Aku hampir terlambat masuk sekolah. Waktunya sudah teramat mepet untuk aku memilih angkot yang akan kunaiki. Sebagai siswi SMA, sudah jadi hal yang lumrah mempunyai angkot langganan. Pastinya angkot yang larinya kenceng serta body mobilnya masih baru. Hal seperti itu amat mendukung kelancaran ke sekolah dan juga untuk jaga gengsi. Tengsin dong kalau cakep-cakep naik angkot yang bodynya udah bobrok. Ditambah jalannya yang mengalahkan kecepatan kura-kura, trus kapan mau nyampainya?
Ada dua alternatif kendaraan untukku berangkat sekolah. Yang pertama naik angkot, yang kedua naik mikrolet. Opsi yang kedua ini jarang aku pilih. Selain aku tak terbiasa naik mikrolet, juga karena kendaraan yang satu itu terkenal 'ngeteman' (berhenti pada satu tempat dalam waktu yang lama). Selain itu, di mikrolet juga terkenal banyak copet atau kutil, alhasil opsi naik mikrolet akan aku ambil jika aku benar-benar kepepet.
Seperti pagi ini, jam sudah menunjukkan pukul 06.45 pagi. Bukan waktu yang tepat untukku bertahan pada pendirian menanti angkot langgananku. Padahal kegiatan belajar mengajar di sekolahku dimulai pukul 07.00 teng. Bisa terlambat sampai di sekolah nantinya. Jam 7 lebih dua menit saja pintu gerbang sudah terkunci rapat, sudah bisa ditebak hasilnya, siswa yang terlambat tak akan bisa mengikuti pelajaran sampai bel istirahat pertama berdentang. Dan pagi ini aku tak ingin mengalami hal itu. Ada ulangan Bahasa Inggris di jam pertama, so aku pun mengucapkan sumpah palapa (gajah mada kalee) apapun kendaraannya yang penting rasanya bung, eh yang penting tak terlambat!
Dari kejahuan terlihat sebuah mikrolet mendekat, yup! Semoga inilah kendaraan penyelamatku. Terdengar sang kernet berteriak menawariku untuk naik "Sobo, Mbak?"
Tak ada pilihan lain, aku pun mengangguk sambil tanganku terjulur untuk memberhentikan mikrolet itu. Dan, hup! Aku telah sukses nangkring di atas mikrolet.
Kesan pertama begitu menggoda sambil dalam hatiku terus berdo'a, semoga mikrolet ini bukan jenis mikrolet yang suka ngetem. Karena andai itu terjadi, aku bersumpah tak akan mungkin mau naik mikrolet lagi seumur hidupku! Nah, bahaya kan?
Tiba di halte pemberhentian pertama. Mikrolet yang aku tumpangi berhenti di tempat biasa para mikrolet ngetem. Oh tidak, jangan sekarang! teriakku dalam hati. Dongkol? pasti. Apalagi ditambah sang kernet terlihat asyik ngobrol dengan sesama kernet yang ada di situ. No no no, please mas kernet, lihatlah ada aku di sini!
Waktu terasa marathon berbarengan dengan kegelisahanku. Berkali-kali aku melotot kepada jam tangan yang aku pakai, jangan lari! Melambatlah!
Alhamdulillah... Tuhan memang Maha Melihat. Saat aku semakin gelisah takut terlambat, kuasanya terulur lewat kebaikan Pak supir mikrolet. Aih, bukan Pak, lebih pantes dipanggil Mas karena masih terlihat muda. Ehmm...
Mas supir mikrolet yang ketika aku lirik lewat kaca spion di depannya, terlihat amat gagah di mataku. Sepintas mirip bintang film Bollywood Salman Khan idola ibuku. Kagantengannya tambah bersinar ketika dengan baiknya dia berteriak, "Fid, ga usah ngetem ayo. Ada anak sekolah, nih. Kasihan dia terlambat nanti."
Wow, dia menyadari kegelisahanku! Dua nilai plus untuk Mas supir, cakep dan baik.
Sang kernet yang ternyata bernama Mufid itu pun menuruti partner kerjanya. Yeeiyy! Aku terselamatkan hari ini. Terimakasih Mas Salman Khan.
Hebatnya lagi, dalam waktu yang sudah tak banyak itu, Mas supir membawa mikroletnya ngebut di keramaian jalan. Aku yang merasa anak sekolah yang terprioritaskan jadi termehek-mehek akan aksi heroik Mas supir Salman Khan. Udah cakep baik pula. Siapa yang punya, ya? Eits... mulai deh, kumat gilanya!
Singkat kata aku tak jadi terlambat masuk sekolah karena pertolongan Mas Salman Khan tadi. Setelah aku turun, sempat kulihat nama mikrolet itu untuk mempermudah mencarinya. Agestin Ronggolawe, mikrolet jurusan Wonosobo-Purworejo dengan supir yang kece, ahack!
@@@
Mikrolet? Hhmm... kini jadi kendaraan favoritku berangkat sekolah. Tapi hanya satu mikrolet yang aku tunggu, Agestin Ronggolawe itu namanya. Kalau bukan Agestin, mending aku naik angkot saja.
Sahabatku juga heran akan perubahanku yang drastis ini. Semua ini karena Mas Salman Khan sopir Agestin Ronggolawe mikrolet langgananku. Bukan cuma ketampanannya yang telah mengubahku, tapi kebaikannya juga telah membuat hatiku tambah meleleh.
Pernah suatu hari, seperti biasa aku naik Agestin untuk berangkat sekolah. Karena kecerobohanku, buku pelajaranku tertinggal di sana. Siapa yang tak panik? Padahal suatu barang kalau sudah tertinggal di mobil angkutan umum, sudah tak mungkin ada harapan untuk ditemukan kembali. Nah, ini yang membedakan Agestin dengan mikrolet lain. Saat itu sore yang cerah, aku sedang duduk-duduk nyantai di teras rumah. Tak berapa lama aku dikejutkan oleh kedatangan Mas Salman Khan ke rumah. Dia dengan mengendarai sepeda motor berhenti tepat di depanku. Dengan senyum manisnya dia menyapaku, "Apa benar ini rumah Mbak Idah?"
Weits...aku terpana bin terpesona lantas buru-buru kujawab, "Betul, Mas. Ada perlu apa, ya?"
"Ini kemarin bukunya ketinggalan di mobil, bukan?"
Jrejeejeengg.... Lagi-lagi dia menyelamatkanku. Suatu kejadian yang langka seorang supir mau repot-repot mengembalikan barang yang tertinggal di mobilnya. Biasanya nasib barang tinggalan, kalau tidak dipakai sendiri ya paling dibuang ke tempat sampah. Tapi, Mas Salman Khan supir Agestin Ronggolawe tidak seperti itu, dia mengembalikannya sampai alamat.
Yang menjadi pertanyaanku, darimana dia tahu rumahku? Atau selama ini sebenarnya dia menaruh hati padaku, penumpang langganannya? Okey deh, mungkin aku keterlaluan GRnya. Karena jawabnya adalah, dia melihat di buku itu tertulis nama dan alamatku komplit. Hmm, kebiasaanku terhadap buku-buku ku, kesemuanya pasti aku tulis alamat lengkap. Karena menghindari kejadian seperti ini terjadi.
Nama asli Mas Salman Khan siapa ya? Ahaa... aku punya sahabat yang bisa menolongku dalam hal ini. Mencari tahu info tentang Mas Salman Khan. Nama sahabatku Atik, dia adalah anak dari salah satu pengusaha mikrolet di Wonosobo. Sebagai catatan saja, mikrolet juga punya perkumpulan dan ada data base tentang pemiliknya juga lho. Tak terkecuali mikrolet khusus Wonosobo. Nah, Bapaknya Atik ini termasuk pengurus perkumpulan mikrolet itu, so pasti dari beliau bisa dimintai tolong mencari tahu tentang identitas pemilik Agestin Ronggolawe.
"Atik, mau ya?" bujukku pada sahabatku tentang maksudku di atas.
"Kamu ni ada-ada aja orangnya. Masa jatuh cinta kok sama supir. Ora level!" jawab Atik. Dia memang tak setuju aku nge fans sama Mas Salman Khan.
"Please, dong kawan. Apa kau tak kasihan padaku jika sampai aku gondokan menahan penasaran?" bujukku seraya memasang muka memelas.
Atik hanya tersenyum simpul melihat muka memelasku. Aku tahu meski dia galak tapi baik hati terutama padaku.
"Aku coba cari infonya tapi ga janji, ya." Akhirnya Atik menyetujui permintaanku.
"Yeeiyy, horee!" teriakku sambil memeluk erat sahabatku. "Kamu memang sahabatku yang berhati malaikat," pujiku.
Atik hanya mencibirkan mulutnya mendengar pujianku barusan. Yes, sebentar lagi aku tahu info tentang Mas Salman Khan.
@@@
"Kamu nolak Dion, Dah? Sadarkah apa yang kau lakukan itu?" Atik berteriak tak percaya akan pengakuanku.
Aku hanya mengangguk kecil.
"Idah, apa kamu ga ingat bagaimana histerisnya kamu dulu waktu ngejar-ngejar Dion? Kamu hampir gila karenanya. Dan sekarang? Setelah Dion mulai respek dan nembak kamu ternyata kau menolaknya?" Atik mulai gemas. Dia memang paling direpotkan olehku pada misi pengejaran Dion. Sebenarnya tidak cuma dalam hal Dion, tapi banyak cowok yang kutaksir, lihat noh, Banyak! Dan ketika tentang Dion membuahkan hasil, dengan mudahnya aku membuat semua usaha Atik menjadi tak berarti.
"Jangan kau bilang ini karena Mas Judin" tebak Atik kemudian.
Yup. namanya Ahmad Tajudin. Supir mikrolet yang telah membuat hatiku berlumur rindu, halah!
Seiring berjalannya waktu aku semakin dekat dengan Mas Judin. Setiap hari pulang pergi ke sekolah aku pasti naik Agestin Ronggolawe. Yang membuatku tambah kesengsem adalah, Mas Judin sangat sopan. Sebagai seorang supir yang hidupnya di jalan, predikat playboy sudah pasti akan mudah melekat. Apalagi ditunjang wajah Mas Judin yang mirip dengan Salman Khan. Sangat mudah baginya untuk menggaet cewek berapapun dia mau. Tapi tidak dengan supir mikrolet yang satu ini. Bahkan meski kami sudah dekat, tentang kehidupan pribadinya pun aku belum tahu pasti. Dia tergolong orang yang tertutup. Namun sudah kupastikan dari Mufid partner kerjanya, Mas Judin masih lajang. aseekk
Ga masalah profesi Mas Judin itu cuma sopir, yang penting ga malu-maluin dibawa kondangan hahay. Wedew, bicara soal kondangan, aku diminta ibuku mengantarnya ke acara walimahan teman Ibu. Anak gadis teman ibuku ini baru saja lulus dari universitas terkenal di Jakarta, dan setelah wisuda langsung menikah. Itu yang aku dengar dari cerita Ibu tentang acara walimahan yang akan beliau hadiri. Sebagai anak yang berbakti aku pun menuruti permintaan ibuku. Dan berangkatlah kita ke Gedung Sasana Adipura tempat acara dilaksanakan.
Siang yang padat di Gedung tempat acara belangsung. Walimahannya digelar secara meriah, terbukti dengan banyaknya tamu yang hadir. Aku dan Ibuku antri mengisi buku tamu dan kita mendapatkan souvenir masing-masing satu biji. Souvenir berbentuk notes kecil dengan dihiasi kata-kata mutiara serta ucapan terimakasih itu aku masukkan saja ke dalam tas tangan yang kubawa. Dan untuk selanjutnya kami antri untuk bersalaman dengan mempelai beserta keluarga.
So far semuanya berjalan lancar, sampai tiba aku dan ibuku bersalaman dengan pengantin pria. Dari senyumnya aku merasa tak asing, senyum itu yang menghiasi anganku terakhir-terakhir ini. Semakin dekat hatiku semakin gundah, dan ternyata tepat. Senyum itu aku tahu, senyum milik Mas Judin.
"Eh, Mbak Idah. Terimakasih sudah datang, ya. Kok tahu saya menikah hari ini? Pasti Mufid yang bilang, to?" Kata-kata Mas Judin setelah melihatku.
Aku hanya tersenyum keki menanggapinya. Kalau saja aku tahu, tak mungkin aku hadiri pesta perkawinan ini (nyontek dari lagu dangdut)
Mau marah, sama siapa? Mau nangis, apa ga malu? Mau lari yang pasti dijewer Ibu. Yang ada aku hanya terdiam menahan kecewa akut di sisa waktu kondangan menyebalkan ini. Kenapa ibuku ga bilang kalau yang menikah adalah Mas Judin? Eh, ibuku kan ga tahu, yang beliau kenal mempelai wanitanya. Wedew, hebat juga Mas Judin seorang supir bisa menggaet cewek sarjana. Alaah, yang pasti aku patah hati!
@@@
Kabar menyedihkan pernikahan Mas Judin ditanggapi dengan ledakan tawa oleh Atik sahabatku. Dari awal mula dia tidak pernah setuju aku naksir sopir mikrolet Agestin. Dia masih kecewa karena usahanya mak comblangin aku dengan Dion tetangga yang penjaga toko buku itu tak berarti setelah aku mengenal Mas Judin. Dan mungkin sahabatku itu merasa aku tak menghargainya. Padahal bukan itu, aku cuma merasa ragu-ragu kadang datang padaku di saat-saat terakhir. Mungki memang benar Atik bilang aku plin plan, tapi bukan begitu maksudku. Entah mengapa aku tak pernah mempunyai rasa mantap pada pilihanku.
"Lantas kau pergi atau tetap menikmati kondangan naasmu itu, Dah?" komentar Atik diselingi tawa lebar.
"Aku terpaksa melaluinya lah, ga mungkin aku lari dari kondangan sialan itu," jawabku.
"Hahaha, salah sendiri naksir kok supir. Sukurin!" Atik mencemoohku.
"Biarin," jawabku acuh.
Okey, mungkin Atik berhak bersikap begitu. Dia sudah teramat lelah dengan permintaan-permintaan anehku seputar orang yang aku sukai. Namun kepada siapa lagi aku minta pertolongan kalau tidak sama Atik? Dia satu-satunya sahabatku. Hanya dia yang bisa mengerti aku.
"Daripada kamu terus-terusan patah hati, terima aja Dion jadi cowokmu. Belum terlambat juga, toh Dion juga ga jelek-jelek amat. Kasihan dia," Atik membujukku.
Aku pikir ga ada salahnya, 'kan?
"Apa ga malu, Tik?"
"Dia masih mengharapkanmu, Dah. Dion bilang, ini pertama kalinya dia jatuh cinta dan nembak cewek, yaitu kamu."
Masih lugu ternyata Dion. Oke deh daripada nganggur.
"Tapi kamu yang atur, ya!"
"Sip! Nanti aku buat kamu bertemu dengan dia tak sengaja. Tapi kumohon jangan kecewakan dia lagi, Dah. Aku yang ga enak nantinya."
Aku sanggupi permintaan Atik. Kasihan dia selalu Aku repotkan. Dan hasilnya? Aku ketemuan dengan Dion di toko buku tempatnya bekerja. Sebuah swalayan satu-satunya di Wonosobo.
Dion masih manis seperti dulu, tak berubah dan juga masih baik padaku. Hampir setiap hari aku pergi ke RITA, begitulah nama swalayan di kotaku. Meski tak pernah membeli apa-apa hanya sekedar melihat-lihat saja.
Hari ini aku pergi ke RITA bersama Atik.
"Tik, satpamnya cakep, deh. Aku dapat informasi dia kost di daerah Sambek dekat rumah pamanmu. Tolong aku cari infonya ya sobat. Kamu baik, deh!" pintaku pada Atik siang itu. Dan dia cuma melongo.
"Lantas Dion?"
"Hehehe, buat kamu aja."
Atik menahan kecewa lagi.
"Kamu..."
"Mau ya kawan please... Kamu ga ingin aku tambah kurus karena mikirin satpam yang baik hati itu, 'kan?" ucapku memohon.
"Tidak! Urus saja semua urusanmu sendiri beserta sikap plin planmu yang tiada henti itu. Kali ini aku gak akan luluh oleh muka memelasmu itu. Dan semoga sukses dengan Satpam yang baik hati." Atik pun berlalu.
Tamat.
Taiwan in sofa kedamaian.
11122011
Jeet Veno_Mena Ayu.
0 Suara:
Posting Komentar