Diberdayakan oleh Blogger.

Senin, 14 Mei 2012

Nasi Goreng Setan Berujung Maut















(Huff... .) 

Andi menghela nafas lelah, sesekali melirik ke tenda sebelah. Matanya mendelik heran melihat para pembeli berjejalan di dalamnya. 

"Pasti ada yang tak beres ini!" Runtuknya sebal. Dia masuk ke dalam lapak jualannya dan duduk dengan gusar menanti pembeli. 

Tak berapa lama seorang langganan datang. 

"Bang, nasi gorengnya satu dong. Seperti biasa telornya dipisah, ya." 

Andi tersenyum ramah dan dengan cekatan meracik pesanan pelanggannya. Tak berapa lama nasi goreng setan_begitu Andi menamai nasi goreng jualannya, terhidang di meja. 

"Silakan, nasi goreng setan special untuk anda." Andi menghidangkan nasi gorengnya diselingi guyonan. 

"Makasih, Bang." 

Andi kemudian duduk di kursi dekat gerobak nya, sambil mengibas-kibaskan handuk karena kepanasan.

"Buih! Kok rasanya aneh, Bang," pelanggannya berseru. 

Andi kaget, "Aneh gimana?" 

Terlihat pelangganya mengaduk-aduk nasi gorengnya dengan jijik, mencicipinya sedikit lalu meludahkannya kembali. "Juh, lihat! Ini apa?" 

Andi tersentak kaget, bagaimana bisa di dalam nasi goreng setan yang dibuatnya secara mengejutkan ada seutas beling? Benar-benar tak masuk akal. 

"E... eh... Saya ganti yang baru saja, ya," kata Andi diiringi tindakannya mengambil piring dan bergegas meracik nasi goreng lagi. 

"Nggak usah! Aku sudah nggak selera makan!" Bentak pelanggan itu. 

Kemudian dia ngeloyor pergi sebelum membanting uang pecahan lima ribuan di meja. 

Andi hanya bisa terdiam bingung. Padahal sudah dijaga sebersih mungkin. Dari dulu dia berjualan nasi goreng setan, belum pernah sedikitpun dia lalai akan kebersihan barang dagangannya. Bahkan sehelai rambut pun tak pernah dijumpainya, tapi kini, beling?! 

"Hati-hati, Nak. Sepertinya ada seseorang yang tak suka padamu." Kembali terngiang kata-kata Pak Tua yang secara misterius bertemu dengan Andi di pasar. 

Lelaki dengan pakaian serba hitam, berjenggot putih dan kesepuluh jarinya dipenuhi cincin batu akik itu menyentuh pundak Andi ketika dia sedang berbelanja. 

"Dari tubuhmu terpancar aura negatif," begitu kata beliau. 

Mula-mula Andi mengabaikan saja omongan Pak Tua itu. Akan tetapi, lelaki yang di pundaknya tergantung buntelan dari kain itu meyakinkan Andi. Dengan gerakan tangan yang menyerupai orang mengirim tenaga dalam, Pak Tua itu melanjutkan terawangannya. 

"Orangnya tak jauh dari tempatmu berjualan. Dan dia orang terdekatmu." 


**** 


"Apa memang betul yang dikatakan Pak Tua waktu itu, ya?" Andi bergumam sendiri. 

Selang beberapa menit kemudian, langganan yang lain datang lagi. Kali ini ibu-ibu tetangga kontrakan Andi. 

"Mas Andi. Nasi gorenge siji dibungkus, yo. Ojo terlalu pedes,"[1] kata ibu itu dengan logat jawanya. 

Andi bergegas meramu pesanan tetangganya ini. Kali ini Andi tak ingin kecolongan lagi. Ditelitinya bahan-bahan nasi goreng dengan seksama. Takut jika ada beling lagi terselip. Tak berapa lama nasi gorengnya sudah matang. 

"Ini, Bu. Nasi Goreng setan tak terlalu pedas." 

"Piro, Mas?"[2] 

"Lima ribu saja." 

Ibu itu mengulurkan uang lima ribu yang tampak masih baru. Andi menerimanya dan tersenyum ramah. "Matur nuwun."[3] 

(Semoga kali ini tak terulang lagi, ada beling di nasi goreng setan-ku) batin Andi. 

Dimasukkannya uang pecahan lima ribuan pemberian Ibu tadi ke dalam laci. Tanpa sengaja matanya menangkap ada yang aneh. "Lah, kok gambarnya beda?" 

Andi mengambil uang itu, dan membandingkan dengan uang pecahan lima ribuan yang ada di dompetnya. 

"Sialan! Uangnya palsu." 

Dipastikannya sekali lagi uang itu sebelum akhirnya disobek-sobeknya menjadi bagian kecil-kecil lantas dibuangnya ke tempat sampah. 

"Huh, nasib," ratap Andi pada diri sendiri. 

Diusapnya peluh yang bertengger di dahinya dengan handuk, dan Andi kembali duduk di bangku dekat gerobaknya menunggu pembeli. Sambil terus berpikir apa penyebab dagangannya sepi akhir-akhir ini. 

Tanpa sengaja mata Andi bersitatap pada bungkusan hitam yang menempel di gerobaknya. "Apa ini? Perasaan aku tak pernah menempelkan barang di sini." 

Dan Andi bergegas mengambil lalu membuka bungkusan itu. "Hah? Kenapa bisa ada bunga di dalamnya?" 

Andi merasa heran, diingatnya bagaimana ada barang semacam ini di gerobaknya. 

"Jangan-jangan ini penyebab nasi gorengku tak laku akhir-akhir ini. Pasti ini kerjaan dia," kata Andi menahan geram. 

"Lihat saja pembalasanku!" 

Andi lantas berdiri dan mengambil pisau yang biasa digunakan untuk mengiris sayur di atas gerobaknya. Dengan muka merah padam menahan marah, Andi bergegas berjalan ke lapak sebelah yang sama-sama berjualan nasi goreng. 

"Hei, Slamet! Keluar kau!" Teriak Andi dengan lantang sambil mengacung-acungkan pisau yang dibawanya. 

Slamet orang asli Jawa yang merasa namanya dipanggil pun keluar dari lapaknya. Dia kebingungan melihat Andi dengan muka garang mengacungkan pisau ke arahnya. 

"Ada apa, Bang. Kenapa kau bawa pisau segala?" Slamet yang sangat suka memakai baju batik bertanya. Ada nada ketakutan di dalamnya. 

"Halah, jangan banyak bacot kamu! Ini kerjaan kamu kan?" teriak Andi. Dilemparkannya bungkusan warna hitam berisi bunga dan secuil kain putih bertuliskan aksara Jawa ke muka Slamet. 

"Apa ini, Bang?" tanya Slamet kebingungan. 

"Dasar pengecut! Beraninya main belakang." Maki Andi geram. 

"Begini caramu mempraktekkan ilmu jawa?" lanjut Andi. 

Slamet semakin tak mengerti. Mukanya pucat pasi melihat wajah Andi. 

"Ada apa dengan ilmu Jawa, Bang?" Slamet gemetar. 

"Banyak omong kau!" 

Dan tanpa pikir panjang lagi ditusukkannya pisau yang dibawa Andi sedari tadi ke perut Slamet. Darah segar merembes dari perutnya dan membasahi baju batik yang dikenakan. Slamet roboh tak berdaya. 

Orang-orang di sekelilingnya ribut berdatangan demi melihat adegan ini. Tapi ada satu pasang mata dan sebuah bibir tersenyum licik melihat kejadian itu. 

"Sip, dua saingan tersingkir sekaligus tanpa aku harus repot-repot," gumam bibir itu sambil berlalu. 

Senyum licik nan kotor penuh kemenangan tersungging karenanya. 


[1] "Mas Andi nasi gorengnya satu, ya. Jangan terlau pedas." 
[2] "Berapa, Mas?" 
[3] "Terima kasih." 

Tamat. 

0 Suara:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites