubuatkan megono lebih enak lagi khusus untuk Mas Ardan."
Ardan hanya bisa menelan ludah kekecewaan. Belum sempat Ardan mengutarakan rasa di hatinya, gadis pujaan hati pembawa megono nya telah dimiliki orang lain.
Hingga Siti telah berlalu pun Ardan masih terpaku di tempatnya dengan sepiring nasi megono dan senyum semanis madu membekas di hatinya. Ardan kecewa.
"Yah! megono bakal ga enak lagi, nih," batin Ardan pilu.
Tamat.
Yang bertanda *
Ora ilok : Tidak bagus.
Ndahar : Dari kata dasar dahar yang artinya makan
0 Suara:
Posting Komentar