Diberdayakan oleh Blogger.

Sabtu, 12 Mei 2012

TENTANG MAAF


Bus kota yang aku tumpangi semakin lama makin pengap kurasa. Siang ini benar-benar terasa panas. Asap rokok dan bermacam-macam bebauan bercampur menjadi satu aroma, khas bus kota. Entah mengapa aku memilih kendaraan umum satu ini, yang terpikir olehku hanyalah cepat sampai di kost itu saja. Sang kernet masih saja menaikkan penumpang meski di dalam bus sudah terisi penuh. Dia tak berpikir bahwa kita manusia, bukan kardus bekas yang bisa saja dijejalkan dalam satu tempat. Lelaki yang berdiri di sebelahku mencak-mencak kepada sang kernet.

"Hei bung! Kami manusia, bukan barang! Di dalam sini sudah penuh, masih saja kau menaikan penumpang!" teriaknya.

Aku usap peluhku yang mulai menganak sungai di wajahku. Sudah tak tahu lagi bagaimana bentuk wajahku kali ini, tak kuasa aku membayangkannya. Pastilah mengerikan. Sang kernet tak memperdulikan bentakan lelaki tadi. Dia masih terus saja menawarkan kepada setiap orang yang berdiri di pinggir jalan tentang trayek yang dituju busnya.

Di halte berikutnya beberapa pengamen jalanan menaiki bus kota yang aku tumpangi. Dua bocah tanggung itu nampak semangat melihat bus yang terisi penuh. Di wajah mereka tersirat harapan, semoga dapat banyak kali ini. Tak lama kemudian, dengan ke-PDan yang luar biasa, mereka siap memulai performance. Salah satu dari mereke menenteng gitar kecil yang senarnya dari karet. Sedang lainnya membawa bekas botol air mineral yang diisi beras, alat musik untuk pengiring lagu sumbang yang mereka bawakan.

"Selamat siang para penumpang. Izinkanlah kami bernyanyi sebuah lagu untuk menghibur para penumpang sekalian di siang hari ini," uluk salam yang diucapkan salah satu diantara mereka.

Aku mengamati keduanya sejenak. Kulit mereka yang legam terbakar matahari mengisyaratkan akan kelelahan hidup yang dijalani. Kumasukkan tanganku ke dalam kantung celana jeansku untuk mencari uang logam. Niatnya akan kuberikan kepada pengamen jalanan tersebut jika mereka telah selesai bernyanyi nanti. Dalam hal satu ini aku tak pernah perhitungan. Entah yang ngamen kreatif atau tidak aku selalu memberi 'tips' sama rata. Bagiku, dua atau tiga keping uang logam yang seringnya tak terpakai mungkin akan lebih berharga bagi mereka. Terlepas dari enak atau tidaknya suara mereka. Juga entah uang itu nantinya untuk makan atau yang lain, aku tak peduli. Yang ada di pikiranku hanyalah beramal, tidak lebih.

Satu lagu dari grup band Dewa sukses mereka nyanyikan. Untuk ukuran suara aku memberinya nilai 6, alias lumayan. Dari pada kebanyakan pengamen yang lain, yang terkadang tak memperhatikan kualitas suara mereka. Tiba-tiba, bocah tanggung yang sedari tadi bertugas memetik gitar angkat bicara.

"Untuk menambah hiburan bagi penumpang semuanya. Izinkanlah saya membacakan sebuah puisi, semoga menambah nyaman para penumpang sekalian," serunya.

Dalam hatiku heran, kreatif juga mereka. Selain menyanyi juga berpuisi untuk mengamen, hhmmm.

Bocah tanggung itu mulai berdeklamasi.

"Alam tak pernah berangan...
Mereka hanya berbakti dan setia..
Bakti angin adalah bertiup.
Bakti sungai adalah mengalir.
Bakti sua matahari pada bumi adalah bersinar....
Sementara baktiku?
Menjaga dan melindungimu layaknya bintang-bintang yang menjaga dan melindungi rembulan di malam-malam yang pekat.
Mungkin aku tergolong naif,
namun kelak kau akan percaya.
Bahwa setiap darah yang tertetes adalah pengorbanan.
Dan setiap pengorbanan yang tercecer adalah cinta..."

Deg!
Tuhan, aku mengenal puisi ini. Aku merasakan deja vu begitu mendengar kalimat tiap baitnya. Pikiranku melayang pada sosok seorang...

Tapi tak mungkin dia ada di sini. Bagaimana mungkin puisi itu bisa sampai ke pengamen ini? Aku ingat betul dulu Satya, ya dia pernah membacakan puisi ini untukku. Waktu itu Satya berniat memberikan surprise untuk nembak aku. Satya, seseorang yang dulu pernah mengisi hatiku. Waktu aku masih menetap di kota lamaku, Jogjakarta.

Dan sekarang, aku kembali mendengar puisi ini dari orang lain, seorang pengamen jalanan. Suatu hal yang mustahil bisa terjadi. Bocah tanggung ini ada hubungan apa dengan Satya? Karena aku yakin sekali, ini puisi Satya, asli karyanya bukan jiplakan atau saduran. Seperti yang Satya bilang waktu itu, "Puisi ini terinspirasi olehmu, Rena." kata-kata yang membuatku tersipu.

Tak mungkin Satya ada di kota ini. Penyiar radio yang suka sekali menulis puisi itu tak bisa pergi jauh dari Jogjakarta. Aku tahu pasti itu. Baginya, kota gudeg sudah menancap di kehidupannya. Meskipun dia tak dilahirkan di sana, namun Satya tak mungkin bisa hidup jauh-jauh dari Jogjakarta. Ah, tapi kemungkinan bisa saja terjadi, 'kan? Toh hidup sudah ada yang mengatur. Tapi di mana Satya sekarang? Dan tiba-tiba saja aku tergerak ingin mengetahui lebih lagi.

Pengamen jalanan itu mengelilingi bus kota yang penuh sesak dengan mengacungkan kaleng bekas minuman untuk tempat uang tips. Begitu dia sampai di depanku, aku memasukkan uang logam yang sedari tadi sudah ku genggam. Niat hati ingin bertanya tentang puisi yang dibacakan temannya, namun aku urungkan. Mendadak aku merasa ragu. Mungkin saja ini semua cuma kebetulan.

"Terimakasih, atas waktu yang diberikan bapak supir dan mas kernet. Terimakasih juga untuk semua penumpang yang ada di bus ini. Maafkan kami jika ada salah dalam pengucapan dan khilaf dalam bertindak. Kami do'akan semoga penumpang semuanya sampai pada tujuan masing-masing dengan selamat dan berkumpul dengan keluarga yang dicintai." Kata terakhir yang mereka ucapkan sebagai penutup performance mereka siang ini, sebelum akhirnya turun dari bus untuk mencari rezeki di tempat lain.

Dan mereka pun berlalu.

Tidak, aku tak boleh diam saja! Aku yakin bocah tanggung itu ada hubungannya dengan Satya.

"Depan stop, Bang!" teriakku seketika.

Aku harus mencaritahu, setidaknya menanyakan darimana mereka mendapatkan puisi itu. Puisi yang ditulis Satya untukku.


@@@

"Hei, Dek. Tunggu!" teriakku.

Dua bocah tanggung tadi berhenti dan menoleh. Menatap dengan ragu padaku yang berjalan cepat-cepat mendekati mereka.

"Tunggu sebentar, aku mau tanya," ulangku.

Mereka bertatapan. Ekspresi wajahnya bingung. Takut.

Aku mengatur nafas. Padahal jalan yg kutempuh tak terlalu jauh untuk mengejar mereka, namun dadaku kembang kempis memompa udara. Seperti baru lari marathon saja.

"Boleh aku tahu, kalian dapat puisi tadi dari mana?" tembakku.

Bocah tanggung yang membawa bekas botol air mineral terlihat lega. Dan yang membawa gitar kecil tersenyum. Di wajahnya seperti berucap syukur.

"Oo... itu saya diajari berpuisi oleh kak Reno," jawabnya lugu.

Reno? Bukan Satya?

Kecewa muncul mengisi sanubariku. Ternyata benar, aku salah orang. Puisi itu mungkin cuma mirip, atau aku yang terlalu terbawa deja-vu akan puisi itu? Kemungkinan ini bisa saja terjadi, 'kan? Banyak sekali hal seperti ini berlaku.

Ah, sudahlah. Aku belum beruntung.

"Mbak kenal Kak Reno?" Bocah tanggung tadi mengagetkanku.

"Eh, tidak. Aku tak mengenalnya. Hanya saja puisi yang kamu baca tadi mengingatkan aku pada temanku,"

Mereka kembali berpandangan.

"Kalau boleh tahu, siapa Reno?"

Bocah tanggung pembawa bekas botol air mineral hanya terdiam, sedangkan bocah tanggung pembawa gitar berseri ramah.

"Kak Reno adalah guru saya," lugasnya.

Guru? Satya tak mungkin jadi Guru. Dia bukan type penyabar seperti pahlawan tanpa tanda jasa. Meskipun kenyataan tak sedikit pula para pendidik yang tak sabaran.

"Dari Kak Reno pula saya belajar membaca puisi. Dan yang saya baca tadi adalah salah satu karyanya."

Plagiat!

Mendadak aku marah. Aku teramat yakin itu karya Satya. Murni hasil pemikirannya. Lantas bagaimana bisa si Reno ini mengklaim puisi tadi hasil karyanya? Aku jadi penasaran terhadap Reno. Andai bertemu dengannya, akan kumintai pertanggung jawaban karena telah mengakui hasil karya orang lain sebagai miliknya. Pembajakan karya!

"Di mana aku bisa bertemu dengan Reno, gurumu, Dek?"

Huh! Dan aku terlalu tak rela menyebut dia sebagai guru.

"Di Alun-alun, Mbak. Setiap Minggu sore jam 4. Kak Reno pasti datang mengajar kami para anak jalanan."

Oke, mulia juga Reno ini.

"Kamu tahu, Reno berasal darimana?"

Kalau ternyata satu kota dengan Satya, ada kemungkinan dia mengenalnya.

Bocah tanggung tadi menggeleng.

"Sudah lama Reno mengajar anak jalanan?" kejarku. Penasaran.

"Sudah, Mbak. Saya sudah tiga bulan ini setiap Minggu sore diajari Kak Reno. Menulis, menggambar, dan berpuisi."

Satya tak bisa menggambar.

"Hari Minggu jam 4 sore. Dan apa kamu juga ada di sana nantinya?"

Bocah tanggung pembawa gitar mengangguk.

Aku tersenyum. "Baiklah, terima kasih."

Mereka pun lega lantas berlalu dariku. Berlari-lari kecil mengejar bus kota yang baru saja melintas untuk kemudian dengan cekatan menaikinya mencari rejeki.

Baru kusadari, penjiplak itu namanya mirip denganku, Rena!

@@@

Aku duduk termenung di teras rumah kost ku. Semenjak hari itu, pikiranku kembali teringat pada sosok Satya. Runer Up Duta Wisata kota kelahiranku, Jogjakarta. Aneh saja sebenarnya. Dalam diri Satya tak mengalir darah kota sultan ini, namun dia berhasil meyakinkan dewan juri bahwa dia layak dan sangat mengenal seluk beluk kota Jogja sehingga mampu mempromosikan keindahan wisatanya. Meskipun kenyataannya, Satya harus berpuas diri di posisi ke dua saja, tapi menurutku itu merupakan prestasi yang membanggakan. Mengingat dia bukan warga pribumi. Aksa Satya Wicaksana, penyiar radio berkepribadian romantis tambatan hatiku. Dulu.

Satya dan Reno. Berlomba-lomba mengisi kepalaku. Merangsang rasa ingin tahuku. Besok adalah Minggu ke-2 setelah aku mendengar puisi itu. Minggu kemarin aku urungkan niatku pergi ke Alun-alun. Selain karena gerimis, ternyata keraguan mendadak muncul di hatiku. Untuk apa aku repot-repot pergi ke sana? Toh Satya hanya masa laluku? Tetapi kali ini lain. Ingin kupastikan keberadaan puisi itu kenapa bisa ada di tangan Reno.

Semoga besok tidak ada halangan.

Tit tit tit tit.

Sms masuk di hp ku. Saat kubuka benda elektronik itu, menunjukkan Tobey mengirim pesan padaku.

"Sore Nona cantik. Adakah waktu untuk kita nobar, besok?"

Besok? Aku mau ke Alun-alun.

"Maaf, Bey. Aku besok ada lembur."

Sent.

Tit tit tit tit. Balasan datang.

"Oke, deh Nonaku. Mungkin bisa Minggu depan. Jangan terlalu diforsir kerjanya, ya. Inget makan! Love U."

Aku rela berbohong pada Tobey? Ini hal ganjil. Apalagi hanya untuk seorang Satya, eh bukan, tapi Reno. Mengapa bisa sekuat ini kekuatan puisi itu?

"Oke. Thanks, Bey."

Sent.

Sebenarnya kalau dipikir-pikir, tak ada gunanya juga aku ke Alun-alun. Andai Reno tak ada hubungannya dengan Satya, pastilah aku menyesal harus mengesampingkan Tobey. Bukankah aku sudah menjadikan Satya bagian dari masa laluku? Dan ternyata kekuatan yang ditimbulkan hatiku lebih dominan mendorongku untuk tahu tentang puisi itu, atau tentang Satya?

Aku menyukainya. Satya berkulit hitam manis. Dia teramat pintar membuat wanita tak berdaya dengan kata-kata puitisnya, termasuk aku kala itu.

"Meski kau bukan yang pertama, tapi aku mohon pada Tuhan, Dia takdirkan kamu menjadi yang terakhir di hidupku," rayunya. Bertepatan dengan malam pergantian tahun.

Di lantai paling atas, di studio radio tempat kami bekerja. Ditemani berpuluh-puluh lilin yang telah dinyalakan membentuk gambar hati.

Mataku ditutup sehelai kain dan aku dibimbingnya menuju ke atas. Mendapatkan surprise kecil dini hari. Satya mengucapkan itu. Sesuatu yang aku harapkan sejak lama.

Meskipun aku cuma penyiar lepas di radio ini, tapi intensitas pertemuanku dengan Satya teramat sering. Atasan kami menyukai kekompakan kita dikala membawakan suatu program radio. Selanjutnya aku selalu dipasangkan dengan Satya. Mungkin itu merupakan faktor sehingga aku jadi mudah tergoda pada kata-kata indah. Hampir setiap hari Satya membacakanku puisi, membuat pipiku selalu merona menahan.

Layaknya pagi itu, di Tahun baru.

"Rena, I Love You," ucapnya sesaat setelah dia membacakan puisi yang sama seperti yang kudengar dua minggu lalu. Kemudian Satya mengecup lembut keningku.

Aku tertunduk malu karenanya. Lantas mengangguk, mengiyakan bahwa aku juga merasakan hal yang sama seperti Satya.

"I Love You too"

Tahun baru terindahku. dan tak akan terlupakan. Sekarang pun aku belum lupa saat-saat itu. Beserta rasa sakit setelahnya. Meskipun sudah berulang kali Satya mengucapkan maaf, tapi hatiku sudah terlanjur tak terima pengakuan Satya yang kudengar.

"Tak mungkin aku mau dengannya, lah. Rena bukan levelku. Dia terlalu standar. Terlalu mudah didapat." akunya di hadapan teman-temannya bermain musik.

Jelas sekali terdengar di telingaku.

Mulai saat itu kuanggap hubunganku telah berakhir. Kesadaran diriku memaksa untuk aku berlapang dada menerima kenyataan. Bahwasanya gadis serba pas-pas an seperti aku tak layak jika harus berdampingan dengan calon model seperti Satya.

Terkadang egoku memuncak ketika ingat, aku berhubungan dengan Satya tak sebentar. Hampir setahun kita menjalin hubungan yang biasa orang-orang menyebutnya percintaan. Sampai-sampai Ayah dan Bundaku begitu yakin aku dan Satya akan lebih Serius. Tetapi yang ada mereka kubuat terkejut dengan berita berakhirnya hubunganku dengan Satya.

Setelah itu kuputuskan menjauh dari semuanya. Pindah ke kota metropolitan untuk memulai kehidupanku yang baru. Tanpa Satya dan cinta indahku padanya.

Satya menahan kepergianku. Namun kutegaskan sekali lagi.

"Lo, Gue, End!"

@@@

Dia masih sama. Tinggi tegap dengan warna kulit hitam manis. Yang berbeda hanyalah rambutnya. Kini rambut yang dulu selalu dipangkas rapi, dibiarkan tergerai begitu saja menyentuh pundaknya. Gondrong. Dan satu lagi, dia terlihat semakin tirus dengan kacamata minus di wajahnya. Sejak kapan Satya berkacamata?

Alun-alun kota ini tak begitu ramai. Langit sore memampakkan wajah tak bersahabatnya untuk sekedar membiarkan manusia jalan-jalan. Aku yakin orang-orang lebih memilih diam di rumah menonton televisi daripada mengambil resiko keluyuran lantas akhirnya basah kuyup kehujanan. Sepertinya itu semua tak berlaku untuk anak jalanan yang ada di Alun-alun ini. Mereka tak mempedulikan langit yang sebentar lagi menangis. Bocah-bocah kurang beruntung itu tetap antusias mengerjakan apa yang guru mereka suruh.

Jaket lusuh, celana jeans robek pas di lutut, sepatu kets berwarna debu. Melekat sempurna di tubuh kurus itu. Satya tak lagi metroseksual seperti dulu.

Dia menoleh padaku yang mengamatinya dari samping kanan.

"Rena," panggilnya.

Aku bergeming. Masih tetap tak percaya yang ada di depanku adalah Satya.

"Itu Mbak yang aku ceritakan kemarin, Kak," teriak salah satu bocah . Pengamen itu.

Satya menatapku.

"Sudah lama aku mencarimu, Ren."

"Untuk apa?"

"Aku ingin minta maaf,"

Disaksikan bocah-bocah gelandangan muridnya, Satya menceritakan perjalanannya mencariku. Beserta pilihan hidupnya untuk menjadi pengajar sukarela anak-anak terlantar. Jauh dari cita-citanya dulu menjadi seorang model profesional.

"Kenapa Reno?" tanyaku.

"Karena kamu, Rena."

Aku terdiam. Dia menciptakan kembali debar di hatiku. Lewat mata hitam pekatnya. Menghanyutkan ke dunia yang aku suka. Imajinasiku tentang masa depan kita kembali menari.

"Bolehkah aku kembali, Rena?"

Aku membisu.

"Bukalah pintu maafmu untuk gerimisku. Agar kudapat menjadi air matamu."

"Cukup, Satya!"

"Menitikkan kasih di hatimu. Menghapus goresan-goresan pedih di dinding hati."

"Sudahlah, Satya. Semuanya telah berlalu," kuucapkan dengan senyum termanisku.

"Menggantinya dengan garis-garis pelangi senja."

Hening.

"Siapa dia, Rena?"

Mungkin awal wanita jatuh cinta adalah dari fisik, namun hanya yang nyaman di hati yang mampu bertahan.

"Maafkan aku, Satya."

Dia mengangguk pelan, lantas berujar lirih, "Aku terlambat."

"Aku tak akan melupakanmu."

Aku berdiri menjauh darinya, masa laluku. Kuraih handphoneku dan memencet nomor yang telah kuhafal.

"Bey, tiba-tiba aku malas lembur. Nobarnya masih berlaku ga?"


Tamat.
by
Rahayoe Wulansari

0 Suara:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites